Sastra dan Dunia Kehidupan(nya)

Ka’bati *
harianhaluan.com 1 Juli 2012

Satu pagi di Jumat (22/6) saya duduk-duduk makan angin di teras belakang Ko­munitas Intro di Paya­kum­buh, bersama Penyair Iyut Fitra dan Novelis Gus tf Sakai. Ini sungguh sebuah momen yang indah dan jarang terjadi, duduk santai di tengah kelapangan ruang dan waktu bersama dua orang sastra­wan kenamaan membuat pikiran mengalir.

Tidak ada tema pebica­raan yang mengerangkeng suasana santai pagi itu, tetapi saya menangkap di wajah ke dua tokoh sastra Indonesia ini ada kegelisahan, terutama ketika obrolan meng­a­rah pada dunia sastra dan proses kreatifnya.

Inti dari kegelisahan Iyut dan Gus tf tak jauh dari tekanan sistem dunia (kehidupan modern yang mengedepankan rasional ins­trumentalnya) terhadap kehi­dupan nyata masyarakat lokal, khususnya dunia kehi­dupan penulis-penulis sastra hari ini. Ada beberapa titik yang saya rekam bisa menjadi jejak pembicaraan pagi itu, dan ini akan bermuara pada soal kualitas karya. Mem­bebaskan penulis-penulis sastra kita dari tekanan sistem dunia yang mengikis makna-makna kehidupan.

Prilaku masyarakat sedikit banyaknya sangat dipengaruhi oleh diskursus (ide) yang mengkonstruksi pemikiran mereka. Konstruksi pemikiran yang bersumber dari penge­tahuan itu mempengaruhi tindakan individu dan masya­rakat. Nah, Tindakan yang dipengaruhi oleh sumber penge­tahuan dari tafsiran-tafsiran dangkal para penulis tentang makna atau esensi sesuatu tentu akan membuat penge­tahuan dan tindakan masya­rakat juga mengalami pen­dang­kalan. Pendangkalan atau bahkan pengikisan makna-makna esensial inilah yang terjadi hari ini. Salah satu yang memberikan ‘sumbangan’ buruk terhadap hal ini adalah penulis sastra yang berkarya dengan mengabaikan kualitas.

Kehidupan hari ini mena­warkan banyak sekali kemu­dahan. Informasi, data dan sumber-sumber pengetahuan lainnya berada diujung jari, yang bisa diakses dalam hitungan detik dengan biaya yang juga sangat murah. Oo…membayangkan sebuah perpustakaan berlantai lima dengan koleksinya yang padat dan berdebu, lalu seorang penulis yang akan penulis novel berjalan mengendap-endap menelusuri refesensi yang ada dan membuang waktunya sampai berhari-hari, itu hanya imajinatif dan bodoh. Ini era posmo kawan. Kalau mau jadi penulis hari ini yang masuk akal itu pergi sajalah ke kafe-kafe ber wi-fi yang bersih dan pegawainya wangi. Lalu pesan se gelas kopi, susu atau minuman apa sajalah yang disukai. Dan mulailah membuka laptop. Menulis dengan data yang tersedia sangat banyak seperti busa cappuccino di bibir gelas, melimpah!

Pada titik inilah saya melihat buhul pertama kegelisahan duo sastrawan dari Payakubuh ini. Seperti diakui sendiri oleh Gus tf, “Orang-orang sekarang repot oleh segala kemudahan. Karenanya banyak karya yang muncul menjadi dangkal dan bermain dipermukaan tanpa kedalaman makna.” Tentu saja pandangan ini berkaitan dengan proses kreatif penulis sastra hari ini.

Yang terjadi kemudian adalah lahirnya karya-karya dengan data melimpah tapi tanpa kedalaman makna yang bisa menggugah sisi terdalam kemanusiaan kita. Bahkan yang lebih miris menurut Gus tf banyak penulis kita, khususnya penulis muda muncul sebagai pemulung remah-remah karya sastra ala Barat yang di negerinya sendiri sudah basi dan tidak layak konsumsi lagi. Karya-karya pop, teenlit menggunakan judul-judul ‘asing’ berlabel sastra di covernya. Untuk kepentingan pasar, kata sastra menjadi jualan. Inilah realitas dunia sastra hari ini. Realitas sastra di dunia ke tiga.

