Teologi Citra Tuhan, Ibnu Arabi (Bagian II)

Karya: Masataka Takeshita
Penerjemah: M. Harir Muzakki *

Ruzbihan Baqli Shirazi

Rusbihan Baqli Shirazi adalah seorang Sufi Persi akhir abad 12. Dia memiliki tradisi mistik cinta yang dikatakan oleh Corbin “fideles d’amour.”31 Bukunya, Sharh’i Shatiyat merupakan karya terkenal untuk melestarikan tulisan-tulisan dan kata-kata al-Hallaj dan penafsiran pemikiran al-Hallaj yang seringkali sulit difahami. Oleh karena itu, sangatlah membantu untuk meneliti penafsiran tentang pernyataan al-Hallaj di atas. Dalam komentarnya, “pribadi itu” secara jelas disamakan dengan Adam, dan hadis imago Dei dikutip.

Kata-kata gnostis (al-Hallaj) yang mengagumkan, ‘Dia mewujudkan diri-Nya sendiri pada pribadi, dan menjadi sama dengan-Nya.’ Maksudnya bahwa Tuhan menciptakan Adam dan menghiasi makhluk-Nya dengan pakaian-pakaian (kiswat) cinta (khullat) penciptaan. ‘Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan citra yang dimiliki-Nya’ (kata al-Hallaj), Dia melihatnya sepanjang masa keabadian-Nya, sehingga Dia memanifestasikan diri-Nya sendiri (tajalli konad) padanya (Adam) dengan Esensi-Nya dan seluruh Sifat-Sifat-Nya. ‘Dia mengajarkan Adam seluruh nama’ (2:31) (kata al-Hallaj). ‘Dia mengkhususkan Adam dengan sifat-sifat yang sama dengan sifat-sifat (yang dimiliki-Nya), yaitu karakter (nu’ut) dan sifat-sifat, sehingga cahaya Esensi-Nya muncul padanya, dan oleh karena itu Dia menjadikannya sempurna dengan semua Sifat-Sifat keabadian-Nya. Ketika dia (pribadi ini, yaitu Adam) diperkuat (mutamakin) dengan Ketinggian Tuhan dan Keagungan-Nya, dia akan memiliki semua Sifat-Sifat Tuhan. Melaluinya, (Tuhan) memanifestasikan diri-Nya pada makhluk-makhluk-Nya dengan seluruh Sifat-Sifat-Nya, sehingga dia menjadi khalifah kerajaan-Nya dan model (sunna) petunjuk ciptaan-Nya.32

Namun, bukan hanya pada kutipan di atas, Baqli mengutip hadis imago Dei dalam penafsirannya dari kata-kata al-Hallaj. Pernyataan kedua adalah tentang komentar kata-kata al-Hallaj sebagai berikut:
Alam nyata (mulk) dan alam yang tidak nyata (malakut) merupakan manifestasi (payda) dalam bentuk Adam dan anak cucunya. Dia mewujudkan diri-Nya melalui tindakan-tindakan-Nya (sama’i) dan nama-nama-Nya. Ketika kekuasaan-Nya (subuhat) turun melalui munculnya dunia nyata dalam al-Qur’an Yang Agung, karena kekuasaan dan Sifat-Sifat Baik (hasanat) adalah milik-Nya.33
Pada kutipan di atas, tema faham makrokosmos-mikrokosmos terlihat. Komentar Ruzbihan adalah sebagai berikut:

Dua bentuk penciptaan dari Kerajaan ke bumi merupakan manifestasi dalam bentuk Adam, karena dia merupakan mikrokosmos (kaun asghar). Barang siapa melihat Adam, maka ia telah melihat (segala sesuatu) dari Singgasana ke bumi. “Kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di alam semesta dan dalam jiwa mereka,” (941/53). Lewat perbuatan (fi’il), Dia mewujudkan dirinya ke dalam ketiadaan. Alam semesta itu muncul dengan seluruh isinya dari perbuatan-perbuatan (sana’i). Dia mewujudkan diri-Nya dari keabadian melalui tindakan (fi’il). Dia menciptakan Adam muncul bersama dengan seluruh sifat-sifat (Nya). Berkaitan dengan hal ini, Muhammad bersabda:34 “Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan citra-Nya, yaitu sesuai dengan bentuk dunia (kawn) yang muncul dari perbuatan itu. Dan kejadian ini, ketika dunia nyata (‘alam mulk) dan kesaksian besar (shahadat-i kubra) muncul.35

