Karya: Masataka Takeshita
Penerjemah: M. Harir Muzakki *
Namun, ayat al-Qur’an, “Aku tiupkan ke padanya ruh-Ku (min ruhi),” menunjukkan hubungan khusus (nisba) antara Tuhan dan ruh manusia, yang mana ruh dibedakan dari makhluk lain. Al-Ghazali menjelaskan hubungan khusus ini sebagai berikut, dengan menggunakan kiasan pancaran cahaya matahari.
Ayat al-Qur’an bagaikan kata-kata matahari: jika matahari dapat berkata, maka dia akan berkata, “Aku melimpahkan (afadtu) cahayaku (min nuri)” ke bumi … Cahaya yang diterima bumi jenisnya sama dengan cahaya matahari dalam hal tertentu, meskipun sungguh lemah dalam hubungannya dengan cahaya matahari. Kamu telah mengetahui bahwa ruh tidak terbatas ruang dan waktu, dapat mengetahui segala sesuatu. Terdapat persesuaian (mudahat) dan persamaan (munasaba) (antara Tuhan dan ruh).102
Kemudian al-Ghazali ditanya tentang maksud hadis imago Dei. Pertama, dia menjawab bahwa sura (citra, bentuk) memiliki makna yang sama (ism mushtarak) dan dapat digunakan, baik untuk benda yang dapat diindera dalam arti bahasa dan benda yang bersifat abstrak dalam pengertian “urutan” (tartib), “susunan” (tarkib), “persamaan” (tanasub), seperti “citra dalam rmasalah itu” dan “citra dari kejadian.” Tentunya, dalam hadis tersebut sura digunakan dalam pengertian tentang kejadian.103
Hadis tersebut mengacu pada persesuaian (mudahat) antara manusia dan Tuhan. Persesuaian ini bersumber dari esensi (dhat), sifat (sifat), dan perbuatan (af’al). Mengenai esensi, esensi ruh adalah sebagai berikut: ia hidup dalam dirinya, ia bukan aksiden, tubuh, atau subtansi yang terbatas (jawhar mutahayyiz); ia tidak menempati ruang dan waktu, tidak berkaitan dengan tubuh dan dunia, atau dia terpisah dari keduanya, ia tidak berada di alam semesta atau tubuh, ataupun berada di luar keduanya. Penjelasan yang sama juga diterapkan pada esensi Tuhan.104
Sebagaimana halnya sifat-sifat, penjelasannya sama seperti penafsiran kedua tentang hadis imago Dei dalam kitab Imla’. Tuhan menciptakan Adam, sebagaimana dia hidup, mengetahui, berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat dan berbicara. Semuanya ini juga diterapkan pada Tuhan. Namun, tidak seperti dalam kitab Imla’ , kesamaan nama-nama tidak hanya terbatas pada ungkapan.
Tentang tindakan-tindakan itu, penjelasannya paling luas. Perbuatan manusia memiliki urutan (tartib) yang sama sebagaimana perbuatan Tuhan.105 Hanya saja, perbuatan manusia terwujud dari rentetan panjang dari pertengehan (yakni, keinginan dalam hati ? otak ? saraf otot ? urat daging ? tangan ? pena), begitu juga perbuatan Tuhan tidak terwujud kecuali melalui rentetan-rentetan perantara yang panjang, yaitu para malaikat dan planet-planet. Di sini, tema makrokosmos-mikrokosmos menjadi bahasan utama.106 Kontrol manusia atas tubuhnya (mikrokosmos) sama dengan kontrol Pencipta atas alam semesta (makrokosmos). Dan dia menyebutkan secara rinci persesuaian antara makrokosmos dan mikrokosmos.
Kemudian, al-Ghazali ditanya tentang maksud hadis Delphic, “Barangsiapa mengetahui dirinya .…”107 Terutama, dia menegaskan prinsip Empedoclean “persamaan diketahui dengan persamaan,” benda-benda dapat dimengerti melalui contoh yang sama (al-amthila al-munasiba). Bukankah karena persamaan ini, manusia dapat meningkat dari pengetahuan diri menuju pengetahuan tentang Tuhan. Dengan cara yang sama itu, jika tidak ada persamaan antara alam semesta dan manusia, pengetahuan manusia tentang alam semesta menjadi tidak mungkin.