Lalu bagaimana seharus­nya menanggapi kenyataan baru ini? Inilah yang mengge­lisahkan. Darimana memulai pembenahan? Kalau bahasa agamanya: Mengembalikan sastra ke-khittahnya?

Bagi Gus tf maupun Iyut Fitra, jalan yang mereka pilih dengan menetap di kampung dan hidup dalam atmosfir tradisional adalah salah satu cara untuk menghadapi tekanan tersebut. Bahkan Gus tf juga membatasi diri pada penggunaan teknologi seperti handpone atau internet. Kalau orang lain akan bangga mempublikasikan statusnya di facebook atau di twitter, status-status yang pada hakikatnya publikasi ide secara gratisan itu tak akan dilakukan oleh Gus tf yang juga diikuti oleh Iyut Fitra sejak beberapa waktu belakangan ini. Kita juga tidak bisa berhubungan bebas dengan Gus tf setiap saat, karena tokoh sastra satu ini punya waktu-waktu tertentu dimana dia perlu membatasi diri dari dunia luar. Tentu ini bisa dilakukan oleh siapapun, tetapi tidak dilakukan oleh setiap orang, apa lagi orang sedang ‘mabuk’.

Walaupun secara pribadi Gus tf maupun Iyut telah menemukan cara terbaik mereka untuk berkarya, namun kegelisahan mereka belum berakhir, karena bagi mereka dan tentu juga bagi kita semua harus ada generasi berikutnya dalam ranah sastra khususnya dunia sastra di Sumatera Barat ini yang juga mestinya terselamatkan dari apa yang diistilahkan oleh teori sebagai kolonialisasi dunia kehidupan.

Kalau di era-era sebe­lumnya dunia sastra mengalami kolonialisasi oleh penjajah, penguasa dan media yang semuanya berbau ‘anyir’ oleh keringat kesusahan dan derita maka era sekarang kolonialisasi itu berupa kemudahan-kemudahan yang memabukkan. Banyak orang yang mau membagi-bagikan uang (yang saya maksud di sini kaum kapitalis, bukan bantuan ikhlas seorang teman seperti hubungan dalam pergaulan tradisional), asal penulis sastra mau menampung tangan. Banyak sumber-sumber data gratis di internet. Banyak pula alat teknologi yang murah, lalu apa lagi? Ya, apa lagi? Bukankah semua ini sesuatu yang rasional? Penulis butuh uang untuk berkarya bukan?

Ya, disinilah titik tolaknya penjajahan itu. Kolonialisasi pikiran manusia modern oleh paham rasional instrumental. Wajarkan? Kita butuh uang untuk hidup. Begitulah gaya berpikir orang modern yang jika kita ikutkan tentu hasilnya seperti keadaan yang sekarang.

Yang mahal itu adalah kesadaran. Ya, kesadaran. Lalu bagaimana membangun kesadaran yang bukan bersifat individu seperti yang telah dilakoni oleh Gus tf dan Iyut?

Lalu obrolan hari Jumat itu ditutup pada titik kesimpulan bahwa diperlukan upaya untuk membangun kesadaran kolektif di kantong-kantong sastra yang ada. Harus ada yang bergerak ke arah membangun kesadaran tersebut, sehingga terbangun iklim berkreatifitas yang sehat dan bebas dari tekanan yang kemudiannya diharapkan juga melahirkan karya-karya orisi­nil. Siapa yang bisa diha­rapkan melakukan gerakan tersebut? Lalu bagaimana pula cara melakukannya? Titik-titik pembicaraan be­rikutnya pada ranah yang lebih luas saya harap bisa member jawaban. Semoga!

*) Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Universitas Andalas