Dalam penafsiran di atas, Ruzbihan Baqli menunjukkan bahwa Adam diciptakan sesuai dengan citra bentuk alam semesta. Jadi, dia mengkaitkan hadis imago Dei dengan tema faham makrokosmos-mikrokosmos.

Di samping itu, beberapa komentar tentang kata-kata al-Hallaj ini, Ruzbihan Baqli sering mengutip hadis imago Dei dalam bukunya Sharh e-Shathiyat. Jika dibandingkan dengan al-Ghazali, penjelasan Ruzbihan Baqli di atas, hadis ini mengandung sedikit spekulasi metafisika dan teologi, dan mencerminkan tradisi faham sufi awal yang lebih diyakini.

Komentar pertama, hadis ini dipandang sebagai salah satu dari shathahat (ungkapan ganjil) Nabi Muhammad, dan juga hadis, ‘Aku melihat Tuhan dalam bentuk yang paling indah.’ Tentang hadis ini, komentarnya adalah sebagai berikut:

Mengenai maksud hadis, “Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan citra-Nya,” ia merupakan sedikit informasi tentang manifestasi (tajalli) esensi kesatuan (Tuhan) (‘ayn-i jam’) atas esensi keterpisahan (‘ayn-i tafsiqa), sehingga kekasih dibentuk dengan sifat-sifat yang paling dicintai. Tuhan memanifestasikan diri-Nya pada Adam lewat seluruh sifat-sifat-Nya; Dia mengeluarkan Adam (ke dalam wujud) dengan manifestasi seluruh Sifat-Sifat-Nya; kemudian Dia memanifestasikan diri-Nya dari misteri Esensinya pada jiwanya (Adam). Kasih Sayang muncul pada Adam sebagai sifat-sifat Kasih Sayang (bukan sebagai esensinya). Dengan kasih kasih sayang-Nya, Tuhan menciptakan transenden sifat-Nya yang tak terbatas pada masa primordial demi Adam.36 Dia memberi pakaian kepadanya (Adam) pada masanya yang khusus dengan misteri Esensi-Nya dalam wilayah kemutlakan-Nya, sehingga dari Keabadian, dia (Adam) menjadi homochrome/sama khrom (hamrang) bersama dengan Keabadian. Dia (Adam) adalah abadi, bukan non-existensi. Dia (dalam realitasnya) adalah Tuhan, bukan Adam. Dan hadis, “Aku melihat Tuhan (dalam bentuk yang paling indah),” (maksudnya bahwa) Tuhan menghiasi perbuatan (Nya) dengan Keabadian. Cahaya Esensi-Nya tertutupi oleh Cahaya Sifat-Sifat-Nya. Kemudian Esensi-Nya memanifestasikan diri-Nya Sendiri dalam perbuatan-Nya, dan tindakan-Nya menjadi esensi-Nya. Dia menunjukkan diri-Nya Sendiri kepada Muhammad sebagai Muhammad. Muhammad merupakan perhiasan-Nya. Untuk memiliki sifat dalam keadaan primordial-Nya bukanlah bentuk yang tidak diketahui oleh Tuhan. Tidak ada subtansi penciptaan wujud tanpa manifestasi (tajalli) keabadian primordial. Jika kamu mengetahui bahwa segala sesuatu adalah Dia, Keabadian tidak akan menjadi temporal, tetapi Dia menunjukkan bentuk-Nya dengan cara apapun yang Dia inginkan. Dia menunjukkan keindahan-Nya yang abadi kepada kekasih dalam cermin tindakan-Nya, sehingga Dia menjadiklan eksistensi (yaitu, kekasihnya) secara keseluruhan kembali pada (sifat-Nya) Yang Maha Pengasih. Ini (yaitu, kembalinya seluruh wujud seorang kepada Cinta) merupakan tindakan yang tepat (sunnat) untuk para kekasih terhadap yang paling dicintai.37