Jika Tuhan tidak menyatukan dalam diri manusia, salinan (mithal) seluruh alam semesta, sehingga manusia bagaikan bentuk sederhana (nuskha nukhtasara) alam semesta, dan seperti Tuhan (rabb) yang berkuasa atas alamnya (yaitu, tubuh), maka manusia tidak akan mengetahui alam semesta, atau Penguasaan (tasarruf), atau Ketuhanan (rububiya), atau akal (‘aql), atau Kekuasaan atau Pengetahuan atau tempat Sifat-sifat Tuhan. Namun, ruh menjadi tangga (mirqad) untuk mengetahui Penciptanya, karena terdapat persesuaian dan persamaan (muwazana).108
Haruslah dicermati bahwa di sini al-Ghazali menafsirkan istilah nafs dalam hadis Delphic sebagai ruh. Seperti kita telah melihat dalam Mishkat, akal, ruh dan jiwa adalah sama. Karena persesuaian antara Tuhan dan ruh, seorang yang mengetahui ruhnya, maka dia mengetahui Tuhannya. Persesuaian ini merupakan persesuaian tindakan pada pembahasan sebelumnya. Karena tindakan ruh seperti tuan atas tubuhnya, disamakan dengan tindakan Tuhan atas makrokosmos. Jadi, ruh memiliki Sifat-Sifat Tuhan dalam dirinya, dan dengan mengetahui dirinya, dapat memahamai Sifat-Sifat Tuhan, Penguasa makrokosmos. Akhirnya, pada kutipan di atas, dikatakan bahwa pengetahuan diri manusia juga dapat membimbing pengetahuannya tentang alam semesta, namun di sini pengetahuan tentang alam semesta tidak berhubungan secara jelas dengan pengetahuan tentang Tuhan, karena hubungan antara Tuhan dan Alam semesta tidak dibahas sama sekali.
Ibn ‘Arabi
Antropologi Ibn ‘Arabi seringkali diberi nama dengan teori Manusia Sempurna. Benar bahwa Ibn ‘Arabi adalah pemikir pertama yang menggunakan istilah “Manusia Sempurna” dalam pengertian teknis.109 Namun, meskipun istilah tersebut menjadi kosa kata umum para pengikut Ibn ‘Arabi pada masa berikutnya, dan menjadi masyhur terutama dengan karya al-Jili “al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat a-Awakhir wa a-Awa’il.”110 Ibn ‘Arabi sendiri jarang menggunakan istilah tersebut dalam sejumlah karyanya. Misalnya, istilah ini digunakan hanya sekali dalam tiga karyanya yang penting tentang metafisika yang diedit oleh H.S. Nyberg.111 Istilah ini sama sekali tidak muncul dalam karyanya Ibn ‘Arabi Shajarat al-Kawn.112 Meskipun, S.H. Nasr berpendapat bahwa karya ini secara khusus berkaitan dengan ide tentang Manusia Sempurna.113 Dalam karyanya yang sempurna dan paling berpengaruh, Fusus al-Hikam, istilah ini digunakan hanya tujuh kali.114 Pada bagian ini, kita akan mengkaji filsafat manusia Ibn ‘Arabi, yang diistilahkan dengan “Insan Kamil,” dilambangkan Adam yang diciptakan sesuai dengan citra Tuhan.
Adam Manusia Sempurna
Dalam Fusus al-Hikam, istilah “Manusia Sempurna” digunakan untuk mendiskripsikan Adam. Sungguh, tiga contoh istilah ini muncul dalam bab yang membahas tentang Adam. Jadi, konsep Manusia Sempurna berhubungan dengan spekulasi Ibn ‘Arabi tentang Adam, yang diciptakan sesuai dengan citra Tuhan sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Di bawah ini gambaran Manusia Sempurna secara lebih jelas.
