Korrie Layun Rampan
Suara Karya, 8 Juni 2013
Jurai-jurai gerimis seperti memanggil dingin, membawanya ke kulit, dan menggigilkan badan. Udara begitu sayu meratapi jam yang merangkak pada kelam. Kemayaan menghampar pada air, bumi, angin, dan waktu. Semuanya seakan tak mau bertarung suara!
“Mengapa kau ke sini?” suara si wanita sambil wajahnya ditundukkan. Suasana di bilik itu, senyap.
“Mengapa kau di sini?” si lelaki menatap ke arah dipan. Serasa ia memandang kesilaman yang lampau di dipan itu, seperti sebuah mimpi yang rawan.
Saat jadi begitu senyap, dan waktu seperti bertarung dengan suasana yang merajam. Wanita itu masih tak beranjak dan tubuhnya menekur. Sekilas lelaki itu tertatap kilatan mata itu, kilatan yang dahulu, namun hanya sekilas. Selebihnya wajah itu tertunduk, dan kemudian kebisuan yang dalam serasa begitu menjurang.
Lama tak terdengar suara hingga sedikit gerak pun menimbulkan bunyi yang mengundang perhatian.
“Tak ada yang kau tuntut dariku,” suara si wanita. “Kau minta yang kau mau. Semua dihitung sesuai waktu.”
Wajah lelaki itu tampak muram. “Siapa yang menuntut?” suara lelaki itu, seperti suara yang dulu juga. “Masalahnya bukan mampu tidaknya aku membayar. Masalahnya, kini aku menemukanmu!”
Wajah wanita itu tak berseri. Hampir tak ada reaksi apa-apa, seakan wajah itu sepi. Begitu sunyi.
“Tak ada yang perlu diambil dariku. Tidak juga hati dan jiwa. Semua sudah selesai. Apa lagi?”
Suasana semakin senyap. Suara yang lembut itu seperti ditelan ruang yang sempit, disapu udara yang mengambang. Sepi jadi begitu tajam!
“Selesai?” suara si lelaki. “Aku ingin selesainya tidak begini. Aku ingin kembali seperti awal mula kita!”
Wanita itu melengos! Ia ingat cintanya pada lelaki itu, perkawinan, bahagia, dan anak-anaknya. Lalu semua deraan, akhirnya ia terdampar di tempat kelam.
“Awal mula?” wanita itu seperti bertanya kepada angin. “Rasanya tak akan pernah!”
“Itu kata orang. Kataku?”
“Kata orang tuamu!”
Wanita itu seperti memutar sebuah film kuno tentang perjalanan hidup seorang wanita. Dirinya sendiri.
Mula-mula deretan rumah, lalu wanita hamil, dan kelahiran, lalu sebuah kehidupan baru. Seorang bayi wanita. Lalu kematian ayahnya karena kecelakaan tepat di depan rumah itu. Bayi wanita itu telah berusia enam tahun. Lalu derita ibunya. Perkawinan ibunya dengan seorang lelaki yang lebih muda dari usia ibunya sendiri. Dan derita yang diterimanya saat ibunya sakit keras, usianya baru empat belas. Hampir saja ia diperkosa ayah tirinya. Saat ia baru saja lulus SMA, ibunya meninggal dunia. Ia melihat sosoknya terlunta-lunta, wanita yang kehilangan pegangan!
Hampir ia bunuh diri karena putus asa. Hidupnya seperti bagian dari malapetaka. Namun seorang lelaki muda menemukan dirinya di atas rel kereta api, menyeretnya ke pinggir rel, dan jiwanya tak jadi melayang. Ia menjalani sebuah kehidupan baru, sebagai istri.
Akan tetapi hidupnya selalu seperti tulah. Dua anak dilahirkannya, tapi keduanya berturut-turut meninggal tanpa sebab yang jelas. Seakan darah mereka terisap makhluk pengisap darah yang datang di malam gulita. Lalu kebakaran rumah mereka, suami pun di-PHK!