Pernyataan awal Ruzbihan Baqli merupakan penegasan antara kemutlakan dan keabadian Tuhan pada saat yang sama. Kemutlakan diungkapkan sebagai “kesatuan absolut” (tauhid), “esensi pemisahan” (‘ayn-i tafriqa), “pemisahan Bukit Qaf” (Qaf-i Tafsiqa),38 dan dihubungkan dengan gnosis (ma’rifa).39 Emanasi Tuhan merupakan manifestasi Tuhan (tajalli) yang dinyatakan sebagai “tingkat ketidakjelasan” (maqam-i iltibas), “esensi kesatuan” (‘ayn-i jam)40 dan dikaitka dengan cinta (mahabba, ishq).41 Pada tingkat ini, Tuhan mewujudkan Esensi-Nya dalam tindakan dan sifat-sifat-Nya, dan menunjukkan diri-Nya kepada kekasih dalam bentuk duniawi yang paling dicintai. Yang dicintai adalah cermin ketuhanan dan akhirnya diserupakan dengan Diri Tuhan.

Jika kamu membaca gilden book (name-i muzawwar), maka kamu akan memahami pada beberapa sisi keindahan penciptaan pemakaian simbol “Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan citra-Nya.” Keindahan-keindahan penciptaan mengandung cahaya tindakan (Tuhan). Susunan Adam mewarisi keindahan milikku, dan kedekatan kekasih memiliki warisan kasih dari Wajah itu. Kamu membaca tentang “Adam” (dari hadis di atas), ayat al-Qur’an menyatakan, “tundukkan dirimu kepada Adam” (2:34). Makhluk hidup tidak memiliki sifat-sifat yang dimiliki manusia ini, karena manusia memiliki kesinambungan makna dari, “Aku tiupkan kepadanya ruh-Ku” (15/29) dan “Aku ciptakan Adam dengan kedua tangan-Ku” (38/75). Keindahan-keindahan yang tersembunyi (mukhaddarat-i azal) muncul pada wajah manusia untuk mendapatkan lokus (ayat al-Qur’an) “Sungguh Kami muliakan anak turun Adam,” (17:70) pada saat penghancuran jiwa, karena cermin merupakan esensi kesatuan (‘ayn-i jami’). Perhatikan hadis berikut, “Barang siapa melihatku, maka dia melihat Tuhan,” karena dalam hadis ini terdapat makna yang tidak jelas (iltibas) dan kesatuan (ittihad).42

Jadi, ia berada dalam konteks manifestasi Tuhan dalam bentuk keindahan dan kesamaan yang mendasar antara Tuhan dan yang dicintai, yang mana hadis ini dikutip. Meskipun demikian, cinta mistis yang luar biasa, kekasih dan yang dicintai menyatu, dan ia merupakan kekasih mistis yang menjadi tempat manifestasi Tuhan. Dalam konteks ini muncul sebuah tema pengenalan mistis tentang sifat Tuhan bersama-sama dengan hadis imago Dei.

Untuk melihat pakaian (libas) Keindahan Tuhan pada sifat Adam merupakan kebahagiaan cinta sejati pada bentuk alam semesta. Barangsiapa mencapai keadaan (hal) dengan “mendapatkan (sifat ketuhanan)” akan menabur benih cinta abadi dalam hal “Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan citra-Nya” … Ketika seorang yang kehilangan cinta abadi menyelamatkan jiwanya keluar dari tabir lautan yang diciptakan, maka dia akan melihat keindahan Tuhan di tempat manapun yang tidak memiliki jejak. Dia tidak dapat menahan Keagungan Matahari. Dia dikatakan sebagai berikut:

“Tatkala Tuhan menampakkan diri-Nya pada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur (luluh) dan Musa pun jatuh pingsan” (7/143) pada benda-benda yang bersifat temporal, sehingga Aku dapat menunjukkanmu di dunia ini pada baju itu bentuk Adam.43