Iblis adalah (hanya) bagian alam semesta, dan penggabungan (jami’iya) (yang dimiliki Adam) ini tidak terdapat pada Iblis. Karena (gabungan ini), Adam menjadi khalifah. Jika dia tidak terealisasi sesuai citra-Nya yang mengangkatnya khalifah di bumi, tentu dia tidak akan menjadi khalifah. Dan jika terdapat dalam dirinya segala sesuatu yang dibutuhkan oleh subyek-subyeknya, untuk siapa dia dijadikan sebagai khalifah — karena ketergantungan mereka kepadanya, ini merupakan kewajiban, penting bahwa dia memberikannya segala sesuatu yang mereka perlukan — Dia tidak akan menjadikan khalifah atas mereka. Oleh karena itu, kekhalifahan hanya cocok untuk Manusia Sempurna. Dia (Tuhan) menyusun bentuk lahirnya (sura zahira) dari realitas-realitas (haqaiq) alam semesta dan bentuknya, dan dia menciptakan bentuk batinnya (sura batina) sesuai dengan citra yang dimiliki-Nya.115
Dalam kutipan di atas, Adam dipandang sebagai “gabungan.” Konsep “gabungan” (jam’iya) adalah salah satu kata kunci antropologi Ibn ‘Arabi yang paling penting. Pada awal bab tentang Adam, dikatakan bahwa Tuhan ingin melihat Esensi-Nya (‘Ayn) pada makhluk gabungan (kawn jami’) yang mencakup (yahsur) semua urusan-Nya (amar), dan dia menciptakan Adam.116 Namun, apakah manusia merupakan gabungan? Seperti tampak dalam kutipan di atas, dia adalah gabungan dari citra Tuhan dan bentuk alam semesta. Pada halaman sebelumnya, Ibn ‘Arabi menulis, komentar tentang ayat al-Qur’an, “Apakah yang menghalangimu sujud kepada Adam yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku”?
Apa yang menghalanginya (yaitu, setan) (sujud kepada Adam) karena (Adam memiliki) gabungan (jami’) dua citra, yaitu citra alam semesta dan citra Tuhan.117
Bentuk luar Adam secara jelas menunjukkan tubuh fisik manusia, dan bentuk dalam adalah bagian jiwanya. Lebih jauh kaitannya dengan masalah ini, Ibn ‘Arabi menafsirkan secara jelas hadis nawafil, “Aku (Tuhan) menjadi pendengarannya ketika dia mendengar, penglihatannya ketika dia melihat.” Oleh karena itu, Dia berfirman dalam hadis, “Aku menjadi pendengaran dan penglihatannya,” Dia tidak berkata “Aku menjadi mata dan telinganya,” karena untuk membedakan dua bentuk (yaitu, mata dan telinga dunia fisik).118
Juga pada bagian akhir pembahasan Adam, Ibn ‘Arabi menyimpulkan pembahasannya sebagai berikut:
Kamu telah mengetahui hikmah pembentukan (nash’a) Adam, Aku maksudkan bentuk luarnya; juga kamu telah mengetahui bentuk jiwa (ruh) Adam, aku maksudkan bentuk batin … dan perkataannya, “takutlah kepada Tuhanmu,” jadikanlah apa-apa yang tampak bagimu (ma zahara minkum) sebagai perlindungan (wiqaya) bagi Tuhanmu, dan jadikanlah apa-apa yang ada dalam batinmu (ma batana minkum) adalah Tuhanmu, perlindungan bagimu.119
Kita telah melihat pada bab pertama pembahasan ini bahwa dalam tradisi Yahudi-Kristen teori dua sifat manusia menjadi wacana umum. Dalam tradisi tersebut, sisi dalam (batin) merupakan sifat ketuhanan manusia yang mengacu pada jiwa, atau ruh, sementara sisi luar (lahir) merupakan sifat duniawi manusia yang merujuk pada tubuh. Jadi, ruh adalah yang pertama diciptakan sesuai dengan citra Tuhan. Oleh karena itu, pemikiran Ibn ‘Arabi di atas termasuk dalam tradisi ini. Juga dalam karyanya yang lain, dia seringkali merujuk pada pembahasan ini. Dia menulis dalam: Insha’ al-Dawai’r.
