Karya: Masataka Takeshita
Penerjemah: M. Harir Muzakki *
Pertama, ketika kita menerapkan bagian di atas pada pengetahuan Tuhan, pemikirannya sebagai berikut: Tuhan adalah Zat yang mengetahui diri-Nya, Zat yang memahami diri-Nya. Oleh karena itu, objek pertama pengetahuan-Nya adalah diri-Nya. Semua objek pengetahuan selain diri-Nya berada dalam citra-Nya secara keseluruhan ataupun dalam beberapa bagian citra-Nya.
Dalam pembahasan tema homo imago dei dan mundus imago hominis, objek pengetahuan yang ada secara utuh sesuai dalam citra-Nya tentu manusia dan alam semesta. Namun, pemikirannya terdengar aneh. Ini karena dalam hal pengetahuan Tuhan, “salinan” nyata-nyata tidak merupakan arti mithal yang memadai. Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, arti mithal yang pasti adalah objek pengetahuan yang ada dalam fikiran orang yang mengetahui. Dalam kaitannya dengan manusia, mithl tergantung pada persepsi indera tentang wujud in concreto. Di sisi lain, dalam hal pengetahuan Tuhan yang abadi, objek pengetahuan tidak tergantung pada persepsi indera; sebaliknya secara jelas dikatakan bahwa dari sudut pandang Tuhan, wujud pengetahuan yang ada sebelumnya in concreto. Jadi, dalam hal pengetahuan Tuhan, penerjemahan terbaik istilah mithal adalah “paradigma, bentuk,” dan dalam pengertian ini, menjadi sangat dekat dengan ide Plano (mithal).138
Ketika kita mengartikan istilah mithal dengan “paradigma,” pada bagian di atas berarti bahwa Tuhan Sendiri adalah bentuk dan paradigma manusia dan alam semesta. Di satu sisi, kita mengetahui dari bagian sebelumnya bahwa pengetahuan itu sendiri adalah “bentuk yang ada secara abadi.” Jadi, bentuk manusia dan alam semesta tak lain kecuali bentuk Tuhan yang ada selamanya.
Sebagaimana telah kita lihat pada bagian pertama, ini adalah doktrin yang lazim dalam tradisi Yahudi-Kristen tentang teologi citra. Pun dalam faham Gnostis dan para pendeta Kristen masa awal. Istilah eikon digunakan dalam dua hal: Urmensch yang bersifat langit dalam faham Gnostis dan Kristus, Logos dalam Kristen dinamakan eikon dalam arti “bentuk, asli,” dan juga manusia duniawi disebut eikon dalam arti “salinan” Urmench samawi atau Logos. Dalam hal yang sama, Ibn ‘Arabi menamakan manusia yang diciptakan dalam citra mithl-Nya (salinan). Dalam bahasa lain, citra Tuhan merupakan sebuah paradigma, model (mithl) manusia, dan manusia adalah sebuah salinan (mithl) dari citra-Nya. Ibn ‘Arabi menulis: “mithl adalah manusia, juga mithl adalah citra dimana dia diciptakan”.139
Dengan cara ini, Ibn ‘Arabi menafsirkan pemikiran Ibn Sina bahwa Tuhan hanya mengetahui diri-Nya sebagaimana “Tuhan mengetahui Citra-Nya.” Seperti halnya dia mengikuti Ibn Sina dalam pendapatnya bahwa pengetahuan diri Tuhan, yaitu pengetahuan-Nya tentang citra-Nya, sama dengan pengetahuan partikular-Nya, yaitu pengetahuan-Nya tentang manusia dan alam semesta.
Akhirnya, mengenai objek-objek pengetahuan yang terdapat dalam beberapa bagian citra-Nya, objek pengetahuan itu harus dijadikan beberapa wujud partikular di alam semesta. Wujud partikular itu diketahui melalui perbedaan yang Tuhan fahami dalam keseragaman, yaitu citra-Nya, meskipun Dia memiliki berbagai macam persepsi langsung tentang wujud partikular.
Argumen di atas adalah modifikasi Ibn ‘Arabi secara mendasar terhadap doktrin Ibn Sina tentang pengetahuan diri Tuhan. Namun, Ibn ‘Arabi menegaskan bahwa modus operandi pengetahuan di atas tidak hanya dapat diterapkan pada Tuhan, tetapi juga pada manusia. Dengan kata lain, dia mencoba menguatkan bahwa dalam pengetahuan manusia, begitu juga pengetahuan diri sama dengan pengetahuannya tentang alam semesta. Penting untuk diperhatikan bahwa al-Ghazali menyatakan kemustahilan doktrin Ibn Sina tentang pengetahuan diri Tuhan diterapkan pada pengetahuan manusia.
Apakah pengetahuan Tuhan tentang semua spesis dan genera, yang memiliki jumlah tidak terbatas, sama dengan pengetahuan diri-Nya, ataukah tidak? … tetapi jika kamu mengatakan bahwa ia adalah sama, mengapa kamu sendiri tidak berkelompok dengan orang yang menklaim bahwa pengetahuan manusia tentang segala sesuatu selain dari dirinya sama dengan pengetahuan dirinya dan dengan esensinya? Dan siapapun dia yang membuat pernyataan ini pasti bodoh.140
Bagaimanapun juga, merupakan pernyataan “bodoh” yang Ibn ‘Arabi kemukankan di sini.
Karena hubungan antara tema homo imago Dei dan mundus homini, penerapan doktrin pengetahuan diri manusia kelihatan mudah. Karena seluruh alam semesta diciptakan sesuai dengan citra manusia. Oleh karena itu, manusia merupakan model dan paradigma alam semesta. Objek pengetahuan yang ada pada beberapa bagian citranya tentu juga menjadi bagian wujud alam semesta, karena citra dimana alam semesta diciptakan harus mencangkup setiap wujud partikular di alam semesta. Jadi, sebagaimana Tuhan, manusia dapat mengetahui seluruh wujud partikular alam semesta yang tercakup dalam citranya dengan mengetahui citranya. Jika, manusia merupakan bentuk alam semesta, maka wujud partikular yang tercakup dalam bentuknya harus juga menjadi bentuk-bentuk wujud partikular in concreto. Dia dapat mengetahui bentuk-bentuk partikular yang tercakup dalam bentuknya hanya dengan memahami dan mengetahui bentuknya.