Ketika manusia diberi kelebihan dengan dua relasi ini (yaitu, raga dan jiwa), dia memperoleh sifat-sifat Tuhan. Dia (manusia) menerangi dunia dengan cahaya-Nya. Berkaitan dengan manusia, Allah berfirman: “Aku menciptakanmu, maka sempurnakanlah bentukmu” (60:64). Ketika Dia menganugerahkan kesempurnaan kepada manusia, Dia memuji diri-Nya tanpa batas waktu, dan berfirman:

“Maha suci Allah, Pencipta yang paling baik” (23/14). Rahasia ini bahwa pengendali jiwa-jiwa dan tubuh-tubuh, inti lautan cahaya, satria bagain-bagian rahasia-rahasia (yaitu, Muhammad) …….ketika dia mengatakan pada maqam cinta keluar daro rahasia emoasi cinta dalam kebutaan gnosis terkait dengan pakian kesatuan dirinya dalam tindakan, “Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan citra-Nya.”44

Kesimpulannya, dua ciri khas penjelasan Ruzbihan tentang hadis imago Dei akan dipaparkan di sini. Pertama, dia tidak membedakan citra Tuhan dengan manusia, yaitu Adam yang diciptakan sesuai dengan citra-Nya, sebagaimana pendapat Philo dan para pendeta Kristen pada masa awal. Kedua, dia seringkali menggunakan istilah “manifestasi” (tajalli). Tuhan memanifestasikan diri-Nya pada Adam melalui seluruh Nama-Nama dan Sifat-Sifat. Alam semesta itu sendiri adalah manifestasi Tuhan melalui perbuatan-perbuatan dan sifat-sifat-Nya. “Kamu tentu melihat seratus ribu manifestasi pada setiap atom dan setiap batu.”45 Konsep “manifestasi” akhirnya digunakan oleh Ibn ‘Arabi, dan menjadi doktrin utama ontologinya. Akan tetapi, bagi Ruzbihan Baqli, istilah ini tidak memiliki landasan filsafat. Secara keseluruhan, penjelasan Ruzbihan penuh dengan metafor (kiasan) dan ungkapan-ungkapan yang tidak jelas, namun sedikit mengandung filsafat dan teologi. Dalam hal ini, dia termasuk kelompok mistis yang sama sebagaimana al-Hallaj.

Al-Ghazali

Sebelum Ibn ‘Arabi, al-Ghazali merupakan pemikir paling penting yang berusaha menjelaskan hadis imago Dei yang digunakan dalam konsep teologi dan filsafat. Jabre dan Altman telah membahas penjelasan al-Ghazali tentang hadis ini.46 Altman memcurahkan perhatiannya secara khusus pada hubungan antara hadis ini dengan hadis Delphic, “Barang siapa yang mengetahui dirinya sendiri, maka dia mengetahui Tuhannya” dan membandingkan al-Ghazali dan Ibn ‘Arabi dalam aspek ini. Namun, sayangnya analisisnya dinodai dengan penerjemahan yang tidak akurat, Mishkat al-Anwar oleh Gairdner, yang terjamahan itu dijadikannya sebagai titik tolak analisisnya.47

Al-Ghazali membahas hadis ini berulangkali. Di sini kami mengkaji hadis imago Dei dalam kitab Ihya’ ‘ulum al-Din,48 Imla’ fi Ishkalat al-Ihya’, al-Maqsad al-Asma’ fi Sharh Ma’ani Asma’ Allah al-Husna,49 Mishkat al-Anwar,50 al-Madnum al-Saghir.51