Manusia mencakup dua bentuk (nuskhatan), yaitu bentuk lahir dan bentuk batin. Bentuk lahir sama dengan alam semesta … dan bentuk batin sama dengan kehadiran Tuhan.120
Terkadang kekhalifahan itu dialamatkan khusus pada jiwa. Misalnya, dalam al-Futuhat al-Makkiya, setelah menjelaskan jiwa-jiwa individu (al-nufus al juz’iya) sebagai ruh yang ditiupkan oleh Tuhan (al-ruh al-manfukh), Ibn ‘Arabi menulis:
Tuhan memerintahkan mereka (jiwa-jiwa individu) mengatur (tadbir) tubuh, dan mengangkatnnya sebagai khalifah atas tubuh, sehingga nyata baginya jiwa-jiwa itu bahwa mereka adalah para khalifah dalam tubuh.121
Kekhalifahan jiwa atas kerajaan tubuh dan pengaturan tubuh merupakan bahasan utama kitab al-Tadbirat al-Iilahiya al-Mamlaka al-Insaniya.
Meskipun demikian, gabungan (jam’iya) atau totalitas (majmu’) yang Tuhan berikan pada Adam, dan karena itu dia menjadi khalifah, juga ditafsirkan oleh Ibn ‘Arabi dengan istilah yang bersifat lebih metafisika dan teologi. Jadi, Adam mencerminkan seluruh realitas (haqa’iq) alam semesta, yaitu bentuk lahirnya, dan Nama-Nama Tuhan yang merupakan bentuk batinnya.
Kutipan di atas yang pertama menggambarkan Manusia Sempurna, dikatakan bahwa, jika segala sesuatu tidak ditemukan dalam dirinya yang diperlukan oleh subjeknya, tentu dia tidak akan menjadi khalifah. Apa yang dibutuhkan dirinya adalah semua realitas wujud di alam semesta. Berikut penjelasan Manusia Sempurna yang lebih gamblang dalam Fusus al-Hikam dalam aspek penggabungannya.
Dia (Tuhan) menciptakan ringkasan (mukhtasar) yang berharga ini, yaitu Manusia Sempurna, semua Nama-Nama Tuhan dan realitas-realitas yang ada di luar dirinya di alam semesta yang lebih besar, yakni terpisah darinya. Dan Dia menjadikan Adam ruh alam semesta.122
Konsep “realitas” dan “Nama-Nama Tuhan” diambil oleh Ibn ‘Arabi dari teologi Islam dan penggunaan istilah ini terkait erat dengan pandangan metafisiknya. Oleh karena itu, untuk memahami konsep “penggabungan” secara lebih mendalam, harus mengkaji fungsi ontologi dan epistimologi realitas alam semesta dan Nama-Nama Tuhan dalam pandangan metafisikanya. Dalam dua bagian yang berikutnya, dua konsep tersebut dijelaskan secara berurutan, dan implikasi setiap konsep hubungannya dengan penafsirannya tentang hadis imago Dei akan dibahas secara mendetail.
Teori Pengetahuan
Konsep “realitas” seringkali digunakan oleh Ibn ‘Arabi searti dengan konsep “makna” dan sungguh terkait dengan epistimologinya. Ibn ‘Arabi mendefinisikan pengetahuan sebagai berikut:
Sekarang pertama kita mengatakan bahwa pengetahuan berarti realitas (haqiqa) dalam fikiran (nafs), yaitu realitas yang menghubungkan dirinya dengan non wujud dan wujud, sesuai dengan realitasnya atas dasar ia ada (dalam masalah suatu wujud) atau akan wujud (dalam masalah non wujud), atau ia akan menjadi ada. Realitas ini dinamakan pengetahuan.123
Meskipun agak tidak jelas, definisi pengetahuan di atas sangat penting untuk memahami epistimologinya. Definisi itu bersifat ambiguitas, karena istilah “realitas” digunakan dua kali dalam definisi di atas: pertama, suatu realitas dalam fikiran sebagai pengetahuan, kedua sebuah realitas atas dasar yang sesuatu itu ada. Ibn ‘Arabi selalu mensyaratkan “Realitas” bersifat “universal” (kulliya) dan “dapat difahami dalam fikiran” (ma’qulat fi al-dhin), dan dia memberikan contoh “realitas” sebagai berikut:
Ketahuilah bahwa kayu pada gilirannya bukan sebuah bentuk khusus kekayuan (‘udiya), jangan membayangkan kekayuan kecuali sebagai realitas yang dapat difahami dan komprehensip (al-haqiqa al-maa’quliya al-jami’a). Ia ditemukan pada setiap kursi dan tempat tinta, keseluruhannya tanpa pengurangan atau penambahan. Meskipun banyak realitas di dalamnya, seperti kekayuan (al-‘udiya), bujur (istihaliya), persegi empat (tarba’iya), kwantitas (kammiya), dan seterusnya. Setiap realitas itu semua dapat ditemukan seluruhnya.124
Jadi kayu, bujur, segi empat dan kwantitas, semua itu dinamakan realitas. Dalam Fusus al-Hikam, dia juga menjelaskan istilah universal (al-umur al-kulliya) dengan istilah “realitas”.