Namun, di sini muncul suatu kesulitan. Pemikiran di atas nampaknya bertentangan dengan pemikiran empiris sebelumnya yang dari sudut pandang manusia, wujud in concreto mendahului wujud dalam pengetahuan. Sebagaimana, telah kami jelaskan, dalam hal pengetahuan manusia mithl harus ditafsirkan sebagai “salinan,” bukan sebagai model, paradigma. Perbedaan dasar antara pengetahuan manusia dan Tuhan nampaknya hilang, dan keduanya sepenuhnya menjadi sama. Meskipun Ibn ‘Arabi tidak menyelesaikan pertentangan ini secara jelas, nampaknya dia memberikan solusi dengan membedaan antara pengetahuan yang tak terbedakan dan pengetahuan yang terbedakan. Atas dasar perbedaan ini, penyelesaiannya menjadi sebagai berikut; meskipun objek pengetahuan dalam fikiran manusia, yaitu citranya dimana alam semesta diciptakan, mencakup semua rincian-rincian fenomena alam semesta secara potensial, ia masih belum terbedakan. Contohnya, ketika seorang melihat sebatang pohon in concreto melalui pohon ini, adalah tak terbedakan dalam fikirannya yang terbedakan. Dengan menggunakan ekspresi yang dimilikinya, manusia dapat mengetahui yang tak terbedakan, yaitu citranya secara berbeda hanya melalui beberapa wujud partikular temporal dalam fenomena alam semesta.
Kita akan mengkaji doktrinnya tentang pengetahuan diri sehingga kita dapat memahami kesamaan pengetahuan antara Tuhan dan manusia secara lebih jelas. Pengetahuan manusia tentang citranya, yang tak terbedakan, adalah tak lain kecuali “realitas yang sebenarnya,” yaitu pengetahuan Tuhan yang tak terbedakan. Ini makna sesungguhnya penjelasannya tentang manusia sebagai gabungan seluruh realitas alam semesta. Namun, tidak seperti Tuhan, manusia tidak dapat membedakan semua realitas yang inheren dalam dirinya kecuali melalui persepsi indera atas wujud-wujud partikular in concreto. Ibn ‘Arabi menulis:
Ini (realitas sebenarnya) merupakan sumber alam semesta bagi seluruh wujud, dan ia dapat difahami dalam fikiran, namun bukan wujud in concreto … Ia berada di berbagai wujud sebagai suatu realitas yang tidak terbagi dan bertambah, atau tidak terkurangi. Wujudnya berasal dari munculnya wujud-wujud partikular, keduanya bersifat abadi dan temporal. Jika bukan karena wujud-wujud konkrit, kita tidak akan memahami realitas-realitas tentang berbagai wujud itu. Meskipun wujudnya bergantung pada wujud individu-indiviu, pengetahuan individu-individu dengan suatu cara yang terbedakan tergantung pada pengetahuan tentangnya, karena barang siapa tidak mengetahuinya, maka tidak dapat membedakan di antara berbagai wujud. Misalnya, kita akan mengatakan bahwa benda-benda yang tidak terorganik, para malaikat, dan keabadian merupakan kesatuan dan sesuatu yang sama, karena seorang tidak dapat mengetahui realitas-realitas, dan kemudian seorang tidak mengetahui dengan apa dia dapat membedakan wujud satu sama lain.141
Jadi, dalam masalah pengetahuan manusia tentang alam semesta, berbagai realitas yang inheren dalam dirinya dan wujud-wujud in concreto adalah saling bergantung; kita tidak bisa memahami berbagai realitas secara berbeda, jika bukan karena wujud in concreto, namun kita tidak dapat mengetahui sebenarnya wujud in concreto, jika realitas-realitas alam semesta tidak menyatu pada kita sebelumnya, sekalipun sama.
Kita telah mengetahui bagaimana Ibn ‘Arabi menggabungkan tema homo imago Dei dengan doktrin pengetahuan diri. Namun, meskipun pada bagian di atas identifikasi pengetahuan diri manusia dan pengetahuannya tentang alam semesta disusun, bagian penting yang lain tentang doktrin pengetahuan diri, misalnya tema Delphic (identifikasi pengetahuan diri manusia dan pengetahuannya tentang Tuhan) adalah sedikit. Pada bagian berikut, secara jelas dia menggabungkan tema homo imago Dei, doktrin pengetahuan diri, dan tema Delphic. Bagian ini dapat dikatakan menjadi bagian paling penting dan penjelasan tema imago Dei.
Jika seorang berada dalam citra sesuatu, kemudian sesuatu ini juga merupakan citranya, sehingga dengan satu perbuatan penglihatan citra yang dimiliki orang itu, dia melihat orang itu yang berada dalam citranya (man hua’ala suratihi), dan dengan satu perbuatan mengetahui dirinya, dia mengetahui orang itu yang ada dalam citranya (man huwa’ala suratihi).142
Seperti bagian sebelumnya, bagian di atas diungkapkan dalam bentuk istilah umum yang dapat diterapkan pada Tuhan dan manusia. Berkaitan dengan Tuhan, bagian pertama menyinggung tentang hadis imago Dei. Namun, lebih jauh Ibn ‘Arabi melanjutkan dan berpendapat bahwa sebagai manusia yang berujud sesuai dengan citra Tuhan, begitu juga Tuhan dalam citra manusia. Karena citra Tuhan dan citra manusia adalah sama, dengan satu tindakan melihat citra yang dimiliki-Nya, Dia melihat manusia yang diciptakan sesuai dengan citra-Nya dan citra alam semesta yang pada gilirannya diciptakan sesuai dengan citra manusia. Dengan satu tindakan mengetahui diri-Nya, Dia mengetahui manusia dan alam semesta.
Hubungannya dengan manusia, bagian ini dapat ditafsirkan dengan dua cara, yaitu berkaitan dengan hubungan manusia dengan alam semesta, dan dengan Tuhan, karena posisi tengah manusia antara Tuhan dan alam semesta. Dan dua penafsiran ini mungkin karena ketidakjelasan ungkapan man huwa ‘ala suratihi yang memungkinkan dua penerjemahan berbeda. Terkait hubungan manusia dengan alam semesta, ungkapan tersebut harus diterjemahkan sebagaimana kutipan di atas. Wujud alam semesta sesuai dengan citra manusia, dan karena persesuaian ini, pengetahuan diri manusia sama dengan pengetahuannya tentang alam semesta. Namun, sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, pengetahuan manusia yang rinci tentang alam semesta memerlukan wujud in concreto di alam semesta. Jadi, akan menjadi lebih tepat untuk mengatakan kaitannya dengan manusia bahwa pengetahuannya tentang alam semesta sama dengan pengetahuannya tentang dirinya.
