Karya: Masataka Takeshita
Penerjemah: M. Harir Muzakki *
Pada bab pertama, kita telah membahas tentang Manusia Sempurna, sebagaimana manusia pada umumnya, dilambangkan Adam yang diciptakan sesuai dengan citra Tuhan. Namun, Ibn ‘Arabi seringkali mempertentangkan Manusia Sempurna dengan Manusia Binatang. Dengan pertentangan ini, dia ingin menunjukkan bahwa tidak semua manusia adalah Manusia Sempurna, tetapi hanya manusia tertentu yang terpilih. Pada bagian ini, pertama kita akan membahas manusia seperti apa yang dipandang sebagai jenis Manusia Sempurna, jika dibandingkan dengan Manusia Binatang, dan kemudian kita akan menganalisa teori kewalian dalam pemikiran Ibn ‘Arabi dan akhirnya melacak asal usul sejarah doktrinnya.
Ibn ‘Arabi
Manusia Sempurna dan Manusia Binatang
Asin Palacios dalam karyanya “El mistico murciano Aben’Arabi”,1 mengumpulkan bagian-bagian tertentu dari al-Futuhat al-Makkiya, dimana Manusia Sempurna dipertentangkan dengan Manusia Binatang. Disini ketiga bagian akan dianalisia. Bagian pertama terdapat dalam bab 19 yang berjudul “on the Knowledge of Breath of the Merciful and its Secret”.
Ketika Tuhan ingin menyempurnakan bentuk kemanusiaan (al-nash’a al-Insaniya), Dia menggabungkan (jama’a) untuknya dengan kedua tangan-Nya seluruh realitas alam semesta, dan memberikannya kepada manusia. Jadi, manusia memperoleh citra Tuhan (al-sura al-Ilahiya) dan bentuk makhluk (al-sura al-kawniya). Dia menciptakan seluruh spesies (asnaf) alam vis-à-vis manusia sama dengan anggota tubuh vis a vis dengan jiwa yang mengaturnya. Jika manusia ini meninggalkan alam, maka alam akan mati…. Sekarang, karena manusia memiliki Nama-Nama Tuhan “Yang mencangkup” (al-jami’), sehingga dia sama dengan kehadiran dua ini (al-hadratain, yaitu Tuhan dan makhluk) dengan posisinya yang sangat penting. Manusia menjadi wakil yang sebenarnya dan manejer alam semesta dan seluruh isinya. Jika, manusia tidak mencapai tingkat kesempurnaan, akhirnya dia menjadi seekor binatang yang bentuk luarnya menyamai bentuk manusia. Disini, kita menghubungkan dengan Manusia Sempurna. Pada awalnya, Tuhan tidak menciptakan spesis ini, kecuali seorang yang sempurna, dia adalah Adam. Tuhan menunjukkan tingkat kesempurnaan pada spesies ini. Siapapun yang mencapai tingkat ini adalah Manusia yang kita ikuti, dan dia yang tidak mencapai tingkat ini memiliki tingkat kemanusiaan dimana dia berada.2
Pada kutipan di atas, dikatakan bahwa hanya mereka yang mencapai tingkat kesempurnaan yang dapat dikatakan sebagai manusia dalam arti yang sebenarnya, yaitu Manusia Sempurna. Siapapun yang tidak mencapai tingkat kesempurnaan sama dengan seekor binatang yang hanya menyerupai manusia pada bentuk luarnya. Melalui manusia pertama, Adam, Tuhan menunjukkan bentuk kesempurnaan, dan sifat gabungan manusia hanya dapat diterapkan pada Manusia Sempurna.
Bagian kedua dan ketiga karya Asin Palacios diambil dari bab 365 yang berjudul “On the Knowledge of the Station (manzil) of Collaboration (ishtirak) with Got in Determination (taqdir)”.