Predikasi (hukum) objek-objek nyata dapat direduksi menjadi objek universal sesuai dengan apakah realitas-realitas nyata yang ada menuntutnya, seperti hubungan pengetahuan dengan yang mengetahui dan hidup dengan kehidupan. Hidup merupakan realitas yang dapat difahami (haqiqa ma’qulat) dan pengetahuan juga merupakan suatu realitas yang dapat difahami yang merupakan bentuk kehidupan yang berbeda.125
Jadi, konsep abstrak seperti pengetahuan, dan kehidupan merupakan realitas yang dapat difahami. Begitu juga dalam al-Futuhat al-Makkiya, dia menyebutkan realitas kemanusiaan (insaniya).
Meskipun Zaid tidak sama dengan ‘Amr berkaitan dengan bentuknya, dia sama dengan ‘Amr dalam hal kemanusiaan (insaniya). Dia tidak berbeda dari ‘Amr. Jika dia tidak lain dari ‘Amr dalam hal kemanusiaan, maka dia bukanlah kembarannya, akan tetapi keduanya adalah sama. Realitas kemanusiaan tidak dapat terbagi, nampaknya ia terdapat pada setiap manusia secara keseluruhan, bukan sebagian. Tidak ada kesamaan manusia seluruhnya. Kesamaan itu juga diterapkan pada semua realitas lain.126
Dari contoh penggunaan “realitas,” si atas, kita dapat menyimpulkan bahwa realitas-realitas bersifat universal, yaitu konsep abstrak, searti dengan “makna” (ma’na).
Sekarang, adalah jelas mengapa istilah “realitas” digunakan dua kali dalam definisi pengetahuan sebagaimana yang dikutip di atas. Pertama, ia bersifat universal yang terdapat pada wujud tertentu, kedua ia bersifat universal dalam fikiran manusia, sebagai pengetahuan tentang sesuatu. Contohnya, dalam hal pengetahuan manusia tentang anjing, modus operandi-nya sebagai berikut: terdapat realitas tentang anjing, yaitu “dogness” pada anjing tertentu yang ada in concreto. Ketika manusia memahami anjing tertentu, realitas anjing masuk dalam fikiran, dan di sini realitas adalah pengetahuannya tentang anjing.
Sebagaimana, kami telah menjelaskan konsep “realitas” dan teori pengetahuan Ibn ‘Arabi tentang persepsi manusia. Sekarang kami akan meneruskan salah satu poin epistimologinya yang paling khas, yaitu persamaan antara pengetahuan manusia dan pengetahuan Tuhan, dan selanjutnya teorinya tentang pengetahuan non-persepsi, yang memiliki hubungan sangat mencolok. Tulisan tentang epistimologinya yang paling ringkas dan jelas dapat ditemukan dalam karya kecil, Insha’ al-Dawa’ir, yang kemudian banyak dimasukkan ke dalam al-Futuhat al-Makkiya.127
Dalam karya ini, dia selalu menyamakan antara pengetahuan manusia dan pengetahuan Tuhan dalam penjelasan teori pengetahuan dan dia menamakan persamaan ini dengan persesuaian (mudahat). Namun, terdapat perbedaan mendasar antara keduanya. Pengetahuan Tuhan adalah persepsi (idrak) yang terbedakan (mufassal) dalam kesatuan (mujmal), sementara di sisi lain, manusia dapat mengetahui kesatuan hanya melalui perbedaan, misalnya lewat objek-objek temporal yang hanya terjadi di alam semesta yang bersifat fenomenal.128 Dalam ungkapan lain, pengetahuan Tuhan berjalan secara deduktif dari umum ke yang khusus, sementara pengetahuan manusia berjalan secara induktif dari yang khusus ke yang umum. Tentang masalah Tuhan, Ibn ‘Arabi berpendapat, seperti para filosof Islam bahwa pengetahuan-Nya tidak memerlukan indera persepsi wujud tertentu in concreto.129 Dia tidak mengetahui rincian makhluk yang ada di alam semesta.