Pada masalah kedua, misalnya hubungan manusia dengan Tuhan, ungkapan tersebut harus diartikan dengan “(dia melihat/mengetahui) seorang yang dalam citranya yangmana dia berwujud.” Kemudian seluruh bagian bermakna identifikasi pengetahuan manusia tentang dirinya dengan pengetahuannya tentang Tuhan. Jika kita menggabungkan dua hal di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa pengetahuan manusia tentang alam semesta sama dengan pengetahuannya tentang dirinya, dan pengetahuan diri tidak lain kecuali pengetahuannya tentang Tuhan. Dengan cara ini, pengetahuan manusia tentang alam semesta, tentang dirinya, dan tentang Tuhan adalah serupa.
Pada bagian ini, kita telah melihat bagaimana epistimologinya yang menggunakan tema imago Dei. Kita dapat membuat skema hubungan antara Tuhan, manusia alam semesta sebagai berikut:
Tuhan
Citra (bentuk) —————- Manusia (salinan)
(= objek pengetahuan diri) —-
——————————- Citra (bentuk) —– alam semesta
——————————–(=objek pengetahuan diri)
Teori Nama-Nama Tuhan
Sebagaimana kita telah membahas pada bagian pertama, Adam, simbol manusia, dicirikan oleh Ibn ‘Arabi sebagai gabungan Nama-Nama Tuhan dan realitas alam semesta. Karena kita telah mengkaji makna gabungan realitas alam semesta pada bagian sebelumnya, pada bagian ini kami ingin menjelaskan fungsi Nama-Nama Tuhan dalam metafisika Ibu ‘Arabi dan menguraikan apa yang dimaksud Ibn ‘Arabi dengan “penggabungan Nama-Nama Tuhan.”
Ibn ‘Arabi menafsirkan citra Tuhan dengan hadis imago Dei, sebagai Nama-Nama Tuhan. Dalam Fusus al-Hikam, dia menulis:
Karena alasan ini, Dia (Nabi) bersabda berkenaan dengan penciptaan Adam, yang menjadi contoh (barnama) yang menyatukan tanda-tanda (nu’ut) Kehadiran Tuhan (hadra ilahiya), yaitu Esensi (dzat), Sifat-Sifat, dan perbuatan (af’al). “Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan citra-Nya.” Dan bentuknya tak lain kecuali kehadiran Tuhan.143
Dari kutipan di atas, jelas bahwa citra dimana Adam diciptakan merupakan Kehadiran Tuhan, yang diskripsinya merupakan Esensi, Sifat dan Perbuatan. Terdapat tiga kelompok Nama-Nama Tuhan. Jadi, seperti pendapat al-Ghazali, Kehadiran Tuhan berarti domain Nama-Nama Tuhan. Juga pada bagian lain Fusus al-Hikam, Ibn ‘Arabi mengatakan secara jelas bahwa citra Tuhan mencakup Nama-Nama Tuhan.144 Dalam al-Futuhat al-Makkiya, identifikasi citra Tuhan dengan Nama-nama Tuhan dinyatakan dengan cara sebagai berikut:
Seluruh Nama-Nama Tuhan dinisbahkan padanya (manusia-Adam) tanpa pengecualian seorangpun. Jadi, Adam muncul dalam citra Nama Allah, karena nama ini mencakup semua Nama-Nama Tuhan.145
Asal mula persamaan ini nampaknya berasal dari Shibli. Dan sebagaimana kita telah membahas dalam pandangan Ruzbihan Baqli dan al-Ghazali, hadis imago Dei selalu ditafsiri sebagai kesamaan nama-nama antara Tuhan dan manusia. Juga Abu al-Qasim al-Gorgani, guru al-Ghazali dalam faham sufi, berkata seluruh Nama-nama Tuhan yang berjumlah 99 juga dapat diterapkan oleh manusia.146
Terkadang kesamaan ini dipandang menjadi suatu petunjuk kewajiban moral manusia untuk meniru sifat Tuhan, sebagaimana kita telah mengkaji dalam pemikiran al-Ghazali. Pemikiran semacam ini juga banyak ditemukan dalam pandangan Ibn ‘Arabi. Dalam Tadribat al-Ilahiya, dia menulis:
Adalah penting bagi khalifah ini meniru Nama-Nama Zat yang mengangkatnya sebagai khalifah, sehingga ia (yaitu, sifat Tuhan) bisa muncul dalam sifat dirinya dan perbuatannya.147
Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa dia pernah menulis sebuah karya kecil tentang masalah meniru Nama-Nama Tuhan.
Terkadang kesamaan nama-nama dipandang sebagai konsep untuk mendapatkan pengetahuan Tuhan. Kesamaan nama-nama memberikan dasar teori untuk memahami pengetahuan diri manusia dan pengetahuannya tentang Tuhan, yang didukung dengan hadis Delphic. Kita telah melihat penjelasan teori al-Ghazali dalam masalah ini.
Teori ini juga tidak sedikit dalam pemikiran Ibn ‘Arabi. Dalam al-Tadribat al-Ilahiya, dia membagi Nama-Nama Tuhan menjadi nama-nama positif dan nama-nama negatif. Nama-nama negatif menunjukkan esensi, sedangkan nama-nama positif, dia menulis sebagai berikut:
Tuhan adalah ada (mawjud) dan kita juga ada (muwjud) dan jika tidak ada pengetahuan tentang wujud kita, kita tidak akan mengetahui makna wujud, untuk mengatakan bahwa Pencipta adalah maujud. Jadi, ketika Dia menciptakan dalam diri kita “pengetahuan,” kita mengakui pengetahuan tentang Tuhan. Dengan cara ini, kita mengakui kehidupan Tuhan lewat kehidupan kita, Mendengar, Melihat, Berbicara melalui (pendengaran, penglihatan) kita, dan berbicara meskipun tidak melalui suara kita, dan tulisan kita. Kekuasaan, Keinginan, dan Nama-nama lain, Kaya, Dermawan, Baik, Pemaaf dan Penyayang terdapat dalam diri kita. Ketika Dia menamai diri-Nya pada kita dengan Nama-Nama ini, maka kita bisa memahami nama-nama itu. Kita tidak bisa memahaminya kecuali melalui nama-nama yang Dia ciptakan dalam diri kita.148
Dan dalam konteks ini, hadis Delphic dikutip. Melalui nama-nama dan kualitas-kualitas yang Tuhan ciptakan dalam diri kita, kita dapat mengetahui makna Nama-Nama Tuhan. Di samping doktrin-doktrin sufi tradisional tentang kesamaan nama-nama, Nama-Nama Tuhan memiliki fungsi kosmologi dalam pandangan Ibn ‘Arabi. Untuk mengetahui fungsi ini, kita dapat memahami, pertama kita harus meneliti doktrinnya tentang Nama-Nama Tuhan.