Mereka menumpang di rumah mertua, dan saat suaminya mencari pekerjaan di luar pulau, ia begitu saja diusir karena dianggap sumber segala kemalangan.
“Silakan kamu menjalani nasibmu sendiri,” suara mertuanya melepas ia keluar dari rumah mertua! “Kami tak mau ikut ambil bagian dari kesialanmu!” ***
“Aku yang menjalani hidupku bersamamu,” lelaki itu menandangi wajah wanita itu. “Aku bertekad menemukanmu, dan membawamu pulang, dalam kondisi apa pun dirimu.”
Wanita itu seperti menahan sedan.
Udara dingin, meski gerimis mulai reda. Berbulan kemarau seperti membakar rumah dan pohon-pohon.
Ingat ia saat sedang tertatih-tatih di terminal, mencari arah yang mau dituju, ia menemukan koran yang memuat iklan lowongan pekerjaan. Perutnya lapar sekali!
Ia meraba ijazahnya. Lalu mencoba mendatangi tempat di tulis koran. Ia menemukan pekerjaan. Tetapi pekerjaan itu seperti membuat ia berjalan di dalam gulita. Pekerjaan tanpa butuh ijazah.
Di mana suaminya? Sudah menemukan pekerjaan?
Di mana dirinya sendiri? Masih sebagai istri?
Siang malam ia bekerja. Tidak terlalu berat pekerjaan yang dilakukan, yang berat hanya hati. Adakah suaminya masih mengingat dirinya? Bagaimana saat ia pulang dan menemukan dirinya sudah terusir? Adakah lelaki itu mencarinya? Kalau bertemu, apa yang harus ia katakan? Bukankah suaminya lelaki yang baik? Bukankah suaminya yang menyelamatkan jiwanya? Mengapa ia tidak jadi babu? Cari uang sekedarnya untuk menyusul suaminya di seberang pulau? Tetapi di mana alamat suaminya?
Pusing ia dengan pikiran, juga karena pekerjaan.
Namun soal uang? Bukankah telah terkumpul cukup banyak di rekening bank. Namun untuk apa uang itu? Untuk mengembalikan dua anaknya yang telah tiada? Untuk mengembalikan suami yang entah di mana?
Wanita itu menengadah.
Benar, suaminya kini di depannya. Lama hatinya hampa, kini suaminya di depan matanya. Layakkah ia menerima dekapan lelaki itu? layakkah ia memulai segalanya dari awal? Bukankah ia telah jadi sampah?
“Sebaiknya aku begini saja,” suaranya mengambang dalam kamar yang sempit itu.”Bertahun aku telah rusak!”
Ia tak tersedu, tapi hatinya begitu sakit!
“Dulu aku tidak mencari, tapi aku menemukan,” lelaki itu bersuara dengan nada yang sabar. “Lama kemudian aku kehilangan, aku mencari,terus mencari. Kini aku menemukan.”
“Tapi aku mata air bencana,” suara wanita itu terasa pahit.”Segala yang kulalui tidak ada untungnya!”
“Untung dan malang itu bukan kita yang tentukan.”
“Guratan nasib di tanganku,” suara itu makin getir.”Sampai aku diusir dari rumah orang tuamu, mertuaku sendiri, karena aku hanya onggok kesialan!”
“Aku menderita karena tahu semuanya. Dan aku mencarimu ke mana saja. Aku yakin akan menemukanmu.”
Wanita itu tidak menampakkan reaksi pada gerak badan. Wajahnya seolah disembunyikan cahaya gelap.
“Derita?” wanita itu seperti bergumam pada diri sendiri.
“Sepanjang hidupku hanya sedikit yang tersisih dari derita. Saat lepas dari lindasan roda-roda kereta. Saat antara melahirkan dua anak dan kematian mereka.”
