Donny Syofyan *
harianhaluan.com 24 Juni 2012
Sejak tahun 1970-an, ras dianggap sebagai konsep sosial, budaya dan politik yang sebagian besar didasarkan pada penampilan luar yang dangkal dan semu. Gagasan tentang ras ditanggapi secara emosional sehingga diskusi-diskusi objektif tentang signifikansi ras dalam kaitannya dengan isu-isu sosial menjadi sulit. Setidaknya, ada tiga teori sastra penting dalam upayanya mendefinisikan kembali istilah ‘ras’. Tulisan ini mencoba untuk mendefinisikan konsep terkini tentang ras di antara kebudayaan warga kulit hitam Amerika (African-American) dan gagasan-gagasan ras lainnya yang telah terbentuk sepanjang konfigurasi teori-teori postmodernisme, feminisme dan postkolonialisme.
Postmodernisme adalah sebuah terma yang kompleks yang muncul sebagai bidang kajian sejak pertengahan 1980-an. Pada dasarnya, postmodernisme tidak mungkin hadir dengan satu definisi tunggal, meskipun konsep ini dalam totalitasnya adalah gerakan dalam bidang seni, musik, sastra dan drama yang mencoba menolak ide-ide modern era Victoria. Gerakan ini memberi sumbangan munculnya kesadaran bahwa seni tidak memiliki makna tunggal dan membalikkan pelbagai masalah dengan batas-batas budaya dan bahasa yang terlepas dari makna seni, nilai dan kebenaran. Kini postmodernisme masih menjadi state of mind bagi kebanyakan orang di tengah keniscayaan era multi-budaya. Postmodernisme rasial mengarahkan perhatian kepada pemahaman tentang batas-batas kelas, gender dan ras. Upaya memahami rasisme secara serius mengharuskan orang untuk menghiraukan nasib ras berwarna kelas bawah, yang sebagian besar adalah kulit hitam. Bagi warga kulit hitam di Amerika, kondisi postmodern ditandai dengan kelanjutan displacement dalam lingkungan sosial dan keputusasaan.
Meningkatnya pembagian dan diferensiasi kelas telah menciptakan rasisme terhadap kelas menengah kulit hitam hingga ke level terkendalanya mobilitas sosial. Pada saat yang sama, ini juga membuat masyarakat hitam kelas bawah melakukan resistensi yang termanifestasi lewat kecanduan obat bius, penyalahgunaan alkohol, pembunuhan dan aksi bunuh diri. (Biddiss: 17). De-industrialisasi melipatgandakan penderitaan kelas pekerja warga kulit hitam. Sayangnya, sedikit sekali intelektual kulit hitam yang berbicara atau menulis tentang postmodernisme. Dalam bukunya The Post-Modern Condition , JF Loytard mengemukakan kurangnya pengakuan kehadiran warga kulit hitam oleh para teoritisi postmodernis dan perlawanan masyarakat kulit hitam terhadap hubungan nyata antara postmodernisme dan pengalaman mereka. (Loytard: 24). Dampak keseluruhan dari kondisi postmodern adalah bahwa banyak kelompok etnis lainnya berbagi keterasingan mendalam, keputusasaan, dan ketidakpastian seperti warga kulit hitam. Terlepas dari kenyataan bahwa masyarakat menjadi lebih beragam, dunia kini menjadi lebih toleran terhadap kelompok budaya, agama dan ras yang berbeda dalam masyarakat.
Pada dekade 1960-an, feminisme mengklaim bersuara untuk semua kaum perempuan dari berbagai ras, warna dan kelompok etnis. Teori feminis menginginkan reformasi sosial dan politik serta menyatukan perempuan guna mengubah posisi mereka dalam masyarakat. Sayangnya gerakan ini sepenuhnya bukan gerakan politik dan sosial total karena gerakan terbukti mengucualikan kelompok-kelompok minoritas seperti perempuan kulit hitam, lesbian dan kelas pekerja perempuan. Ini berdampak terjadinya penyempitan gerakan dan teori feminisme menjadi sekelompok kecil perempuan elit kulit putih. Banyak pihak yang telah direkrut mendapati gerakan dan teori feminisme tidak responsif terhadap pengalaman hidup mereka. Perasaan tersebut menguat lantaran sekolah-sekolah tinggi yang mendidik perempuan kelas menengah kulit putih mendominasi isu perempuan, tanggapan, metode dan cara berbicara yang diklasifikasikan sebagai “feminisme” tanpa menggambarkan pengalaman perempuan-perempuan non-kulit putih dari kelas bawah. (Tong 56). Ada kesadaran di kalangan kelas menengah feminis kulit putih bahwa kelompok-kelompok feminis tersebut perlu memasukkan semua wanita. Kesadaran ini mendorong kelompok-kelompok feminis tersebut memasukkan perempuan non kelas menengah dan non kulit putih ke dalam gerakan mereka.