Teori Ibn ‘Arabi tentang Nama-Nama Tuhan, sama dengan al-Hallaj dan al-Ghazali, didasarkan pada sifat-sifat Tuhan faham Asy’ariyah. Menurut mereka, sifat-sifat Tuhan tidak sama dengan atau terpisah dari Esensi Tuhan. Definisi yang khas ini benar-benar sesuai dengan konsep “citra.” Sebagaimana kita telah mendiskusikan dalam tradisi Yahudi-Kristen, “citra Tuhan” seringkali digunakan pada saat untuk mengungkapkan kesamaan dasar dengan dan berbeda dari Diri Tuhan. Dengan kata lain, citra Tuhan tidak sama dengan atau terpisah dari Tuhan.
Pertama, dia membedakan Sifat-Sifat dan Nama-Nama sebagai berikut. Semua Sifat Tuhan merupakan berbagai realitas, misalnya universal, konsep-konsep yang dapat difahami.149 Juga mereka dinamakan “realitas Nama-Nama Tuhan” (al-Haqa’iq al-Asma’), yaitu makna-makna yang dimiliki oleh Nama-Nama Tuhan dan melaluinya yangmna mereka mem bedakan diri mereka sendiri satu sama lain.150
Kedua, Nama-Nama Tuhan merupakan hubungan (nisab) dan kondisi-kondisi (ahwal) yang tidak ada atau non wujud.151 Dalam hubungannya dengan Tuhan, mereka sama dengan Esensinya, oleh karena itu dalam diri Tuhan, Nama-Nama tersebut belum terbedakan, dan nama “Pemberi Ni’mat” (mun’im) adalah sama dengan Nama “Pemberi Balasan” (mu’adhib).152 Di sisi lain, dalam hubungannya dengan konsep abstrak yang terdapat dalam nama-nama, yaitu hubungannya dengan “realitas-realitas,” nama-nama itu berbeda satu sama lain.
Setiap Nama menunjukkan Esensi dan konsep (ma’na) khusus yang ia bawa dan ia perlukan. Berkenaan dengan petunjuk Esensinya, setiap Nama mencakup semua Nama-Nama lain. Berhubungan dengan isyaratnya tentang makna (khusus) melalui yang dibedakan, ia adalah berbeda dari Nama-Nama lain … Nama itu sama dengan yang Dinamai berkenaan dengan Esensi tersebut; ia tidak sama dengan yang Dinamai terkait dengan makna khusus yang dia bawa. 153
Meskipun perbedaan Nama-Nama ini tetap potensial bagi Tuhan; hanya melalui penciptaan alam semesta, Nama-Nama sunggah dibedakan, karena Nama-Nama ini tidak bermakna tanpa alam semesta: Nama “Pencipta” memerlukan wujud makhluk dan Nama “Pemaaf” membutuhkan wujud yang diberi maaf.154 Dalam pengertian ini, Nama-Nama Tuhan menjadi perantara penciptaan alam semesta. Tuhan sendiri tidak memerlukan alam semesta, ia merupakan keinginginkan Nama-Nama Tuhan untuk memanifestasikan dirinya di alam semesta dan untuk membedakan nama-nama.
satu sama lain, yang menyebabkan Tuhan menciptakan alam semesta.
Tuhan membebaskan Nama-Nama-Nya dari kekurangan dimana nama-nama itu menemukan dirinya sendiri karena non manifestasi dari berbagai efeknya.155
Jadi, fenomena alam yang bersifat fenomenal ini merupakan manifestasi Nama-Nama Tuhan, dan setiap wujud di alam adalah manifesatasi Nama-Nama Tuhan tertentu. Dalam Insha’ al-Dawa’ir. Dia juga menulis:
Ketika kita menanyakan yang menjalankan kekuatan alam semesta ini, kita menemukan bahwa ia adalah Nama-Nama Indah yang memanifestasikan dirinya (zaharat) di alam semesta secara lengkap dan sempurna. Nama-Nama ini merealisasikan dirinya di alam semesta ini melalui akibat-akibatnya (athar) dan ketentuan-ketentuan (ahkam), tidak melalui esensi-esensinya (dhawat), namun melalui salinan-salinannya (amthal), tidak melalui realitas-realitasnya (haqa’iq), akan tetapi melalui pertalian yang halus (raqa’iq).156
Istilah “ketentuan” dan “salinan” memberi kesan fungsi Nama-Nama Tuhan sebagaimana Ide Platonik, yang merupakan objek-objek pasti dan paradigma wujud duniawi. Dalam pengertian ini, dia mengatakan bahwa alam semesta diciptakan sesuai dengan citra Tuhan.
Pada bagian sebelumnya, kita telah membahas konsep realitas dalam pemikiran Ibn ‘Arabi. Di sini penting untuk menjelaskan hubungan antara Nama-Nama Tuhan dan realitas-realitas itu. Dalam al-Futuhat al-Makkiya dikatakan bahwa setiap realitas memiliki persesuaian dengan Nama Tuhan.157 Namun sangat tidak jelas, misalnya apakah Nama Tuhan itu sesuai dengan realitas pepohonan? Dalam Insha’ al-Dawa’ir, Ibn ‘Arabi mengisyaratkan bahwa realitas sesungguhnya secara keseluruhan merupakan Sifat pengetahuan Tuhan.158 Jadi, ia sama dengan Nama “Yang Mengetahui.” Di satu sisi, sebagaimana yang kita telah ketahui, realitas itu bersifat universal, dan seperti teori universal Ibn Sina, realitas memiliki tiga bentuk wujud.159 Pertama, realitas secara abadi berada dalam diri Tuhan, sebagai pengetahuan-Nya, kedua realitas merupakan manifestasi wujud khusus di alam semesta, dan ketiga realitas berada dalam fikiran manusia, sebagai pengetahuannya. Dalam diri Tuhan, realitas belum terbedakan, dan hanya melalui alam semesta, realitas itu terbedakan, dan realitas dalam diri Tuhan merupakan paradigma bentuk berbagai wujud khusus di alam semesta. Jadi, secara fungsional, realitas pada diri Tuhan dapat ditafsirkan sebagai Nama-Nama Tuhan. Dengan kata lain, realitas pepohonan yang ada secara abadi dalam diri Tuhan adalah salah satu dari Nama-Nama Tuhan. Dengan cara ini, manusia sebagai gabungan seluruh realitas alam semesta mengekspresikan sesuatu yang sama sebagaimana manusia adalah gabungan dari seluruh Nama-Nama Tuhan. Alam semesta yang inheren dalam diri manusia berhubungan dengan Tuhan, manifestasi Nama-Nama Tuhan dan hubungannya dengan alam semesta merupakan berbagai realitas alam semesta.
