Kasnadi *
Dalam Tesaurus Bahasa Indonesia “paradoks” mengandung makna konflik, kontradiksi, inkonsistensi, pertentangan, polaritas. Berdasarkan makna tersebut -jika kita mau merenung sejenak- perilaku kita sehari-hari, banyak yang masuk dalam lingkup paradoks. Kita ingin kaya, tetapi tidak mau bekerja. Kita suka menjadi orang sukses tetapi malas berusaha. Kita senang prestasi, tetapi tak pernah mencari. Kita suka kualitas, tetapi lebih suka jalan pintas. Kita sering berjanji, tetapi kita lebih sering mengingkari. Kita cintai damai, nyatanya lebih suka membantai.
Kita hidup miskin di bumi yang kaya raya, gemah ripah loh jinawi. Sampai potret kesuburan tanah kelahiran ini terpatri pada larik lirik Koes Plus “bukan lautan, tapi kolam susu” sehingga lanjutnya “tongkat kayu dibuang jadi tanaman”. Di satu sisi sebagian hidup dengan bergelimang harta, sampai bingung menaruhnya. Akhirnya, mencari selingkuhan, -tidak cuma satu, dua, dan tiga- untuk “menitipkan” kekayaannya. Pada sisi lain, mereka terkena gizi buruk, busung lapar. Banyak yang berkali-kali pergi ke Mekah, sementara sebagian anak usia sekolah tidak mendapat pendidikan yang layak, tidak ikut ujian gara-gara tidak kuat melunasi uang sekolah. Begitu banyak rumah mewah berdiri bagai jamur di musim penghujan, tetapi banyak juga yang kehujanan karena berteduh di bawah jembatan dan rumah kardus yang berjamur. Jalan-jalan dipenuhi mobil mewah, tiap hari pemandangan kemacetan jalan raya di metropolitan tak terelakkan, sementara masyarakat yang lain sulit mencari makan.
Kita terkenal dengan sebutan bangsa agamis, tapi perilaku kita tidak menunjukan nilai-nilai agamis. Tindak kriminal terjadi di mana-mana, pembalakan hutan tak dapat dimejahijaukan, korupsi tak dapat berhenti. Perjudian merajalela, penindasan menjdi konsumsi berita utama, penggusuran menguras air mata, pemerkosaan menjadi hal yang biasa. Kita tidak mengamalkan ajaran hadist justru sebaliknya menyebarkan teroris. Kita tidak menghormati, justru mencaci maki.
Tengok potret pelajar kita. Banyak yang tidak menunjukkan tampang pelajar. Pada jam-jam sekolah sering memadati warung kopi di pinggir jalan dengan lengkap pakaian seragam. Setiap malam “cangkrukan” kalau tidak “ngangkring” di seputar penjuru kota. Ketika mengisi biodata kolom pekerjaan selalu diisi kata “pelajar”, akan tetapi tidak pernah belajar. Bukakankah pelajar pekerjaannya belajar? Mereka banyak yang rabun buku, buta bacaan, tetapi gandrung televise, melek tontonan. Jika kurang atau tidak percaya mari kita amati, berapa lama anak kita memegang buku dalam setiap harinya, dan berapa lama anak kita bertengger di depan televisi, karena tersihir oleh benda ajaib yang bernama “televisi”?
Kita menggembar-gemborkan pancasila sebagai falsafah bangsa, tapi tindakan kita tidak menunjukkan nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah tersebut. Mungkin kita perlu mengingat penggalangan P4 pada masa Orde Baru. Secara teoritis merupakan konsep menarik. Mulai pejabat pusat sampai pejabat pelosok wajib mensukseskan program “orde baru” itu. Warga mana yang tidak kenal dengan “makhluk ajaib” yang namanya P4? Berapa banyak dana yang dikeluarkan pemerintah dalam mewujudkan program tersebut? Sampai waktu itu muncullah sifat kelatahan, sedikit-sedikit kalau tidak “manut” pemerintah dicap tidak P4 alias anarkhis. Dari hasil evaluasi yang dapat kita rasakan bersam-sama (kalau mau merasakan), berapa persen warga masyarakat Indonsia yang tercinta ini berperilaku seperti pada butir-butir P4? Signifikankah tumpukan piagam dalam almari dengan perilaku sehari-hari?
Kejadian yang belum lama ini tentu belum begitu kita lupakan. Buka dan simak memori kita tentang terjadi berbagai musibah yang melanda bangsa kita. Misalnya, bencana alam, macam: gempa, tanah longsor, banjir, syunami yang tak henti-henti. Di samping itu, tenggelamnya kapal laut, terbakarnya pesawat, kecelakaan kereta api, dan masih banyak musibah yang lain. Untuk menangani dan menanggulangi musibah tersebut yang paling banyak muncul bukan tindakan (action) sesegera menolong korban, tetapi justru banyak berkhotbah. Pemandangan pascabanjir di Ponorogo menarik untuk di renungkan. Di daerah kena banjir para penghuni rumah bercucuran air mata sambil menghalau lumpur, tapi tidak jauh dari pemandangan itu bertaburan masyarakat menikmati bencana dengan “memancing” yang tentu diselingi tawa dan gembira. Pantaslah Sutardji Calzoum Bachri menulis puisi dengan judul “LUKA” dan hanya berisi satu larik yakni “HAHA”.
Memang, bangsa kita kaya teori, miskin praktik. Memang bangsa kita bangsa yang ironis. Memang, bangsa kita telah terjangkiti penyakit paradoks. Memang, bangsa kita aneh tapi nyata.
***
*) Penulis adalah staf pengajar di STKIP PGRI Ponorogo.