Ihya’ ‘Ulum al-Din

Dalam kitab Ihya’ hadis imago Dei muncul beberapa kali. Masalah yang paling penting, ketika dia menyimpulkan lima sebab cinta, seluruhnya terdapat dalam bahasan masalah cinta manusia terhadapTuhan.52 Kelima sebab cinta adalah hubungan dan penyatuan antara dua hal, misalnya similes simili gaudet. Al-Ghazali menegaskan bahwa kelima sebab cinta juga terdapat antara manusia dan Tuhan, karena terdapat hubungan rahasia yang tersembunyi antara keduanya. Sebagian darinya dapat terlihat, sedangkan lainya tidak. Yang pertama kewajiban moral manusia untuk berusaha mendapatkan sifat ketuhanan. Manusia diperintahkan Tuhan meniru sifat-Nya (takhalluq bi–akhlaq Allah). Di sini, hubungan antara Tuhan dan manusia terletak pada kesamaan sifat, seperti “Keadilan,” “Kebaikan” dan “Kasih Sayang.”53 Namun, sifat-sifat tersebut tidak dijelaskan dalam konteks teologi, akan tetapi dalam konteks etika yang bersifat praktis. Kewajiban moral ini berupa menteladani sifat Tuhan sebanyak mungkin, telah muncul pada masa Plato dan diterima secara luas pada akhir zaman kuno.54

Mengenai hubungan yang tidak boleh dibicarakan, al-Ghazali mengisyaratkan bahwa mereka memiliki sesuatu yang harus dilakukan dengan mengikuti ayat al-Qur’an sebagai berikut: “Manusia akan menanyatakanmu tentang ruh; katakanlah bahwa ruh termasuk urusan (amr) Tuhan” (17:85). Dan dia melanjutkan:

Ayat ini menunjukkan bahwa ruh adalah urusan Tuhan (amr rabbani) berada di luar batas fikiran manusia. Lebih jelasnya, firman Allah sebagai berikut: “Ketika Aku menjadikan dan meniup kepadanya ruh-Ku” (915:29, 38:72). Karena inilah, para malaikat menundukkan diri kepadanya. Ini terkait dengan firman Allah: “Aku akan menjadikan khalifah di muka bumi” (38:26), karena jika dia tidak melalui hubungan ini, Adam tidak akan ada gunanya menjadi wakil Tuhan. Juga terkait dengan hadis, “Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan citra-Nya.” Mereka yang mempunyai pemahaman dangkal berpendapat bahwa tidak ada bentuk (sura) kecuali bentuk luar yang dapat difahami melalui indera, dan mereka menyamakan (shabbahu) Tuhan dan berpendapat bahwa Dia memiliki tubuh dan bentuk fisik. Tuhan Maha Tinggi dari segala kebodohan mereka yang mengatakan tentang-Nya. Juga berkaitan dengan Firman Allah kepada Musa:

“Aku sedang sakit, dan kamu tidak menjenguk-Ku.” Musa bertanya: “Wahai Tuhan bagaimana hal ini mungkin?” Tuhan berkata kepadanya: “Hamba-Ku si fulan sakit, dan kamu tidak menjenguknya. Jika kamu menjenguknya, maka kamu tentu menemukan-Ku di tempatnya.” Tentang hubungan ini, tidak akan muncul kecuali melalui ketaatan diri secara sungguh-sungguh (muwazaba ‘ala al-nawafil) setelah melaksanakan kewajiban-kewajiban agama dengan baik, sebagaimana Tuhan berkata, “Hamba selalu mendekatkan diri kepada-Ku, melalui ketaatan secara sungguh-sungguh hingga Aku mencintainya, dan Aku menjadi pendengarannya ketika dia mendengar, menjadi matanya ketika dia melihat, menjadi mulutnya ketika dia berbicara.” Mengenai masalah ini, saya harus menghentikan pena sampai di sini.55

Dari uraian di atas, terkait dengan hubungan yang tidak dapat diungkapkan antara manusia dan Tuhan, berikut beberapa pernyataan yang harus diperhatikan:

1. Hadis imago Dei menunjukkan lebih tinggi, persesuaian yang tidak bisa dijelaskan antara manusia dan Tuhan.
2. Hubungan terletak pada ruh manusia, yang ditiupkan Tuhan ke dalam diri manusia, dan termasuk wewenang Tuhan.
3. Hubungan memiliki sesuatu yang harus dilakukan melalui penyatuan mistis dengan Tuhan, sebagaimana dinyatakan dua hadis terakhir.

