Gerakan Paderi dan Puifikasi Islam

H Marjohan *
www.harianhaluan.com, 10 Nov 2013

Dalam sebuah Hadits yang shahih lagi mutawatir, Nabi Muhammad SAW bersabda: al-Islamu ya’lu wa la-yu’la ‘alaihi (Islam itu unggul dan tidak satu pun ajaran yang mampu menandingi keunggulan Islam). Namun, ketinggian Islam akan tetap bertengger di awang-awang bila umatnya enggan membawa turun ke peradaban bumi. Melangitkan yang menggeliat di pelataran bumi serta membumikan yang bergelayut di langit (wahyu) itulah gawe pokok pemuka Islam. Dalam satu kali tarikan nafas: disebut tajdidu fi al-Islam! (pemba(ha)ruan/purifikasi Islam

Khusus di Minangkabau secara kultural dan Sumatera Barat secara provinsial, gerakan pembaruan pemikiran al-Islam telah diretas oleh “Tiga Serangkai”nya tanah Minang: Haji Miskin, Haji Soemanik dan Haji Piobang sejak 1803-1821 M. Dalam sejarah, langkah yang mereka ayunkan disebut Gerakan Paderi generasi pertama. Sasok-jarami/Bengkalai yang mereka wariskan, diulas Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Tambusai dan Tuanku Rao (1821-1837). Sejarawan cenderung mengistilahi Gerakan Paderi generasi kedua. Baik generasi pertama maupun kedua berhadapan dengan syirik peninggalan jahiliah sebagai rimah-rimah Agama Hindu, sekitar abad ke-7 M. Yaitu apa yang disebut animisme, dinamis­me dan totemisme. Lebih dikerucutkan, komunitas Islam di daerah ini terkon­taminasi pemikiran-pemikiran irrasional.

Misalnya (1), mempercayai capak-capak baruak (mantra/magig) yang dilafazkan dukun; (2), ayam, keris, pisau dan sejenisnya yang telah ditapuang-tawa(r)i sang dukun tadi dipandang kiramaik (bertuah) dan punya kekuatan supra-natural); (3), murai berkicau di suyuak/di sudut rumah, pertanda Malaikat Izrail bakal mencabut nyawa ahlu al-bait;(4), andai bencana menyapu sebuah komunitas semisal di taratak, dusun dan nagari diantisipasi dengan: Ratik tolak bala; (5), orang-orang tertentu semisal guru mengaji, dukun dan lainnya cenderung di-kultus individukan. Sisa air yang direguknya diperebutkan serta titah yang digulirkan tak boleh ditantang seujung kuku pun kalau dilanggar bisa-bisa katulahan (tidak hormat secara budaya); dan pemikiran-pemikiran mistikal lainnya yang berkecambah di daerah ini.

Syirik Modern

Akan tetapi kita yang hidup di zaman modern yang kian menapak maju sekarang justru berhadapan dengan syirik modern dengan segala bentuk dan manifestasinya. Diperbudak hawa nafsu berarti memosisikan hawa nafsu sebagai tuhan terutama nafsu lawwamah (nafsu binatang). Betapa segelintir masyarakat di kota dan di nagari ingin jadi orang kaya (milioner) secara mendadak. Indikasinya? Selain keranjingan togel/toto gelap, porkas dan sejenisnya yang bernama pencurian berupa: mengicuh, menyikat, menyikut, menepak, menipu dan menepong serta maling dan merugikan pihak lain semakin bernanah berdarah di negeri ini.

Kalau tempo doeloe yang namanya si pemaling akrap benar dengan peralatan tradisional. Sebut saja, ladiang/pedang, kampak, pisau, linggis dan sejenisnya. Namun sekarang—sebagaimana diberitakan mass media cetak dan elektronik, si perampok justru bergelut dengan setumpuk peralatan/cara-cara canggih semisal pistol, bius, hipnotis, komputer dan lainnya. Modus overandi yang dimainkan juga cukup beragam lagi bervariasi. Sebut saja manggadabiak (mengancam) karyawan bank pakai pistol agar menyerahkan kunci brankas: menguras uang yang ada dalam brankas/”kotak” ATM; mengacungkan senjata pada pedagang sembari menyikat habis assetnya yang bejibun. Atau belakangan ini menyuruh: mentransfer uang ke rekening tertentu sembari mengepit kepala harimau: mengelabui kita dengan mengatas namakan pejabat tinggi pusat, provinsi dan kabupaten/kota; dan kiat-kiat lain yang membuat orang jadi bangkrut.

Tidak cuma di kota-kota pelbagai kasus pencurian juga sangat menggalaukan di komunitas kampung. Hati siapa tak terenyuh, berdalih(l) kebebasan di alam reformasi sebagian masyarakat tergelicik malanyak dan malanyau (menghabisi) kebun: kakau, cengkeh, buah pala, kulit manis, serta kebun sawit dan lainnya secara illegal. Khusus yang disebut penghabisan (sawit) karena investor mempercayakan keamanan areal pada pihak keamanan setempat—ujung-ujungnya berkelabatlah bentrok fisik antara pejabat berseragam dengan rakyat. Dan, yang membuat kening berkarut-marut konflik vertikal dan horizontal tersebut ada yang berakhir dengan el-maut lantraran dengan alasan membela diri: petugas melakukan apa yang disebut: tembak di tempat! Kondisi merisaukan ini kerap mencuat ke permukaan di daerah sawit. Sebut saja Pasaman Barat, Agam, Sijunjung, Darmasraya dan Solok Selatan. Sekali lagi tergila-gila dengan rayuan dunia (hubbub ad-dunya), apalagi dengan cara tidak sehat berarti menduakan Tuhan. Dan, pada hakikatnya itulah yang dusebut syirik modern.