Ketika Tuhan telah menciptakan alam semesta terkecuali manusia, yaitu tanpa sifat gabungan (majmu’). Dia menjadikan bentuknya (suwar) dari wujud seluruh alam. Sebab itu, tak ada bagian dari alam yang tidak terdapat wujudnya pada manusia. Saya maksud alam semesta adalah segala sesuatu selain Tuhan. Dia memisahkan manusia dari alam semesta setelah Dia mengaturnya (dabbarat), sehingga manusia sama dengan perintah yang diatur (Tuhan). Kemudian Tuhan menjadikan manusia ruh (khadwan ma’nawiyan) sebagai kehadiran (hadra) Nama-Nama Tuhan. Nama-Nama Tuhan yang terdapat pada diri manusia sebagai bentuk muncul dalam cermin bagi orang yang melihat. Kemudian, dia memisahkannya dari Kehadiran Nama-Nama Tuhan setelah kekuatannya (quwa) diberikan pada manusia. Dia memanifestasikan diri-Nya melalui Nama-Nama-Nya dalam jiwa dan batinnya. Oleh karena itu, sisi luar manusia adalah ciptaan (khalq) dan sisi batinnya adalah Tuhan (haqq). Maka, Ini merupakan Manusia Sempurna, tujuan obyek (matlub) (penciptaan). Apapun selain Manusia Sempurna adalah Manusia Binatang. Tingkat Manusia Binatang dalam hubungannya dengan Manusia Sempurna adalah tingkat nisnas (monster setengah manusia) dalam hubungannya dengan Manusia Binatang.3
Kemudian Ibn ‘Arabi menguraikan secara detail gambaran bentuk alam semesta dalam istilah empat elemen. Setelah menjelaskan munculnya tumbuhan dan binatang, dia menyimpulkan sebagai berikut:
Ketika bentuk tubuh (al-nash’a al-jismaniya) tumbuhan dan binatang telah sempurna, muncul pada dirinya semua kemampuan (quwa) binatang. Dia memberikan binatang (kemampuan) kognitif berupa kemampuan jiwa praktis (al-nafs al-‘amaliya)…. Bagi binatang, segala sesuatu yang ia ketahui lewat kemampuan bukan melalui pembebasan dari pengaturan (tadbir) dan melalui pandangan (ru’ya), nampaknya pengetahuannya bersifat intuisi, dan ia tidak mengetahui darimana kesempurnaan ini (itqan) dan ketetapan (ihkam) berasal, mereka adalah laba-laba, tawon dan hewan penyengat. Disisi lain, manusia mengetahui segala sesuatu hanya melalui fikiran, pandangan, dan (membebaskan dari) ketentuan. Jadi, manusia mengetahui darimana ini berasal. Sekelompok binatang mengetahui sesuatu, tetapi tidak mengetahui asal usulnya. Ini yang membedakan manusia dengan binatang lain dan tiada lain. Ini merupakan kondisi (hal) yang lazim bagi semua manusia kecuali Manusia Sempurna, karena Manusia Sempurna melebihi Manusia Binatang hidup dunia ini melalui pemalingan (tasrif) Nama-Nama Tuhan, yang kekuatannya berada dalam dirinya, ketika Tuhan menciptakan persesuaian antara ia dan nama-nama itu, setelah diciptakan kembarannya dengan alam semesta. Jadi, Tuhan menciptakan Manusia Sempurna sebagai seorang wakil atas nama Manusia Universal yang Besar (al-insan al-kull al-kabir), yang menjadi bayangan Tuhan pada makhluk-Nya dari ciptaan-Nya. Karena itu, dia (Manusia Sempurna) menjadi seorang khalifah. Karena alasan ini, manusia adalah wakil-wakil atas nama dari satu orang khalifah. Oleh karena itu, mereka adalah bayangan cahaya-cahaya menifestasi Tuhan yang sama dengan manusia asli. Mereka ini ini adalah cahaya manifestasi Tuhan, yang datang menggantikannya dari semua sisi. Nampak baginya sejumlah bayangan yang sama dengan jumlah manifestasi Tuhan, karena setiap manifestasi Tuhan memiliki cahaya yang menghasilkan bayangan bentuk manusia dalam wujud material. Kemudian bayangan itu menjadi seorang wakil, dan darinya muncul bentuk partikular, wakil-wakil individu. Sebagaimana Manusia Binatang, ini bukan semua sifat aslinya, kiranya sifatnya menyerupai sifat-sifat binatang lain, bahwa semata-mata dia berbeda dari setiap yang lain dengan perbedaan yang menjadi sifatnya, seperti halnya binatang berbeda dari satu sama lain. Melalui perbedaan ini, yaitu setiap orang darinya (spesies binatang), karena kuda bukan keledai sejauh berkaitan dengan bentuknya, tidak juga bagal, burung, atau binatang, atau mangsa binatang buas, ulat. Oleh karena itu, Manusia Binatang termasuk totalitas seluruh binatang (jumlat al-hasharat), ketika dia menjadi sempurna, maka dia menjadi seorang khalifah.4
Perbedaan antara Manusia Sempurna dan Manusia Binatang ini tidak hanya terdapat dalam al-Futuhat al-Makkiya, tetapi juga ditemukan dalam karya lain Ibn ‘Arabi. Misalnya, dalam ‘Uqlat al-Mustawfiz dikatakan:
Karena Manusia Sempurna merupakan bentuk yang sempurna, kekhalifahan dan penggantian (niyaba) Tuhan di bumi cocok baginya. Izinkan kami menjelaskan tentang kedudukan ini dalam bentuk (nash’a) kekhalifahan dan maqamnya serta bentuknya yang sesungguhnya. Kami tidak maksudkan manusia adalah Manusia Binatang, tetapi manusia yang merupakan khalifah. Seluruh sisi kemanusiaan dan kekhalifahannya, manusia layak mendapatkan bentuk kesempurnaan. Setiap manusia bukanlah seorang khalifah. Menurut pendapat kami, Manusia Binatang bukanlah seorang khalifah.5
Perbedaan yang sama juga terdapat dalam Fusus al-Hikam.