Imla’ fi Ishkalat al-Ihya’

Imla’ adalah karya pendek yang ditulis oleh al-Ghazali untuk menjelaskan persoalan-persoalan pelik dalam kitab Ihya’. Salah satu masalah yang dibahas adalah makna hadis imago Dei.56

Setelah menolak beberapa penafsiran yang mana kata ganti “citra” dijelaskan dengan merujuk pada selain Tuhan, al-Ghazali memberikan dua penafsiran hadis ini. Penafsiran pertama, kata ganti dijelaskan sebagai masalah kepemilikan (idafa mulkiya). Dia mengajukan contohnya seperti “hambanya,” “rumahnya” dan berpendapat bahwa hubungan antara Tuhan dan citra hanya seperti hubungan antara pemilik budak dengan budak.57 Penafsiran ini sama dengan pandangan Ibn Hazm.58 Namun, menurut al-Ghazali, penafsiran ini mengarah pada penegasan bahwa “citra-Nya” berarti alam semesta yang lebih besar secara keseluruhan, karena alam semesta milik Tuhan par excellence. Jadi, hadis tersebut memberikan maksud bahwa Tuhan menciptakan manusia sebagai salinan kecil alam semesta. Akhirnya, dia menyebutkan secara rinci hubungan antara manusia, mikrokosmos dan alam semesta, makrokosmos.59

Penafsiran kedua, kata ganti digunakan sebagai masalah pengkhususan (idafa al-takhsis).60 Karena, dia tidak memberikan contoh dalam masalah ini, apa yang dimaksudkan al-Ghazali dengan istilah ini tidak jelas. Apapun “menyandaran khusus” ini maksudnya barangkali, hadis ditafsirkan sebagai petunjuk kesamaan bagian nama-nama Tuhan dengan Adam: Tuhan adalah Hidup, Berkuasa, Mendengar, Melihat, Mengetahui, Berkehendak, Berbicara, Berbuat dan Tuhan juga menciptakan Adam hidup, berkuasa dan seterusnya.61 Dalam penafsiran “citra-Nya,” nampaknya disamakan dengan Nama-Nama-Nya, meskipun al-Ghazali tidak menyatakan secara tegas. Agaknya, dia menekankan bahwa kesamaan nama-nama ini hanya berarti bahwa nama-nama tersebut dinyatakan dengan cara yang sama, tak lebih dari itu.

Adam memiliki bentuk (nyata), yang dapat diindera, dibentuk, diciptakan, ditentukan secara jelas. Tuhan disamakan dengan bentuk hanya dalam ungkapan (bi’i-lafd), karena Nama-Nama Tuhan, seperti ‘Hidup,” “Berkuasa” dan seterusnya tidak menyatu (tajtami’) dalam sifat-sifat Adam kecuali pada nama-nama yang hanya ungkapan-ungkapan yang bersifat eksternal (‘ibarat talaffuz). Janganlah berfikir untuk menolak Sifat-Sifat (Tuhan) ini. Hal ini bukanlah maksud kami. Tujuan kami hanya membedakan sejauh mungkin antara dua bentuk (yaitu, bentuk Tuhan dan bentuk manusia), sehingga sifat-sifat Adam tidak bisa menyatu dengan Sifat-Sifat Tuhan kecuali dalam penyebutan nama-nama.62

Pernyataan di atas dapat difahami melalui pandangan doktrin Nama-Nama dan Sifat-Sifat Tuhan dalam mazhab Asy’ariyah. Tuhan adalah “Hidup” dengan (sifat) hidup, namun kelompok Mu’tazilah menolak eksistensi Sifat-Sifat itu sebagai wujud yang berbeda dengan Zat.63 Seperti pendapat Asy’ariyah, al-Ghazali tidak menolak eksistensi Sifat-Sifat itu, yang tidak terpisah dari dan sama dengan Zat. Namun, “Hidup” (sebagai suatu sifat Tuhan) bukanlah hidup menurut pengertian kita, yang kita fahami dan terapkan pada makhluk. Sifat-sifat tersebut sama hanya dalam ungkapan.64

Penjelasan al-Ghazali yang kedua ini sungguh tidak gamblang sebagai penafsiran hadis imago Dei. Jika, nama-nama Adam dan Tuhan seluruhnya berbeda dalam makna, seperti homonim, dimana persesuaian antara keduanya? Meskipun sebuah jawaban tidak ditemukan dalam kitab Imla’, namun pembahasan yang lebih rinci tentang kesamaan nama-nama dapat ditemukan dalam bukunya yang lain, Maqsad al-Asna fi Sharh ma’ani Asma’ Allah al-Husna.