Pengetahuan-Nya bersifat universal, dan Dia dapat membedakan pengetahuan universal ini kapanpun dia menginginkannya, dan dengan cara ini, Dia dapat memperoleh pengetahuan khusus, yang mencakup kombinasi tertentu hal-hal yang bersifat universal.
Kesatuan (tak terbedakan) ini, pengetahuan paling universal yang oleh Ibn ‘Arabi dinamakan sebagai “realitas yang sebenarnya” (haqiqat al-haqa’it) atau summum genus (jins al-ajnas).130 Realitas sebenarnya adalah pengetahuan Tuhan; namun ia juga merupakan pengetahuan manusia, hanya saja dia (manusia) memperoleh pengetahuannya melalui pengetahuan particular.
Meskipun modus operandi-nya berbeda, akhirnya pengetahuan manusia dan Tuhan adalah sama. Dan menurut Ibn ‘Arabi di sini letak rahasia persesuaian antara Tuhan dan Manusia.131 Masalah ini akan menjadi lebih jelas dalam bahasan pengetahuan diri.
Kita telah memahami bagaimana manusia memperoleh pengetahuan wujud in concreto melalui indera persepsi. Namun, menurut Ibn ‘Arabi manusia dapat juga mengetahui bentuk tertentu non wujud, misalnya non wujud yang eksistensinya adalah mungkin secara logika, seperti “hewan” atau “burung phoenix.” Jika, pengetahuan manusia selalu tergantung padanya, dan tergantung kepadanya, bagaimana pengetahuan tersebut bisa menjadi mungkin? Dia menjawab pertanyaan ini dengan mengajukan konsep mithl.132 Dia menulis:
Pengetahuan menghubungkan dirinya dengan non wujud melalui hubungan dirinya dengan mithl yang ada dari non wujud.133
Mithl terutama berarti salinan, yaitu citra mental yang diciptakan dalam fikiran setelah mempersepsi objek nyata. Oleh karena itu, ia bisa dianggap sebagai suatu wujud dalam pengetahuan, meskipun bukan in concreto. Lebih jauh, Ibn ‘Arabi menjelaskan secara lebih rinci modus operandi pengetahuan non wujud manusia in concreto melalui mithl.
Salah satu dari persyaratan hubungan pengetahuan dengan objek pengetahuan, yaitu salah satu individu tunggal dari yang asli menjadi ada (in concreto), atau sebagian darinya hadir menyebar ke dalam wujud yang berbeda, melalui yang memiliki gabungan wujud baru muncul (dalam fikiran), yang kamu ketahui sementara ia masih berupa non wujud in concreto. Ia (wujud baru dalam fikiran) menjadi sebuah salinan (mithl) bagi non wujud. Jadi, pengetahuanmu hanya merupakan hubungan pandanganmu atas wujud dan realitas (haqiqa).134
Oleh karena itu, pengetahuan manusia tentang seekor hewan adalah mungkin, karena semua bagian yang terdapat dalam hewan ada secara sporadis dalam wujud yang berbeda, dan tidak sama dengan masalah kemutlakan non wujud, seperti halnya Tuhan, seorang dapat menggabungkan semua bagian-bagian pokok, dan salinan dari seekor hewan yang selanjutnya diciptakan dalam fikiran menjadi objek pengetahuan.
Tentang pengetahuan non wujud manusia akan dibahas. Namun, sebagaimana kami telah menjelaskan di atas, Tuhan tidak memiliki persepsi pengetahuan hal-hal yang bersifat kebetulan. Dari sudut pandang Tuhan, semua hal-hal yang bersifat kebetulan adalah non wujud. Oleh karena itu, pengetahuan-Nya tentang yang kebetulan harus berjalan atas prinsip yang sama, seperti pengetahuan non wujud manusia in concreto. Di bawah ini, Ibn ‘Arabi menjelaskan pengetahuan Tuhan tentang manusia dan alam semesta, dan di sini Ibn ‘Arabi memperkenalkan tema homo Imago Dei.