Tuhan menundukkan (sakhkhara) kepadanya (Adam, yaitu Manusia Sempurna) alam yang lebih tinggi dan lebih rendah karena kesempurnaan bentuknya. Begitu juga tak satupun di alam semesta yang tidak memuji Tuhan (bandingkan dengan al-Qur’an (17/44), sehingga tidak ada satupun di alam semesta ini yang tidak tunduk padanya karena kesempurnaan realitas bentuknya. Tuhan berfirman, “Dia menundukkan padamu, sebagaimana perintah-Nya, semua yang ada di langit dan bumi,” (45/13). Oleh karena itu, segala sesuatu yang ada di alam semesta selalu tunduk (taskhir) kepada manusia. Siapapun yang sungguh memahami akan hal ini, dia adalah Manusia Sempurna. Siapapun yang sungguh tidak memahami akan hal ini, dia adalah Manusia Binatang.6
Dari kutipan di atas, kami dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1. Di antara manusia, hanya mereka yang mencapai tingkat kesempurnaan dapat dinamakan sebagai Manusia Sempurna.
2. Selainnya termasuk Manusia Binatang, berbeda dari binatang-binatang lain semata-mata karena perbedaan yang ada pada jenisnya, sebagaimana kuda berbeda dengan binatang lain karena berbeda jenisnya.
3. Perbedaan antara Manusia Binatang dan Manusia Sempurna terletak pada kemampuan selanjutnya untuk menyerap (tasrif) Nama-Nama Tuhan.
Pada bab pertama disebutkan bahwa manusia diciptakan sesuai dengan Nama-Nama Tuhan dan juga sesuai dengan alam semesta. Manusia memiliki kedua hal ini. Sisi batinnya adalah Tuhan dan sisi luarnya adalah makhluk. Jika manusia hanya memiliki sisi luar, dia bukan sintesis Nama-Nama Tuhan, maka dia bukan manusia dalam arti kata yang sebenarnya, karena dia tidak memiliki dua hal ini. Dia adalah Manusia Binatang, yang tidak lebih tinggi dibanding dengan binatang-binatang lain.
Meski demikian, perbedaan antara Manusia Sempurna dan Manusia Binatang tidak bersifat mutlak, karena dalam kenyataannya manusia diciptakan untuk mencapai kesempurnaan. Oleh karena itu, setiap manusia memiliki kemungkinan untuk mencapai tingkat kesempurnaan.
Selama manusia masih hidup, dia memiliki harapan memperoleh sifat “kesempurnaan” yang karena itu dia diciptakan. Siapapun mencoba merusaknya berarti dia berusaha menghalanginya untuk memperoleh kesempurnaan yang karena itu dia diciptakan.7
Walaupun manusia dalam kenyataannya bukan Manusia Sempurna, dia selalu memiliki kesempatan untuk memperoleh tingkat kesempurnaan, karena itu manusia diciptakan. Pada bagian selanjutnya, kami bermaksud meneliti bagaimana manusia dapat mencapai kesempurnaan ini.
Hati Seorang Ma’rifah
Pada bagian berikutnya Fusus al-Hikam, Manusia Sempurna secara jelas disamakan dengan sufi yang ma’arifah.