Meskipun alam semesta secara keseluruhan merupakan manifestasi yang sempurna dari keseluruhan Nama Tuhan. Dalam setiap wujud alam semesta, kecuali manusia, mereka bukanlah manifesatasi sempurna, karena tak ada wujud yang memiliki semua realitas. Misalnya, seekor anjing putih memiliki realitas anjing dan putih, tetapi tidak memiliki realitas pepohonan. Namun, hanya pada manusia seluruh Nama-Nama Tuhan termanifestasi, karena manusia sebagai mikrokosmos memiliki seluruh realitas alam semesta dalam dirinya. Karena realitas-realitas ini, hanya manusia di antara semua wujud dapat mengetahui seluruh wujud alam semesta.
Antroposentrisme
Menurut Ibn ‘Arabi, manusia adalah sarana yang menghubungkan Nama-Nama Tuhan yang termanifestasikan, yaitu berbagai realitas alam semesta yang masih belum terbedakan dan yang telah terbedakan, berbagi wujud partikular di alam semesta. Nama-Nama Tuhan memerlukan manusia agar benar-benar terbedakan di alam semesta, karena pengetahuan manusia tentang alam semesta melalui berbagai realitas yang inheren dalam dirinya adalah esensial untuk pembedaan alam semesta. Nampaknya, Ibn ‘Arabi berfikiran bahwa jika manusia tidak berada di alam semesta, maka sebuah pohon tidak pernah menjadi pohon, dan begitu juga gunung.
Di awal Fusus al-Hikam, dia membandingkan alam semesta sebelum penciptaan manusia sebagai cermin yang kotor, sejenis materia prima, dunia yang tidak bersuara, berwarna, berbentuk.160 Hanya melalui manusia, dia merupakan alam semesta yang jernih dan dapat mencerminkan citra Tuhan. Lebih-lebih, manusia dibandingkan dengan biji (insan) mata yang melaluinya Tuhan melihat makhluk-Nya.161 Tujuan penciptaan itu adalah keinginan Tuhan melihat diri-Nya yang berada di luar diri-Nya.162 Dan ini hanya bisa dilakukan melalui manusia. Dalam pengertian ini, manusia adalah bentuk dari citra Tuhan, cermin dimana citra Tuhan terefleksikan paling sempurna.
Faham antroposentris Ibn ‘Arabi paling gamblang diungkapkan dengan kalimat sebagai berikut dalam Insha’ al-Dawa’ir.
Manusia memiliki kesempurnaan absolut baik dalam keabadian, maupun kesementaraan. Tuhan memiliki kesempurnaan absolut dalam keabadian, namun Dia tidak memiliki akses kesementaraan, karena Dia terlampau agung. Alam semesta memiliki kesempurnaan absolut dalam masalah kesementaraan, namun alam semesta tidak memiliki akses keabadian, karena alam terlalu rendah untuk itu.163
Tuhan tidak bisa memiliki hubungan langsung dengan alam yang diciptakan, kecuali melalui manusia. Namun, manusia memiliki persesuaian baik dengan Tuhan, maupun melalui Nama-Nama-Nya, dan persesuaian dengan alam semesta melalui realitas-realitas-Nya. Tentu, tidak berarti bahwa manusia dalam pengertian apapun adalah superior dibanding Tuhan, karena transendensi kemutlakan Tuhan yang mencegah Dia dari penisbatan kesementaraan (temporalitas), bukan Tuhan tetapi manusia yang merupakan inti dari berbagai wujud. Dan kesempurnaan manusia yang absolut ini disimbolkan oleh Ibn ‘Arabi dengan istilah “Manusia Sempurna.”
Catatan:
1 Gen. 1, 26, 28-30.
2 Gen. 1, 26-27.
3 Bibliograpi yang panjang lebar tentang masalah ini diuraikan dalam Leo Scheffczyk (ed.) Der Mensh als Bild Gottes (Darmstadt,1069), 526-538.
4 Edmund Schlink, “Die Biblische Lehre com Ebenbilde Gottes,” dalam Der Mensh als Bild Gottes, 88-89.
5 Ibid., 92-94.
6 Untuk penafsiran tema Imago Dei dalam Yahudisme masa selanjutnya, lihat J. Jervell, Imago Dei, Gen. 26 Cf. im Spatjudentum, in der Gnosis und in den Paulinischen Briefen (Gottingen, 1969), 15-51.
7 Peter Schwanz, Imago Dei als Christologisch-antropologishes Problem in der Geschate der Alten Kirche von Paulus bis Clemens von Alexandrien (Halie, 1970), 21-26.
8 Skema ini didasarkan atas pandangan Schawanz, Imago Dei, 20, tetapi di sini secara jelas dimodifikasi.
9 Tema Imago Dei menurut Philo, karya yang lengkap adalah Thomas H. Tobin, Creation of Man: Philo and History of Interpretation, Catholic Biblical Quartely Monographs, no.12 (Washingthon, 1983). Juga lihat E. Brehier, Les Idees Philosophiquea et Religieuses de Philon d’Alexandrie (Paris, 1925), 121-126, Jervel, Imago Dei, 52-70, A.M. Mazzanti, “L’aggettivo methorios e la doppia creazione dell’uomo in Filone de Alessandria,” dalam Ugo Bianchi (ed), La ‘doppia creazione’ dell ‘uomo negli Alessendrini, nei Cappadoci e nella gnosi (Roma, 1978), 27-42.