Maqsad al-Asna fi Sharh Ma’ani Asma’ Allah al-Husna

Maqsad merupakan penafsiran tentang makna 99 nama Allah. Pada pendahuluan buku ini, al-Ghazali membahas masalah teologi mengenai hubungan antara “nama” (ism), “yang dinamai” (musamma) dan “penamaan” (tasmiya.)65 Masalah persamaan antara antara Tuhan dan manusia dengan panjang lebar dijelaskan pada bagian akhir pendahuluan buku ini, yang berjudul “Petunjuk bagi Kesempurnaan dan Kebahagiaan Manusia menjadi Bayangan Sifat Tuhan dan Menghiasi dengan Makna Sifat-Sifat dan Nama-Nama-Nya, sejauh hal ini mungkin bagi manusia.66 Di sini, argumennya sungguh tidak lengkap dan sulit untuk mengikuti logikanya secara tepat, Jabir mengatakan, “on est frappe de prima abord par le caractere etrange du developpmement.”67

Awalnya, dia membedakan dua kelompok manusia sesuai dengan pemahaman mereka terhadap makna Nama-Nama Tuhan, kelompok yang tidak beruntung dan beruntung. Kelompok pertama secara lebih rinci dibagi ke dalam tiga sub kelompok. Pertama, termasuk mereka yang hanya mendengar pelafatan Nama-Nama; pemahaman mereka seperti pemahaman binatang-binatang dan orang-orang asing. Kedua, terdiri dari orang-orang yang memahami makna Nama-Nama Tuhan dengan penjelasan yang rinci (tafsir) dan aturan-aturan yang lazim. Ini adalah pemahaman ahli bahasa atau seperti pemahaman manusia pada umumnya, yang memahami bahasa Arab. Ketiga, mereka yang meyakini dengan penuh keyakinan bahwa makna Nama-Nama tersebut milik Tuhan. Tingkat pemahaman ini dapat disamakan dengan pemahaman orang-orang muda, secara benar, namun ini merupakan pemahaman sebagian besar mereka yang terpelajar (‘ulama).68

Kedua adalah kelompok orang-orang beruntung yang dinamakan muqarrabun69 (manusia yang mendekatkan diri kepada Tuhan semaksimal mungkin). Lebih rinci mereka dibagi ke dalam tiga sub kelompok. Pertama, mereka yang memahami makna Nama-Nama Tuhan sesuai dengan pemahaman seorang sufi, yaitu melalui “penyingkapan” (mukasyafa) dan “melihat langsung” (mushahada). Kedua, termasuk mereka yang mengagumi kebesaran Nama-Nama Tuhan, selanjutnya dimengerti dan ingin memilikinya sebanyak mungkin mereka dapat dan mendekati Tuhan melalui Nama-Nama ini. Untuk memperolehnya, seorang harus membersihkan keinginan-keinginan lain dari hati, jika tidak maka benih keinginan ini yang tertanam dalam hati, tentu tidak akan tumbuh secara baik. Ketiga, termasuk mereka yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memperoleh (iktisab) Sifat-Sifat Tuhan sejauh kemampuan mereka dapat memperolehnya, dan meniru Sifat-Sifat Tuhan dan menghiasi diri mereka dengan Sifat-Sifat itu. Melalui cara ini, manusia akan menjadi seperti Tuhan (rabbani) dan sama tingkatannya dengan malaikat.70

(Bersambung)
*) M.Harir Muzakki, Dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ponorogo.

Bahasa »