“Kita mulai lagi, seperti saat-saat itu,” suara lelaki itu demikian sabar. “Tak terganggu oleh orang lain, tak juga oleh kematian.”
Wanita itu tampak menarik napas panjang.
Ruang yang sempit itu terasa sesak. Tak seberapa perabot di ruang itu, hanya dipan, lemari kayu, kaca rias, alat-alat make-up yang sederhana. Namun semuanya rapi, seperti sebuah hunian yang disenangi penghuniya. Adakah karena wanita itu memang menyukai kerapian? Karena ia senang dengan kebersihan?
“Aku terlanjur kotor,” suara wanita itu serasa menggidikkan bulu roma. “Dengan apakah dibasuhkan?”
“Oleh hati yang menerima,” suara si lelaki.
“Aku terlanjur disebut sampar. Demit malapetaka. Drakula pencabut nyawa. Dengan apakah dicuci lekatan kata-kata keji yang membajui diriku?”
Lelaki itu juga menarik napas.
“Yang mengatakan orang lain. Aku tak.”
“Orang tuamu. Tetangga orang tuamu….”
“Mereka mendukung hidup mereka. Kita mendukung kehidupan kita.”
Wanita itu merasakan laparnya yang dulu. Dahaganya yang dulu. Sakitnya yang dulu. Segalanya jadi perih.
“Biarkan aku menjalani hidupku sendiri,” suara wanita itu terasa makin kering. “Carilah wanita lain yang tidak bermandikan lumpur maksiat seperti aku!”
“Lumpur dan daki dapat dibasuhkan dengan racikan shampo kebajikan. Hati yang berdaki dapat dibersihkan oleh hati yang memuliakan kebaikan. Apakah tidak bahagia jika segalanya sudah disembuhkan, dan kemudian kebajikan bersandingan dengan kebaikan?”
Tak tampak titik dari mata wanita itu.Senyap dan sunyi tampak pada kaca yang bisu di dalam remang lampu.
“Terlalu muluk segala yang diucapkan. Betapa perih kenyataan,” suara itu seperti menerpa kaca yang memantulkan gambaran wajah lelaki dan wanita itu. “Kenyataan tak dapat dielak oleh kata-kata.”
“Kita pernah merasakannya. Baik-buruk. Manis-pahitnya. Kita telah menjalaninya,” lelaki itu tertatap pintu yang tertutup. “Kita dapat menjalaninya lagi.”
Telah banyak pintu yang ia buka dan tutup. Lelaki itu telah mencari dari kota dan tempat, dari kawan dan kenalan. Wanita itu memang tak memiliki keluarga dan kerabat dekat. Segala yang ditemuinya memperlihatkan kesia-siaan. Seperti menanyakan batu dan sungai, semua bersaing dengan kefanaan. Tetapi kini ia telah menemukan. Tak akan ia sia-siakan penemuannya.
“Menjalaninya lagi?” wanita itu seperti bertanya kepada dirinya sendiri. “Dalam keadaan yang runyam dan muram? Dalam keadaanku compang-camping begini?”
Lelaki itu seperti menemukan pegangan baru. Beberapa kota telah ia tempuh untuk memasuki kawasan seperti ini. Kawasan kumuh dalam arti yang sebenarnya. Kawasan kumuh karena penghuninya yang dianggap sampah dan comberan! Bagaikan seorang pemimpi, lelaki itu merasakan dirinya seperti mendapat wahyu atau mukjizat. Ia merasa gagah perkasa. Sementara wanita itu merasakan hal yang sama. Ia memiliki tabungan yang cukup untuk modal sebuah usaha. Kalau misalnya ia ikut transmigrasi? Menggarap daerah baru? Adakah segalanya dapat dihapus kalau mereka ada di tempat baru? Wanita itu seperti tersenyum kepada kelam.