Karena manifestasi Tuhan mengambil berbagai macam bentuk, maka hati tentu menjadi luas atau sempit sesuai dengan bentuk manifestasi-Nya. Hati tidak dapat melebihi bentuk manifestasi-Nya, karena hati seorang ‘arif, yaitu Manusia Sempurna, sama dengan pangkal (manzila) tempat (mahal) batu (fass) cincin, ia sesuai dengan bentuk dan ukuran batu. Jika, batu bundar, maka tempatnya juga bundar, jika persegi empat atau persegi enam, atau persegi delapan, maka tempatnya juga persegi empat, persegi enam, persegi delapan.8
Di sini hati seorang ‘arif disamakan dengan tempat batu, dan batu disamakan dengan manifestasi Tuhan dalam berbagai bentuknya. Kemudian, bagaimana kita harus memahami manifestasi Tuhan ini?
Dalam al-Futuhat al-Makkiya, Manusia Sempurna dikatakan sama dengan hati dalam hubungannya dengan tubuh dan alam semesta.
Melalui Manusia Sempurna tampak kesempurnaan bentuk (kamal al-sura). Dia menjadi hati bagi tubuh alam semesta. Alam semesta merupakan ekspresi segala sesuatu selain Tuhan. Hati adalah Rumah yang selalu dikunjungi (al-bayt al-ma’mur) Tuhan, karena ia menjadi tempat-Nya. Dia berfirman dalam sebuah hadis, “Bumi dan langit tidak mampu menampung-Ku, tetapi hati hamba yang shaleh dapat Menampung-Ku.” Keberadaan Manusia Sempurna dalam hal eksistensi hatinya terletak antara Tuhan dan alam semesta. Dia menamakannya hati (qalb) karena perubahannya (taqlib) pada setiap bentuk. “Setiap hari Dia dalam kesibukan-Nya,” (55/29), dan dalam perubahannya (tasrif) dan kemampuannya berubah. Karena ini, dia memiliki nafas Ketuhanan (si’a ilahiya).9
Ibn ‘Arabi menghubungkan kata “hati” dengan konsep perubahan (taqlib) dan terkadang dengan konsep “transformasi” (taqallub).10 Manusia Sempurna, sufi ‘arif secara terus menerus merubah bentuk hatinya sesuai dengan perubahan bentuk manifestasi diri Tuhan. Hanya melalui perubahan seperti ini, dia dapat menerima seluruh manifestasi diri Tuhan.
Bagi seorang ma’rifat (‘arif), Tuhan adalah zat yang terketahui yang tidak pernah diingkari…. Karena alasan ini, Dia berfirman “Bagi orang-orang yang memiliki hati (qalb) (50/37), yaitu mereka yang mengetahui bentuk perubahan (taqallub) Tuhan dengan perubahan (taqlib) hatinya ke dalam berbagai bentuk.11
Ibn ‘Arabi berulangkali menekankan bahwa Tuhan merubah terus-menerus bentuk-Nya, dimana Dia memanifestasikan diri-Nya, dan dia mengutip hadis, “Tuhan merubah bentuk-Nya dalam manifestasi Dirinya.”12 Dia mengungkapkan secara singkat bahwa manifestasi Diri Tuhan tidak pernah terulangi,13 dan Manusia Sempurna adalah lokus manifestasi diri-Nya.
Tak ada satupun di antara makhluk (maujudat) yang dapat menampung Tuhan kecuali (Manusia Sempurna). Dia hanya bisa menampung-Nya dengan jalan menerima bentuk (Nya). Manusia Sempurna menjadi lokus manifestasi Diri Tuhan.14
Merskipun demikian, pendapat yang dipegangi secara umum bahwa Tuhan memanifestasikan Diri-Nya sesuai dengan persiapan (isti’dada) manusia:15
Saya (Tuhan) akan memberikan segala sesuatu (al-umur) padamu (Ezra) dengan cara manifestasi (‘ala tajalli). Manifestasi akan terjadi hanya sesuai dengan kesiapanmu (isti’dad), lewat persepsi intuisi (al-idrak al-dhawqiya) yang datang padamu. Ketahuilah bahwa kamu tidak akan dapat memahami kecuali sesuai dengan kesiapanmu.16
Ibn ‘Arabi berusaha memadukan pandangan yang dijadikan pegangan secara umum dengan pendapatnya bahwa manusia mendapatkan manifestasi Tuhan dengan perubahan hatinya sesuai dengan bentuk manifestasi-Nya. Untuk itu, dia mengajukan suatu perbedaan antara dua bentuk manifestasi, manifestasi yang tak terlihat (tajalli al-ghaib) dan manifestasi yang terlihat (al-tajalli al-shuhudi).17
Melalui manifestasi pertama, kesiapan awal diberikan dalam hati. Ini merupakan manifestasi identitas Tuhan (huwiya).18 Setelah itu Tuhan memanifestasikan diri-Nya dalam berbagai macam bentuk yang terlihat.