Kamu harus mengetahui, bukan karena kenyataan bahwa manusia ada dalam bentuk (‘ala al-sura), pengetahuan tidak akan menghubungkan dirinya dengan sesuatu yang bersifat temporal (al-hadis) yang secara abadi terjadi dan terus terjadi melalui bentuk wujud yang abadi (al-sura al-maujuda al-qadima), dimana manusia diciptakan. Dan seluruh alam semesta diciptakan seperti bentuk manusia. Jadi, alam semesta juga wujud dalam bentuk dimana manusia diciptakan.135
Meskipun pernyataan di atas agak sulit difahami, di sini jelas bahwa tema homo imago dei dilengkapi dengan tema mundus imago hominisa. Pengetahuan Tuhan yang abadi berhubungan dengan bentuk yang ada secara abadi, yang tiada lain kecuali diri-Nya sendiri.
Meskipun Tuhan tidak memiliki pengetahuan persepsi tentang manusia dan alam semesta, pengetahuan Tuhan tentangnya adalah mungkin melalui pengetahuan-Nya tentang citra-Nya, karena alam semesta dan manusia diciptakan sesuai dengan citra-Nya. Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwa satu-satunya objek pengetahuan universal Tuhan, tidak terbedakan dimana Dia dapat memahami perbedaan, adalah “bentuk yang ada secara abadi” ini, yaitu bentuk-Nya. Pemikiran Ibn ‘Arabi itu bahwa Tuhan mengetahui hanya bentuk-Nya adalah sungguh sangat dekat dengan pemikiran Ibn Sina bahwa Tuhan mengetahui eksistensi partikular dengan mengetahui diri-Nya. Sungguh, Ibn ‘Arabi menjelaskan persamaan pengetahuan diri Tuhan dengan pengetahuan-Nya tentang alam semesta secara lebih jelas dalam ‘Uqlat al-Mustawfiz. Dan hadis imago Dei digunakan dalam konteks ini.
Tuhan mengetahui diri-Nya, kemudian mengetahui alam semesta. Jadi, alam semesta muncul dalam bentuk, dan Tuhan menciptakan manusia sebagai ikhtisar yang berharga, dimana Dia menyatukan konsep (ma’ani) dunia yang lebih besar, dan Dia menjadikan manusia salinan (nuskha) yang menyatukan keduanya, yaitu segala sesuatu yang ada di alam semesta yang lebih besar dan Nama-Nama Tuhan yang merupakan kehadiran Tuhan. Berkaitan dengan hal ini Nabi bersabda: “Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan citra-Nya.” Karena alasan ini, kita mengatakan bahwa alam semesta hadir sesuai dengan citra itu.136
Dalam Insha’ al-Dawa’ir, teori pengetahuan diri diungkapkan dalam bentuk yang lebih umum dan tidak jelas:
Adalah penting bahwa setiap orang yang mengetahui, tanpa pengecualian dan pengkhususan, terdapat suatu wujud dalam fikirannya (fi nafsihi) dan in concreto, menjadi seorang yang mengetahui dirinya sendiri dan orang yang faham tentang dirinya. Setiap objek pengetahuan lain baik wujud dalam bentuknya (orang yang mengetahui) (‘ala suratihi), dimana pengetahuan dia (orang yang mengetahui) merupakan mithal (paradigma/salinan) darinya (objek pengetahuan itu), atau wujud dalam beberapa bagian bentuknya. Dengan cara ini, seorang menjadi orang yang mengetahui objek-objek tentang suatu pengetahuan, karena dia adalah orang yang mengetahui dirinya. Dan pengetahuan dirinya ini menentukan objek-objek pengetahuan.137
Seluruhnya pernyataan di atas sayangnya sangat sulit difahami. Salah satu alasannya, di sini Ibn ‘Arabi membuat pernyataan umum yang tidak jelas secara sengaja, sehingga dapat diterapkan pada pengetahuan Tuhan dan manusia. Jadi, bagian ini memerlukan analisis antara keduanya (pengetahuan manusia dan Tuhan) secara terpisah.
(Bersambung)
*) M.Harir Muzakki, Dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ponorogo.