“Rusak atau utuh itu soal hati,” suara lelaki itu dengan hati yang meyakini bahwa wanita di depannya dapat ia boyong dari kawasan yang renta itu.
Sesaat ia seperti tertatap bagian-bagian kawasan yang cukup ramai jika matahari sudah tenggelam.
Ia merasa inilah kawasan perburuannya yang terakhir, jika pun tak menemukan, ia akan menghentikan pencariannya.
Sementara wanita itu membayangkan masa lalunya yang terlempar dari tempat ke tempat, dari kawasan ke kawasan, hingga ia menjadi penghuni kawasan ini.
Seperti ia menghitung jari, usianya baru genap dua puluh lima. Jika diteruskan, masih bisa dijalani sekitar lima tahun lagi, jika pun tidak terkena AIDS atau rajasinga! Jika tidak terkena Vietnam Rose atau SARS? Di luar sudah sangat riuh.
Lelaki itu melihat jamnya. Sudah beberapa jam ia berada di dekat wanita itu, istrinya sendiri, wanita yang telah menjadi istri banyak orang.
Benarkah kawasan ini akan dipindahkan?
Ke mana?
Atau semuanya ditutup, seperti gebrakan di berbagai kota?
Memang bisa?
Kawasan ini akan diganti dengan bangunan mewah, kondominium?
Supermarket?
Apartemen?
“Aku ingin berpikir,” wanita itu mengangkat wajahnya. Dalam mata lelaki itu, wajah itu tidak jauh berbeda dari tujuh tahun yang lalu, saat ia ditemukan di rel kereta api. Hanya tampak lebih dewasa, namun gurat-gurat usia itu justru menampakkan kecantikannya.
“Tak mengapa kita bayar untuk semalam ini,”suara si lelaki. “Besok kita bereskan semuanya. Minggu depan kita sudah harus berada di kawasan baru.”
“Kawasan baru?”
“Tabunganku cukup untuk kita bertransmigrasi.”
Wanita itu baru bisa tersenyum. Lama kemudian ia merasa benar-benar aman dalam pelukan lelaki itu, suaminya sendiri. Terlalu banyak ia memiliki suami, tetapi baru kini ia merasa benar-benar terlindungi dalam pelukan lelaki ini. Ia merasakan suasana yang sangat tenteram dari seluruh waktu pengembaraannya di segenap pelukan. Wanita itu merasakan tabungannya yang juga cukup untuk memulai kehidupan baru, untuk modal, untuk rumah, dan ongkos bepergian.
Mereka tertidur pulas. Nyenyak. Dan mereka sama-sama terbangun oleh suara gaduh teriakan dan umpatan yang panas. Ternyata api telah membakar selimut dan seprai, bantal, guling, dan kasur alas tidur.
“Api! Api! Api!” teriak penghuni di situ sambung bersambung.”Kebakaran! Kebakaran! Kebakaran!”
Berdua ingin berlari ke luar, tetapi terhalang api. Sementara pakaian di badan telah dilalap api!
Api di mana-mana. Kamar yang tadi mereka tiduri diganti dengan lidah api yang menyala-nyala.
Kawasan itu seluruhnya dipenuhi api!
Lautan api bergelombang membakar semua bangunan yang ada. Lelaki dan wanita itu terkurung dalam lautan api! Dan esok hari, ketika para petugas memeriksa kawasan kebakaran itu, mereka menemukan kedua sosok telah hangus hitam legam. Sementara yang lainnya memagar daerah itu, beberapa petugas membawa kedua jenazah itu ke rumah sakit untuk diotopsi.
Koran sore ramai memberitakan kebakaran di kawasan bordilan dan ditemukan dua sosok mayat tanpa identitas. Tapi hanya sekejap berita itu dibaca, selebihnya hilang disapu badai berita-berita baru yang lebih hangat dan aktual. Demo BBM dan korupsi merajalela! Di mana kebakaran lagi?
* Samarinda 2013
Dijumput dari: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=328196