Manifestasi pertama (yaitu, manifestasi Identitas Tuhan) lebih tepat ditafsirkan dengan doktrin “kesatuan wujud” (wahdat al-wujud) Ibn ‘Arabi. Ini merupakan manifestasi wujud absolut Tuhan, dan tidak terdapat keragaman dan perbedaan. Wujud Tuhan bersifat imanen (tetap) pada semua wujud.19 Dalam hal ini manusia tidak lebih tinggi dibanding makhluk lain di alam semesta.
Manifestasi Tuhan kedua adalah Nama-Nama Tuhan. Pada manifestasi ini, Tuhan memanifestasikan diri-Nya dalam berbagai macam bentuk alam semesta sesuai dengan kesiapan terdalam setiap wujud. Dengan kata lain, Nama-Nama Tuhan memanifestasikan dirinya sebagai realitas berbagai wujud alam. Berkaitan dengan manusia, Tuhan mewujudkan diri-Nya dalam hati manusia sebagai Tuhan yang diciptakan dalam keyakinannya (al-Haqq al-makhluk fi al-‘itiqad).20 Ini artinya bahwa manusia mengetahui dan melihat Tuhan pada salah satu dari Nama-Nama Tuhan tertentu dalam dirinya. Dalam kenyataannya, Tuhan ini dirinya yang terpantulkan dalam cermin ke-Tuhan-an.21 Jika seorang hanya percaya terhadap Tuhan yang diciptakan dalam kenyakinannya, maka dia tidak dapat dikatakan sebagai gabungan seluruh Nama-Nama Tuhan, karena dia membatasi kemungkinan yang tak terbatas manifestasi Tuhan pada satu bentuk tertentu, dan menolak manifestasi-Nya pada bebrbagai bentuk lain.
Dia yang membatasi Tuhan (Tuhan yang diciptakan dalam keyakinannya) mengingkari-Nya dari keyakinan-keyakinan lain, menegaskan-Nya hanya ketika Dia termanifestasi dalam keyakinannya. Dia yang tidak membatasi-Nya berarti tidak mengingkari-Nya, tetapi menegaskan Tuhan pada setiap bentuk manifestasi-Nya, menyembah-Nya dalam bentuk yang tidak terbatas, karena tidak ada batas bagi bentuk-bentuk dimana Dia mewujudkan Diri-Nya.22
Tuhan mewujud pada setiap makhluk yang diciptakan dan pada setiap konsep.23 Seorang ma’rifah adalah seorang yang melihat Tuhan pada setiap wujud,24 dan memuja-Nya pada bentuk manifestasi-Nya yang tidak terbatas.
¬
Ibn ‘Arabi membedakan hati dengan akal sebagai sarana untuk mengetahui Tuhan.25 Akal terbatas dan berusaha mendefinisikan Tuhan dalam kerangka Tuhan yang diciptakan dalam keyakinan. Ini adalah sarana yang digunakan oleh para teolog dan para filosof. Tetapi, hati seorang ma’rifah menerima setiap bentuk manifestasi Tuhan dengan perubahan bentuknya. Dengan cara ini, seluruh Nama-Nama Tuhan dimanifestasikan dalam dirinya. Sebagaimana kita telah membahas dalam bab pertama, totalitas ini, yaitu gabungan yang Adam, Manusia Sempurna miliki, membedakan wujud manusia, dan memberikan manusia kedudukan sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Di satu sisi, mereka yang membatasi manifestasi Tuhan pada satu bentuk tertentu, yaitu salah satu dari Nama-Nama Tuhan, tidak dapat dikatakan merealisasikan gabungan ini. Dalam kaitannya dengan ini, mereka tidak berbeda dari binatang-binatang. Hanya seorang sufi yang ma’rifah, yang melihat manifestasi Nama-Nama Tuhan pada setiap wujud di alam semesta, dapat dikatakan sebagai Manusia Sempurna.
Pada bab selanjutnya, kami akan membahas teori Ibn ‘Arabi tentang perbedaan kewalian dan kenabian.
*) M.Harir Muzakki, Dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ponorogo.
(Bersambung)