10 H. A. Wolfson, Philo Foundations of Religius Philosophy in Judaism, Christianity, and Islam, 2 vol. (Cambridge, Mass, 1948).
11 David Winston, “Introduction” dalam Philo Alexandria, The Contemplative Life, The iants and Selectians (Ramsey, N.Y. 1981), 23.
12 Philo, de opif, 135
13 Tentang penafsiran Pendeta Paul mengenai citra Tuhan, lihat Schwanz, Imago Dei, 17-57.
14 Mengenai penafsiran Irenaeus tentang citra Tuhan, lihat Schwanz, Imago Dei, 117-143.
15 Mengenai teologi citra Tuhan dalam pemikiran Origen, Karya terbaik adalah tulisan H. Crouzel, Theologie de I’mago de Dieu chez Origene (Paris, 1955).
16 Tentang antropologi Gregory Nazianzus, lihat Anna-Stina Ellverson, The Dual Nature of Man, A Study in The Theological Anthropology of Gregory of Nazianzus (Uppsala, 1981).
17 Mengenai teologi citra Tuhan dalam Gregory Nyssa, lihat R. Leys, L’image de Dieu Chez Saint Gregoria de Nysse (Bruxelles-Paris, 1951).
18 Ellverson, 17.
19 Crouzel, Theologie de I’image de Dieu, 174.
20 A.J. Wensink, Concordance et indices de la tradition musulmane, 7 vol (Leiden, 1936-1969), 3:438.
21 Menurut informasi yang diberikan secara akurat oleh Professor Daniel Gimaret tentang persamaan individu (6 Januari 1986). Kata ganti milik merujuk: (1) kepada Adam sendiri, hadis yang berarti bahwa (misalnya) Tuhan memberikannya ketika itu outlinnya yang jelas sebagai seorang yang dewasa tanpa mentaqdirkan melalui beberapa proses kehamilan yang memiliki perbedaan tingkatan, masa kecil dan seterusnya. Ini adalah secara khusus pendapat Abu Sulayman al-Khattabi (w. 388 H/998 M) sama dengan karya Abu Bakr al-Bayhaqi K. Al-Asma’ wa al-Sifat (Cairo, 1358H/1939M), 290. Juga lihat Juwaini, K. al-Irshad, edit Luciani (Paris, 1938), tek bahasa Arab, 93, idem al-Shamil fi Usul al-Din (Alexandria, 1938), 290, atau (2) kepada beberapa orang yang sebelumnya telah disebutkan dalam hadis. Menurut beberapa versi hadis ini, ketika nabi melihat seorang menampar orang lain pada wajahnya, lalu dia berkata “jangan menamparnya, karena Tuhan menciptakan Adam sesuai dengannya (yaitu, bentuk orang tersebut).” Ini adalah pendapat yang secara khusus tidak dijadikan pegangan oleh Ibn Khuzayma (311 H/924 M), K. al-Tawhid (Cairo, 1968), 36-38. Lihat juga Juwaini, Irsyad, 93, idem Shamil, 560. Juga lihat W. Wontgomery Watt, “Diciptakan sesuai dengan citra-Nya: sebuah studi teologi Islam” Glasgow University Oriental Society Transactions 17 (1961), 38-49.
22 Mengenai sumber dan penggunaan hadis ini dalam Sufime, lihat H. Riter, Das Neer Seele, new enlarged, ed. (Leiden, 1976), 445-46.
23 Watt, “Diciptakan sesuai dengan citra-Nya,” 45.
24 Abu Hamid Muhammad b. Muhammad al-Ghazali, Kitab al-Imla’ fi Ishkalat al-Ihya’ dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, 5 vol. (Cairo, tt), 6:32. Selanjutnya disebut Imla’.
25 Affifi, 188-190.
26 Louis Massignon, La Passion de Hussayn Ibn Mansur Hallaj, 4 vol. (Paris, 1975), 3: 111-118.
27 Teks Arab bagian ini terdapat dalam Louis Massignon, Essai sur les origins du lexique technique de la mystique musunlame (Paris, 1968), 405.
28 Massignon, La Passion, 3:112-113.
29 Dailami, Kitab ‘Atf al-Alif al-Ma’luf ‘ala al-Lam al-Ma’tuf, edit J.C. Vadet (Cairo, 1962), 26-28, Ruzbihan Baqli Shirazi, Sharh-i Shathiyat, edit H. Corbin (Tehran, 1966), 441-444. Versi Arab karya di atas, Mantiq al-Asrar bi-Bayan al-Anwar belum diterbitkan. Karya ini diterjemahkan dalam bahasa Perancis oleh Massignon, berdasarkan teks Daylami (Massignon, La Passion, 3:113-116).
30 Terjemahan dari versi Persi dalam Ruzbihan Baqli, Sharh, 443-444, sama dengan versi Arab dalam Daylami, 27-28.
31 Lihat H. Corbin, “Quietude et inquietude de I’ame le soufisme de Ruzbihan Baqli de Shiraz,” Eranos Jahrbuch 27 (1959): 51-194, idem, En Islam Iranien, 4 vol. (Paris, 1971-1972), 3: 9-146.
32 Ruzbihan Baqli, Sharh, 449-450.
33 Ibid., 348.
34 Secara literel, “pemahat (orang shalat), (berkata): Wahai Tuhan, penguasa kerajaan, (3/26), dan pada intinya hadis itu mengatakan, Muhammad bukan dari dunia penciptaan. Al-qur’an dan hadis tersebut mengacu kepada Muhammad.
35 Ibid., 349.
36 Saya menghilangkan ra dan zaman dan membaca, “wa haqq dar ‘ishq tanzih-i sifat-i bi zaman zaman-I awwaliyat bar Adam kard.”