Dalam perkembangan teori feminisme, satu hal penting yang tak bisa diabaikan adalah unsur universalimse palsu. Menurut Jane Flax, universalisasi semu adalah pembentukan generalisasi yang secara keliru mengasumsikan dan tidak menandai ras, kelas, gender atau orientasi seksual dari kelompok yang sedang dibahas serta menerapkan seperangkat asumsi tentang suatu kelompok untuk semua anggota dalam kelompok itu (Flax: 21). Gelombang kedua feminisme pada tahun 1964 melarang diskriminasi lapangan kerja atas bias jenis kelamin, ras, agama dan asal usul. (Flax: 24). Sebuah gerakan pembebasan dibentuk dan disebut New Left yang memusatkan diri pada pembebasan wanita kulit hitam. Sebagai dampak dari gelombang kedua ini, teori feminis tidak lagi berkonsentrasi kuat pada ras, kelas dan seksualitas tetapi lebih kepada pada penindasan perempuan atas dasar gender. Kesetaraan gender seharusnya menjadi pedoman bersama semua pihak untuk reformasi, dan tidak menjadi eksklusif untuk kelompok tertentu. Sayangnya, baik gelombang pertama dan gelombang kedua gagal menyatukan semua perempuan. Ini telah menyebabkan percekcokan yang tak bisa duperbaiki lagi antara ras, kelompok sosial dan kelas. Ini bisa menjadi penjelasan bagi perkembangan teori feminsime hari ini.
Pada tahun 1990 muncul pergeseran sikap terhadap para penulis postkolonial, yang menjauhkan diri pengaruh Eropa (Barry: 193). Sastra postkolonial memotret berbagai pengalaman dalam konteks masyarakat campuran yang mewakili kelompok-kelompok etnis yang berbeda (Ashcroft: 2). Pintu telah dibuka ketika sastra postklonialisme menyajikan dunia sebelumnya yang terabaikan tradisi Afrika semisal berdongeng. (Ashcroft: 8). Teori postkolonial, seperti panggung untuk teater, berguna sebagai panggung guna menyewa si aktor yang akan memainkan peran mereka. Tapi persoalan baru tetap muncul dan problematis, kecuali bagi orang yang dapat belajar untuk beradaptasi dalam konteks modern. Menimpakan kesalahan pada sindrom postkolonial pada penyakit negara-negara yang masih bergulat dengan dampak penjajahan tidak akan mengatasi masalah. Memutar ulang jam untuk mencegah kolonialisme jelas mustahil. Karenanya, negara-negara berkembang harus melihat setiap masalah dalam konteks modern (Saro-Wiwa: 89) Masyarakat harus terlebih dahulu memiliki pemahaman tertentu untuk situasi yang dihadapi.
Mengingat postkolonialisme dan eksposur terhadap budaya Barat telah menyebabkan banyak perubahan di masyarakat Afrika, orang didorong masuk ke dalam pengalaman baru yang tidak bisa mereka pahami lewat tradisi lama. Masyarakat Afrika harus melihat ke dalam untuk menemukan sisa-sisa kolonialisme yang terus membahayakan mereka dan menemukan hal-hal menguntungkan di dunia baru itu. Hal membahayakan dari postkolonialisme adalah sikap acuh tak acuh masyarakat terhadap situasi yang mereka hadapi. Orang lebih suka menyalahkan kelompok lain, termasuk kaum postkolonialis, atas masalah yang ditemui dan jarang mencoba memahami bahwa mereka perlu berbuat dan menolong diri sendiri. Secara kolektif, teori postmodernisme, feminisme dan postkolonialisme telah menyumbang pada evolusi definisi “ras”. Teori-teori ini melampaui batas-batas etnis dan budaya dan membawa cara baru untuk mendekati musik, seni, sastra dan masyarakat. Koeksistensi dan kerjasama damai harus mulai dari apa yang menjadi akar budaya dan terletak jauh di dalam hati dan pikiran manusia. Ini lebih krusial di atas pendapat politik, keyakinan, apatisme atau simpati yang acap mengabaikan transendensi diri dan harmonisasi di dalam dan luar diri seseorang.
*) Dosen Sastra Inggris FIB Unand