Krisis Kepemimpinan

Lalu pertanyaan menggelitik! Kenapa sebagian masyarakat nekat memburu harta dengan cara-cara tidak halal? Selain kian menipisnya kesadaran beragama—juga mencontoh kakobeh dan kurenah segelintir elite politik di Tanah Air. Bukankah budaya paternalistik masih dikepit masyarakat kian ke-mari. Satu adagium mengatakan: andai guru (baca: pemimpin) kencing berdiri-maka murid/rakyat kencing berlari.

Sigilah! Betapa sebagian petinggi negeri bersilantas angan benar menilep uang negara. Nyaris tiap hari kita disuguhi berita baik mass media cetak maupun elektronik: bahwa para juragan negeri tergelincir ke dalam lumpur materialisme, konsumtifme, pragmatisme dan hedonisme. Yang menyergap sebongkah hati mereka dalam rentang waktu 24 jam: bagaimana menimbun harta sebanyak mungkin. Bukan buat satu keturunan bila perlu mampu membiayai tujuh dinasti. Dan, yang membuat kita terhenyak-bengong obsesi memperkaya diri (self oriented), memperkaya kelompok dan kroni itu tidak hanya melanda habitus eksekutif dan legislatif—tapi pihak yudikatif pun tidak kalah nekadnya.

Walau lima belas tahun sudah reformasi bergulir di Tanah Air namun yang bernama suvremasi hukum yang disorakkan ketika membidani reformas dan demokratissi, pada 1998 lalu, terkesan masih diselimuti diskriminatif dan polaritatif. Indikasinya? Pencuri sepasang sandal jepit terpaksa berurusan dengan aparat hukum. Sedang si perampok uang Negara dalam jumlah gadang-badagok (amat banyak) dibiarkan bebas melenggang kian ke-mari.

Dan, yang membuat kening berkarut-marut aparat hukum sejak dari gerbang pertama (polisi) sampai lorong terakhir (hakim) sepertinya terpengap dalam kepompong sempit berpikir sehasta ke muka. Hati siapa tak terenyuh, kalau seorang Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Muchtar—menyandang prediket tersangka menerima uang suap. Pasalnya? Konflik yang menggelembung pasca Pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Lebak Baten yang dibawa ke institusi yang dibiduki Akil Muchtar tersebut. Konon tarif untuk sengketa Pilkada Bupati/Walikota harganya sekitar dua milyar. Sedang sengketa Pilkada Gubernur: lima milyar. Nah! Bukankah ini namanya hukum bisa dibeli bagi yang berkantong tebal!

Selain itu, gaji besar sepertinya bukan sebuah jaminan seseorang/sekelompok orang untuk tidak dgerogoti virus dan wabah korupsi. Bukankah gaji seorang Ketua MK mencapai angka Rp. 40 jua/bulan. Dan, jumah sebanyak itu masih ditukuk tunjangan jabatan sebanyak Rp 9 juta. Lalu kenapa Akil masih tergiur uang sogok? Dalam pendekatan tashauf Islam itulah yang dinamai al-qalb al-marid. Maksudnya? Penyakit hati berupa: serakah, tamak serta tak pernah merasa kenyang. Dan, pada hakikatnya kangker hati semacam itu benarlah yang sedang berjangkit dan menular di negeri ini. Sehingga yang bernama KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) bukannya semakin mampu diminimalisir tapi malahan kian berkecambah.

Memosisikan Hukum sebagai Panglima

Dalam satu adagium dikatakan: Andai politik diposisikan menjadi panglima, like and dislike maka sebuah Negara cepat atau lambat bakal hancur berkeping-keping. Tapi, kalau hukum dijadikan sebagai panglima, maka sebuah Negara akan aman, sejahtera dan sentosa. Makanya ke depan bahkan sekarang juga—yang namanya hukum di negeri ini harus ditegakkan dan dijunjung tinggi tanpa diskriminatif, polaritatif dan tebang pilih.

Dan, dalam kerangka ini akan lebih afdal kita camkan ke petala hati sepenggal hadits Nabi Muhammad SAW: “kehancuran umat di masa lalu, karena membiarkan si pencuri kakap bergentayangan di mana-mana, dan menghukum si pemaling kecil (shaghir) dengan hukuman berat. Andai si jantung hatiku, Siti Fatimah tertangkap basah mencuri, pasti Aku potong tangannya” (laqa­tha’­ta yadaha/Hadits shahih & mutawtir).

Khatimah! Supaya yang bernama syirik baik yang berkategori klasik (salafiyah) maupun yang bermodel syirik modern/kontemporer (khalafiyah) sebagaimana disinggung di muka, maka sejatinyalah pemuka agama kita (Rijalu ad-Din) melakukan pembaruan pemikiran Islam. Tegasnya, sebelum NKRI ini lumat dan hancur berkeping-keping sudah tiba saatnya kita menelusuri, mengaktualisasi plus mengap­likasikan purifikasi Islam yang diretas oleh sutradara Paderi tempo doeloe. Semoga!

*) Pemerhati Sosial-Budaya

Bahasa »