37 Ibid., 63.
38 Ibid., 153.
39 Ibid., 151-153.
40 Ibid., 628.
41 Ibid., 151-153.
42 Ibid., 153.
43 Ibid., 164-165.
44 Ibid., 305.
45 Ibid., 101.
46 F. Jabre, La notion de la ma’rifa chez Ghazali (Beirut, 1958), 86-108. Alexander Altman, “the Delphic Maxim,” 8-13.
47 Misalnya, Altman (“Delphic Maxim,” 120) menganalisis bagian berikut terjemahan Gairdner dari kitab Miskat: Karena ia (akal) merupakan suatu pola atau penyederhanaan sifat-sifat Allah … dan ia bisa menggerakkan fikiranmu untuk memahami makna yang benar hadis, “Allah menciptakan Adam karena kesamaan yang dimilikinya.” (W.H.T. Gairdner, ter) Al-Ghazali’s Misykat (“The Niche For Lights”), diedit dan dicetak ulang (Lahore, 1952), 84-85. Meskipun demikian, teks bahasa Arab (Ghazali, Miskat al-Anwar, edit Abu al-‘Ala ‘Afifi (Cairo, 1994), 44) menunjukkan “cahaya Allah,” bukan “sifat-sifat Allah” dan “citra” bukan “kesamaan.” Sayangnya analisis Altman mengacu pada kata-kata yang salah terjemahnya ini.
48 Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, 5 vol. (Cairo, t.t).
49 al-Ghazali, al-Maqsad al-Asna fi Sharh Ma’ani Asma’ Allah al-Husna, edit Fadhou A. Shehadi (Beirut, 1971).
50 Edisi yang dikutip Supra, 47.
51 Al-Ghazali, al-Ajwiba al-Ghazaliya fi al-Masa’il al-Ukhrawiya (al-Madnun al-Shagir) dalam Qusur al-‘Awali Min Rasa’il al-Imam al-Ghazali (Cairo, t.t), 347-362.
52 Ihya’, 4: 300 – 307.
53 Ibid, 306.
54 Mengenai tema ini, lihat H. Merki, Homoiosis Theo, Von der Platonischeen Gleichung bis zur Gottanlichkeit bei Gregory v. Nyssa (Fribourg, 1952).
55 Ihya’, 4 : 306-306.
56 Imla,’ 5 : 32, 38-39.
57 Ibid., 38.
58 “Ibn Hazm menafsirkan Sine Form = eine Form, die Gott gehort, da er der Besitzer aller Formen ist”. (Richard Gramlich, Muhammad al-Ghazalis Lehre von den Stufen zur Gottesliebe (Wiesbaden, 1984), 64 didasarkan pada Goldziher, Die Zahiriten, 164-1665). Gimaret, tentang persamaan pribadi, mengatakan bahwa beberapa ahli teologi menyatakan bahwa penyandaran (idafa) sura pada Tuhan adalah harus difahami dalam pengertian yang sama sebagaimana penyandaran pada-Nya segala sesuatu yang diciptakan, selama ia merupakan tindakan-Nya, Ibn Khuzayma, Tawid, 39, Juwayni, Shamil, 561, Ibn Furak, Mushkil al-Hadith (Cairo, 1979), 57.
59 Lihat Infra, 92.
60 Dalam istilah tata bahasa Arab, idafat al-takhsis adalah idafa dimana mudaf (nomen regens) atidak jelas, seperti ghulam rajlin, bandingkan dengan Radi al-Din Muhammad b. Hasan al-Astarabadhi, Kitab al-Kafiya fi al-Nahw, 2 vol (Beirut, t.t), 1 : 274.
61 Imla’ dalam Ihya’ 5 : 32.
62 Ibid.
63 Mengenai Sifat-Sifat Tuhan dalam teori Asy’ariah dan Mu’tazilah, lihat H. A. Wolson, The Philosopy of the Kalam (Cambridge, Mass. 1976), 112-234.
64 Imla’ dalam Ihya’, 5 : 32.
65 Maqasad, 17-41.
66 Ibid., 42-59.
67 Jabre, 92.
68 Maqsad, 42.
69 Istilah teknis ini dalam Sufisme, lihat Infra, 128.
70 Maqsad, 43.
71 Ibid., 45.
72 Ibid., 46.
73 Ibid., 46-47.
74 Ibid., 49.
75 Ibid., 49-50.
76 Ibid., 50-51.
77 Ibid., 53
78 Ibid., 56.
79 Ibid., 54.
80 Ibid., 55-56.
81 Ibid., 57.
82 Ibid., 58.
83 Ibid., 58-59.
84 Misykat, 55-56.
85 Ibid., 43-44.
86 Ibid., 44.
87 Altman, “Delphic Maxim”, 11.
88 Misykat, 57-58.
89 Ibid., 61.
90 Ibid., 61-62.
91 Supra, 33.
92 Altman, “Delphic Maxim,’’ 12.
93 Supra, 33.
94 Mishkat, 65-72.
95 Ibid., 70-71.
96 Mengenai masalah penulisan karya ini, lihat W. Montgomery Watt, “The Aauthenticity of the Work Aattribut to al-Ghazali” (Keaslian karya-karya yang disandarkan pada al-Ghazali), JRAS (1952), 36-37, ‘Abd al-Rahman Badawi, Mu’allifat al-Ghazzali (Cairo, 156-158).
97 Madnun Saghir, 350.
99 Ibid., 352.
100 Ibid., 353.
101 Ibid., 354.
102 Ibid., 354-355.
103 Ibid., 357.
104 Ibid.
105 Ibid.
106 Ibid., 357-358.
107 Ibid., 358-359.
108 Ibid., 359.
109 R.A. Nicholson, “al-Insan al-Kami’, Shorter Encyclopaedia of Islam (Leiden, 1974), 170; idem., Studies, 77; A. Jeffery, “The al-’Arabi’s Shajarat al-Kawn,” Studia Islamica 10 (1959), 51; S.H. Nasr, Three Muslim Sages (Cambridge, 1964), 110.
110 ‘Abd al-Karim al-Jili, al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il (Cairo, 1970).
111 Karya-karya tersebut adalah Insha’ al-Dawa’ir, Uqlat al-Mustafiz, al-Tadribat al-Insaniya fi Islah al-Mamlaka al-Insaniya, semua diedit oleh Nyberg dalam bukunya Kleinere Schiften. Ungkapan itu terdapat Uqlat al-Mustafiz. Bagian itu adalah terjemahan Infra, 112.
112 Ibn ‘Arabi, Shajarat al-Kawn (Cairo, 1968).
113 Nasr, Muslim Sages, 166, n. 66.
114 Fusus, 50; 55;75; 120; 199.
115 Ibid., 55.
116 Ibid., 48.
117 Ibid., 55.
118 Ibid.
119 Ibid., 56.
120 Insha’., 21.
121 Futuhat al-Makkiya, 4 vol (Cairo, 1329 H), 2 : 272. Sayangnya, baru sembilan volume edisi kritis Yahya tentang al-Futuhat al-Makkiya (Cairo, 1972) telah diterbitkan hingga saat ini. Ini sama dengan volume pertama edisi 1329 di atas. Edisi 1923 digunakan sebagian dimana edisi kritis ini tidak temukan. Dalam edisi Osman Yahya selanjutnya diindikasikan sebagai Futuhat (edit Yahya) dan edisi 1329 juga seperti Futuhat.
