Kreativitas Pembelajaran Sastra Ala Mardi Luhung

Kasnadi *

Meski sudah sekian kali pemerintah mengubah kurikulum (penulis lupa berapa kali pemerintah mengganti kurikulum karena begitu seringnya), dewasa ini pembelajaran sastra tetap kering dan tidak menyenangkan. Kekeringan tersebut salah satunya disebabkan karena ketidakmampuan guru dalam meramu dan meracik model pembelajaran tersebut. Dalam tulisan ini akan dipaparkan resep pembelajaran sastra ala Mardi Luhung, ketika datang ke SMA Immersion Ponorogo dalam rangka “Sarasehan Proses Kreatif dan Kreativitas Pembelajaran Sastra”, tanggal 13 November 2007.

Mardi Luhung di samping sebagai seorang penyair, ia adalah sosok guru sekaligus pendidik sejati. Sebagai pendidik sejati dia mampu mengantarkan siswa-siswinya menulis puisi dan cerita pendek, tidak saja di majalah dinding sekolah tempat dia mengabdi tetapi karya-karya anak asuhnya sudah dibukukan dan dapat dibaca oleh masyarakat umum. Prinsip Mardi Luhung, dalam mengantarkan anak didiknya: pertama perlunya konsep memanusiakan para siswa. Siswa sebagai anak didik adalah sosok manusia seperti kita. Jangan sekali-kali seorang guru memandang anak didiknya bukan sebagai manusia. Karenanya, konsep yang harus dipegang, apa pun yang dilakukan oleh para siswa perlu dihargai. Dalam model pembelajaran quantum (yang disingkat TANDUR), prinsip yang terakhir adalah pentingnya merayakan terhadap hasil kerja siswa apa pun wujudnya. Ini adalah bentuk dari memanusiakan manusia. Dan penting diperhatikan silakan baca buku The Freedom Writers Diary, Teach with Your Heart karya Gruwell dan Dead Poets Society karya N.H. Kleinbaum.

Kedua, menciptakan situasi dan kondisi pembelajaran yang menyenagkan. Karena anak didik adalah manusia, secara otomatis menyukai hal-hal yang menyenangkan. Seorang guru untuk mewujudkan suasana pembelajaran yang kondusif harus mampu menciptakan suasana yang menyenangkan. Suasana yang menyenangkan dapat dibangun dari pribadi seorang guru yang baik, menhormati siswa, berperilaku yang sopan terhadap siswa, menggunakan kata-kata yang baik (tidak boleh menyinggung perasaan anak didik).Gunakanlah kata-kata yang mengandung makna yang menyenagkan, kata kata yang menarik empati si anak didik. Misalnya, kata “tolong” jika guru ingin menyuruh anak didiknya, “terima kasih” ketika anak didik selesai menjalankan tugas, dan jangan muncul dari mulut seorang guru kata-kata “tidak boleh”, “jangan”, “dilarang”, dan kata sejenis yang melukai perasaan siswa. Guru harus memosisikan dirinya sebagai teman, bukan sosok yang menakutkan. Garu harus mampu mencptakan dan memilih tempat pembelajaran yang disukai siswa jika perlu sebelum belajar guru dapat minta pendapat siswa tentang tempat belajar yang diinginkan. Untuk menciptakan suasana yang menyenangkan juga perlu model pembelajaran yang mendukung tercapainya target yang direncanakan. Dengan suasana yang menyenangkan tentu sianak didik akan belajar dengan suka cita (enjoy).

Ketiga, anak adalah anak bukan orang dewasa dalam bentuk kecil, kata ahli psikologi anak J.J. Rosseou. Anak didik mempunyai habitat tersendiri. Kewajiban guru harus dapat mengembalikan si siswa pada habitatnya. Dalam hal ini, penting diperhatikan pemanfaatan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran (CTL). Dalam menyuguhkan materi pembelajaran harus diperhatikan bahan yang tentunya sesuai dengan habitat siswa diantaranya perlu memperhatikan budaya, kemampuan bahasa, dan psikologi siswa.

Keempat, guru wajib membuat siswa menjaadi dirinya sendiri. Guru jangan memaksa muridnya seperti dirinya. Biar yang seperti guru itu hanyalah guru itu sendiri saja. Si murid biar menjadi murid dengan karakter dan kepribadiannya masing-masing. Sehingga, yang berkepribadian dan berkarakter seperti guru itu hanyalah satu orang saja yakni ya guru itu. Kata penyair religi, Kahlil Gibran dalam bukunya Sang Nabi, anak –untuk mengembangkan dirinya- hendaknya bebas sebebas-bebasnya. Sehingga, bagi Gibran sosok anak dan ibu disimbolkan dengan “anak panah” (simbol anak) dan “busur” (simbol ibu). Jika anak panah sudah lepas dari busurnya keduanya sudah tidak ada hubungannya lagi.

Sebagai catatan akhir, alangkah indahnya seandainya seorang guru sastra sekaligus seorang sastrawan. Bukankah sosok guru adalah sosok yang ditiru dan diteladani oleh siswanya? Bukankah kenyataan yang ada, dapat dihitung dengan jari guru sastra yang benar-benar guru sastra? Dan perlu direnungkan sejenak pesan aktor musikalisasi puisi dari Surabaya, Harjono, “kalau ingin jadi manusia menulislah dan atau ditulislah”.

*) Penulis adalah guru SMA Immersion Ponorogo.

Bahasa »