Kasnadi *
Dalam “Tanda-tanda Zaman” majalah Basis Edisi Mei-Juni 2008 dungkapkan bahwa “sebelum kita bercita-cita apa pun, perut harus kenyang. Mana mungkin kita pintar bila perut kita lapar? Mana mungkin kita bersatu kalau perut kita keroncongan? Manusia memang tidak hanya hidup dari perut. Ya, kritik itu tepat buat mereka yang sudah kenyang dan tak berkekurangan. Tetapi, kritik itu sama sekali tidak berlaku bagi mereka yang lapar …”.
Kutipan di atas menggambarkan lapar dengan kepentingan perut saja. Akan tetapi, lapar bisa jadi tidak hanya berurusan dengan perut saja. Karena bukankah mereka yang sudah punya beras masih saja terus menumpuk gabah? Bukankah mereka yang sudah bertumpuk harta kekayaan masih menambah gudang? Bukaknkah mereka yang sudah banyak rekening masih membuka rekening baru? Bukankah mereka yang berperut buncit terus menambah kebuncitannya? Bukankah mereka yang sudah beristri masih menjejer wanita-wanita sebagai deretan istri-itri baru? Bukankah mereka itu adalah barisan orang-orang lapar?
Ketika berbicara orang-orang lapar kita mesti mengingat bahwa pada tahun 70-an ada sebuah drama radio karangan sastrawa Muhammad Ali yang sangat terkenal. Sandiwara itu mengisahkan orang-orang lapar, sehingga Muhammad Ali sampai disebut pengarang lapar. Sama halnya dengan HAMKA yang terkenal dengan sebutan pengarang air mata, karena romannya cenderung mengisahkan orang-orang menarik simpati dan empati pembaca yang pada akhirnya pembaca tak terasa meneteskan air mata. Begitu juga sosok Pram terkenal dengan sebutan sastrawan realisme sosialis, karena karya-karyanya mengangkat kaum marginal yang tersisih, tergusur, dan tertindas kekuasaan feodalisme.
Lapar, memang sebuah persoalan hidup yang rumit bagi orang-orang zaman sekarang. Di berita media cetak maupun berita elektronik tak sepi setiap hari terpampang berita menarik terkait dengan persoalan lapar. Banyaknya aksi demo kaum buruh menunjukkan adanya kelaparan. Terjadinya perampokan bukti adanya kelaparan. Pembunuhan, perampokan, pencurian, penjambretan adalah buki otentik yang dipicu oleh kelaparan. Bunuh diri menjadi marak akibat tekanan ekonomi yang mengganas.
Lapar memang menyebar. Tidak saja dalam makna yang sebenarnya dalam arti berurusan dengan perut sesungguhnya, tetapi bisa jadi mengandung makna yang merebak luas. Mungkin ilustrasi di bawah inilah sebagi contoh yang dapat kita cermati. Maraknya ilegal loging tidak dapat dipungkiri bahwa itu merupakan wajah-wajah lapar. Korupsi para birokrat dan petinggi adalah wujud kelaparan tersendiri. Kolusi di berbagai instansi realitas dari kelaparan makna lain. Bukankah kasus century, kasus Gayus, kasus Nazzauddin, kasus Melinda Dee, kasus Freefort adalah potret kelaparan yang mengemuka akhir-akhir ini? Merebaknya perselingkuhan yang melibat para eksukutif adalah satu bentuk kelaparan dalam tanda petik.
Lapar memang mengganas. Tidak pandang bulu semua nampak lapar. Barisan manusia semua mengklaim bahwa dirinya adalah sosok lapar. Barisan orang-orang lapar berjubel saling mendesak, saling menggempur, dan saling memakan secara beringas.
Lapar memang semakin menjadi-jadi. Lapar tidak kenal waktu. Lapar dapat meyerang siang hari, sore hari, malam hari, larut malam, dan juga subuh pagi. Lapar tidak kenal tempat. Di kantor, di pelabuhan, di hutan, di hotel, di departemen, di gedung DPR, di pengadilan, di lapangan atlet, di hutan belantara, di kota metropolitan, di ketiak maupun di selangkangan wanita. Lapar tidak kenal musim. Lapar bisa menampakkan diri di musim panas dan tak terduga nampak di musin dingin.
Lapar…. Lapar…. Lapar. Semua manusia, kapan, dan di mana saja berada menyuarakan gemuruh dengan menunjukkan tampang yang sama. Lapaaaaarrrrr!
*) Penulis adalah Staf Pengajar STKIP PGRI Ponorogo.