Sri Wintala Achmad
kompasiana.com/eswaacmad
SEBAGAI masyarakat Jawa, kita perlu berbangga hati terhadap para leluhur yang telah memaknai jamannya dengan karya-karya sastra masterpiece-nya. Sekalipun dari sebagian karya tersebut sekadar pesanan (perintah) dari seorang raja kepada pujangga negaranya baik secara individual maupun kolektif atau sekadar legitimasi dari pujangga terhadap kedudukan raja. Dikatakan pula, bahwa karya sastra yang tidak bersifat independen dan bersuara kritis tersebut merupakan bentuk persembahan (puja-puji) dari seorang (para) pujangga pada rajanya.
Dalam catatan sejarah, seorang pujangga yang menggubah karya sastra pertama kali adalah Mpu Kanwa. Seorang pujangga yang hidup semasa pemerintahan raja Airlangga (Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa) di Kahuripan pada 1009-1042.
Melalui Mpu Kanwa yang mendapat amanat dari Airlangga, kitab Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari kitab Mahabharata itu diciptakan pada tahun 1035. Kitab Arjuna Wiwaha yang merefleksikan perjuangan Airlangga untuk menaklukkan Wurawari tersebut mengisahkan perjuangan Arjuna di dalam melumpuhkan keangkaramurkaan Prabu Niwatakawaca.
Semasa pemerintahan raja Kamesywara (Sri Maharaja Sri Kamesywara Triwikramawatara Aniwariwirya Anindhita Digjaya Uttunggadewa) pada tahun 1116-1135, hiduplah seorang pujangga bernama Mpu Dharmaja. Oleh raja Kamesywara, Mpu Dharmaja mendapat amanat untuk menggubah karya sastra Kakawin Smaradahana. Karya tersebut mengisahkan tentang terbakarnya Kamajaya dan Ratih di ambang kelahiran Ganesha (dewa berkepala gajah). Pasangan dewa-dewi tersebut kemudian menjelma ke dalam diri Sri Kamesywara dan permaisurinya yang bernama Sri Kirana. Kakawin Smaradahana kemudian menjadi cikal-bakal kisah panji yang sangat tersohor di lingkup masyarakat Jawa.
Masih di wilayah Kadiri. Semasa pemerintahan Jayabhaya (Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa) yang memerintah pada 1135-1159, hiduplah sepasang pujangga bernama Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Melalui kedua mpu tersebut, lahirlah Kakawin Mahabharata (1157). Kakawin Mahabharata yang mengisahkan tentang kemenangan Pandhawa atas Korawa itu merefleksikan tentang kemenangan Kadiri atas Jenggala. Pandangan lain, Kakawin Mahabharata melukiskan prestasi Jayabhaya yang berhasil menyatukan 2 (dua) wilayah warisan raja Airlangga tersebut. Pada masa itu pula, Jayabhaya menggubah Serat Kalatidha. Sebuah karya yang melukiskan tentang tanda-tanda datangnya jaman kalabendu.
Duaratus delapan tahun kemudian dari tahun 1157, atau tepatnya pada tahun 1365, muncullah Kitab Nagarakretagama. Karya sastra yang digubah oleh Mpu Prapanca (Dang Acarya Nadendra) itu berisikan tentang pujian-pujian terhadap raja-raja Majapahit, terutama raja Hayam Wuruk (Maharaja Sri Rajasanagara) yang memerintah pada tahun 1350-1389. Kemudian pada tahun 1365-1389, lahirlah Kakawin Sotasoma kaya Mpu Tantular. Di dalam karya tersebut memuat tentang Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrowa.
Sesudah kelahiran Nagarakretagama dan Kakawin Sotasoma, tidak ada catatan sejarah yang menyebutkan kelahirkan karya sastra masterpiece terbaru semasa pemerintahan Wikramawardhana hingga Girindrawardhana Dyah Ranawijaya di Majapahit. Demikian pula semasa pemerintahan Raden Patah hingga Sunan Prawoto di Kasultanan Demak atau semasa pemerintahan Sultan Hadiwijaya hingga Pangeran Banawa di Kasultanan Pajang. Baru pada masa pemerintahan Sultan Agung (raja Kasultanan Mataram Islam ke 4), lahirlah Serat Sastra Gending.Perkembangan karya sastra baru mengalami puncaknya pada masa Kasunanan Surakarta (abad 18). Beberapa karya sastra baik yang digubah oleh raja, pujangga, maupun yang bersifat anonim dilahirkan. Beberapa karya sastra masterpiece yang diciptakan, antara lain: Serat Centhini gubahan R.Ng. Yasadipura II, Ng. Ranggasutrasna, R.Ng. Sastradipura, Pangeran Jungut Manduraja, dan Kyai Mohammad; Pustaka Purwa, Kalatidha, Sabdatama, dan Sabdajati karya R.Ng. Ranggawarsita III; Babad Tanah Djawi karya Pangeran Karanggayam, Pangeran Adilangu II, Tumenggung Tirtawiguna, dan Carik Braja; dan masih banyak karya yang lain.
Sumber: Kutipan dari Sekapur Sirih Penulis dalam buku Babad Tanah Jawa [Dari Nabi Adam hingga Mataram Islam] karya Sri Wintala Achmad, yang segera diterbitkan Araska Publisher, Yogyakarta.