122 Fusus, 199.
123 Insha’, 10.
124 Ibid., 19.
125 Fusus, 52.
126 Futuhat, (ed. Yahya), 3 : 345-346.
127 Yakni, Insha’, 16-19 sama dengan Futuhat (ed. Yahya) 2 : 223-225, Insha’, 36-38 sama dengan Futuhat (edit Yahya) 2 : 125-129.
128 Insha’, 14. Pengetahuan yang tidak terbedakan sama dengan konsep Ibn Sina scientia simplex, yaitu pengetahuan sederhana dan total yang merupakan pencipta pengetahuan yang berhubungan satu sama lain secara detil. Pengetahuan sederhana ini disamakan oleh Ibn Sina dengan akal aktif, bandingkan dengan Fazrur Rahman, “Ibn Sina,” dalam A History of Muslim Philosophy, diedit oleh M. Sharif, 2 vol (Wiesbaden, 1963), 1:492. Walaupun demikian, dalam pandangan Ibn Sina, pengetahuan sederhana, seluruh pengetahuan merupakan pengetahuan manusia, dalam pandangan Ibn ‘Arabi, sementara pengetahuan yang tidak terbedakan adalah pengetahuan diri Tuhan.
129 Juga dalam pandangan Ibn Sina, Tuhan tidak memiliki pengetahuan persepsi wujud-wujud tertentu di alam semesta. Tuhan mengetahui seluruh wujud tertentu di alam semesta, sejauh pengetahuan Tuhan dikaitkan. Terdapat kesamaan mencolok antara doktrin Ibn Sina dan Ibn ‘Arabi. Tentang doktrin Ibn Sina lihat Fazrur Rahman, “Ibn Sina” 501-502, dan Michael Marmura, ‘Some Aspects of Avicenna’s Theory of God’s Knowledge particulars,” JOAS 82 (1962), 299-312.
130 Insha’, 14.
131 Ibid.
132 Konsep mithl hampir sama dengan konsep homoiomata dalam Hermeneuticus Aristoteles (16-18) H.P. Cooke mengartikan mithl dalam bahasa Inggris sebagai “kesamaan, citra, salinan” (Aristoteles, Categories, On the Intrepetations, Prior Analytics), Perpustakaan Klasik Loeb (London, 1938), 115. Dalam terjemahan Arab dari Hemeneuticus, istilah ini diterjemahkan dengan amthila (jama’ dari mithal). (al-F’Arabi, Sharh al-F’Arabi li-Kitab Aristutalis fi al-‘Ibara, diedit oleh W. Kutsch dan S. Marrow (Beirut, 1960),27). Al-F’Arabi menafsirkan amthila dari bagian ini dengan “berbagai citra” (suwar) dan “berbagai khayalan” (khavalat) Ibid. 28.
133 Ibid.
134 Ibid., 13-14.
135 Ibid.
136 ‘Uqlat al-Mustawfiz, 45.
137 Insha’, 14.
138 Istilah “Platonic Ideas” diterjemahkan dalam bahasa Arab dengan al-Muthul al-Aflatuniya (jamak dari mithal), yakni al-Farabi, Kitab al-Jam’ bayna Ra’ay al-Hakimayn, diedit. Oleh A.N. Nadir (Beirut, 1960), 105. Menarik untuk dicatat bahwa homoionata Aristoteles diterjemahkan dengan amthila, bentuk jamak lain dari mithal, lihat Supra, 132.
139 Ibn ‘Arabi, Istilah al-Sufiya, 16, dalam Rasa’il Ibn ‘Arabi, 2 (Hyderabad, 1948).
140 Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, ter. Sabih Ahamd Kamali (Lahore, 1963), 115.
141 Insha’, 35-36.
142 Ibid., 15.
143 Fusus, 199.
144 Ibid., 50.
145 Futuhat, 2:124.
146 Al-Ghazali, Maqsad, 162.
147 Tadribat, 145.
148 Ibid., 208.
149 Fusus, 52.
150 Ibid., 65.
151 Ibid., 178.
152 Futuhat, ed. Yahya 2:130.
153 Fusus, 79-80.
154 S.A.Q. Husaini, The Pantheistic Monism of Ibn al-’Arabi (Lahore, 1970), 156. Nyberg juga menulis, mengutip Sha’rani: “Khaliq (pencipta) tanpa makhluq (yang diciptakan), Qahir (penakhluk) tanpa maqhur (yang ditakhlukkan), qadir (penguasa) tanpa maqdur (yang dikuasai), rahim (pengasih) tanpa marhum (yang dikasihi) adalah tidak mungkin, keduanya sebelum wujud dan wujud, keduanya potensial dan aktual.” (Nyberg, Kleinere Schriften, 61, kutipan Sha’rani, al-Yawaqit wa al-Jawahir fi Bayan ‘Aqa’id al-Akabir, 2 vol (Cairo, 1305H), 1:48.
155 Fusus, 145
156 Insha’, 32.
157 Futuhat, (edit Yahya, 3 : 24-25).
158 Insha’, 31.
159 H.A. Wolfson, “Avicenna, Algazali and Averroes on Divine Attributes,” dalam Studies of Philoshopy and Religion, diedit I. Twersky and G.H. Williams, 2 vol (Cambrige, Mass, 1973), 1:145-147. Mengenai doktrin yang sama dalam Thomas Aquinas, lihat Rudolf Allers, “Intelectual Cognition,” dalam Essays in Thomism, diedit R.E. Brennan (New York, 1942),53.
160 Fusus, 49. T. Burckhardt menjelaskan “cermin keruh” dengan cara sebagai berikut: “C’est le chaos primordial,ou les possibilities de manisfetation, encore virtuelles, se confodent dans l’indefferenciation de leur material.” (Ibn ‘Arabi, La Segesse des Prophetes Fusus al-Hikam), terj. T. Burckhardt (Paris, 1974), 22-27).
161 Fusus, 50.
162 Ibid., 48.
163 Insha’, 220.
*) M.Harir Muzakki, Dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ponorogo.
(Selesai)