Yetti A. KA
harianhaluan, 16 Okt 2011
Era globalisasi memiliki relevansi dengan kebebasan berekspresi. Pada zaman ini orang-orang merayakan kediriannya dengan bermacam-macam cara. Keadaan ini ditunjang pula oleh akses informasi dan fasilitas yang tersedia, terutama di kota-kota besar. Orang-orang dengan mudah mendapatkan apa yang ia inginkan. Situasi ini dijawab oleh hadirnya berbagai teknologi sebagai pendukung euphoria itu.
Salah satu teknologi yang paling digemari masyarakat adalah televisi. Televisi jelas memiliki daya tarik luar biasa, di samping menimbulkan pengaruh yang tidak bisa dianggap sepele. Dari televisi orang bisa mengetahui dunia lain tanpa perlu datang ke sana. Televisi juga bisa membuat orang berada pada ketaksadaran yang mengasyikkan, tempat di mana orang melupakan rasa sakit; kemiskinan, pengangguran, harga-harga sembako yang mencekik, dan biaya sekolah yang mahal (dalam iklannya boleh gratis).
Daya tarik televisi pun dibuat sedemikian rupa dengan program-program siaran yang selalu berganti sesuai selera pasar atau tergantung dari jenis siaran apa yang paling disukai. Keseragaman tidak bisa dihindarkan. Antara stasiun televisi saling mengintip dan mencontek. Lalu hasil kerja ‘kilat’ dari proses dangkal itulah yang disodorkan pada penonton.
Penonton perempuan jelas menjadi salah satu pertimbangan dalam meluncurkan program-program televisi. Apalagi disinyalir ibu-ibu rumah tangga merupakan kelompok yang paling banyak menghabiskan waktu di depan televisi. Karena itu juga televisi berlomba-lomba membuat acara gosip dan sinetron. Star dalam Brooks (2009: 273) berpendapat:
karena kita benar-benar menandai pengondisian, subjek laki-laki dan perempuan memiliki posisi berbeda dalam hubungannya dengan semua wacana ini. Konvergensi wacana di dalam suatu teks dan posisi subjek yang ditawarkan pemirsa menandai opera sabun dan opera olah raga sebagai sesuatu yang diarahkan pada gender.
Wacana feminin jelas membuat penonton perempuan merasa menemukan dunianya dalam program televisi. Dalam acara gosip, misalnya, hasrat ibu-ibu dalam hal ‘membicarakan orang lain’ menjadi terpenuhi dan terpuaskan. Hiburan semacam ini bukan tanpa maksud. Semua itu jelas-jelas dikondisikan pada konstruksi gender yang terbangun dalam masyarakat tentang perempuan yang lebih banyak bicara daripada berpikir. Pembedaan itu dalam teori feminis (Humm, 2002) dikatakan sebagai pengontrolan dan pengeksploitasian atas perempuan dengan mengasosiasikan perempuan dengan tubuh (perasaan, organ-organ) dan laki-laki dengan pikiran.
Reality show Antara Kenyataan dan Kepalsuan
Di tengah maraknya acara gosip dan sinetron, hadir pula program reality show. Keunggulan reality show dibanding program lain adalah kemampuannya melibatkan emosional penonton yang seolah-olah melihat pengalamannya sendiri dalam tayangan itu. Orang miskin bisa melihat kemiskinan yang begitu dekat dengannya sekaligus membangun mimpinya melalui tayangan Bedah Rumah (RCTI, ) dan Tukar Nasib (SCTV ). Atau juga perempuan dewasa merasa memiliki pengalaman yang sama dengan seorang perempuan yang sering disakiti pasangannya dalam acara semacam Masihkah Kau Mencintaiku (RCTI) dan Orang Ketiga (Trans TV) atau kisah pencarian tentu saja jalan ceritanya berbelit-belit, dan karenanya semakin membuat penasaran—terhadap seseorang dari masa lalu di program Termehek-Mehek (Trans TV).
Reality show seringkali membuat penonton ikut menangis dan larut dalam suasana yang diciptakan. Maka unsur keharuan dibuat sedemikian dramatis. Dalam acara Tolong (RCTI), misalnya, seseorang yang telah melakukan pertolongan akan mendapat ‘ganjaran’ sejumlah uang. Tapi itu juga tidak gratis. Ia harus melakukan adegan menangis dan memperlihatkan rasa bersyukur kepada Tuhan berkali-kali, kemudian diminta berlari-lari pulang untuk mengabarkan keberuntungan itu kepada keluarga yang lain sembari terus menangis. Di sinilah, kehidupan tampak tak jelas lagi, mana yang nyata mana yang reality show. Batas itu mejadi samar. Dan tidak begitu penting lagi untuk dipikirkan.
Bergerak keluar dari masalah kemiskinan dan kesedihan, muncul reality show yang sedikit menghibur dan memamerkan perempuan-perempuan cantik, yaitu Take Me Out (Indosiar). Penonton diajak menyaksikan perempuan-perempuan dari berbagai profesi bersaing dalam memilih pasangan, secara terbuka dan blak-blakan. Tayangan itu, ternyata, tidak juga semata-mata sebagai ajang cari jodoh, perempuan-perempuan itu terkadang punya motif yang berbeda, antara lain ingin menunjukkan bakat bernyanyi atau akting sambil berharap ada rumah produksi yang melirik mereka.
Tidak heran jika kemudian demam reality show serupa itu merupakan perayaan dua hal sekaligus, yakni kesediaan perempuan menjadi objek, sekaligus subjek. Dua kenyataan yang juga mulai kabur maknanya, apakah ia sebagai tubuh yang ada dalam realitas atau reality show. Dalam hal ini peran industri pertelevisian menjadi tak terbantahkan dalam memberi ruang-ruang ekspresi yang ambiguitas bagi perempuan, terlepas ada yang suka atau tidak.
Persoalannya, bagaimanakah hubungan perempuan dan televisi (reality show) dalam kaca mata posfeminis?
Gerakan Perempuan dari Feminisme ke Posfeminisme
Perempuan dikatakan oleh kaum feminis gelombang kedua (tahun 60-an) sebagai makhluk yang tertindas dan sub-ordinat. Dengan kata lain Fromm (2002: 174) mendefinisikan hubungan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan adalah sebuah hubungan antara sebuah kelompok yang menang dengan kelompok yang dikalahkan. Menyikapi kenyataan itu maka sejumlah gerakan feminis menginginkan pengakuan yang sama, baik hak dan kesempatan, antara laki-laki dan perempuan. Perjuangan mereka kemudian diarahkan pada bagaimana perempuan dapat merebut ruang-ruang (publik) yang selama ini hanya ditempati kaum laki-laki. McNeil dalam Brooks (2009: 42) mengatakan:
Perempuan yang melahirkan feminisme gelombang kedua, dapat dianggap sebagai anak perempuan dari pencerahan, di mana mereka dipandang mewarisi beberapa asumsi pencerahan. Di awal hari-hari keras pada penghujung 1960-an dan 1970-an, mereka menciptakan gerakan yang memegang janji bagi pengetahuan tentang relasi gender yang lebih baik dan meningkat, dan melalui pengetahuan ini—pembebasan perempuan. Pengetahuan dan pembebasan dianggap sebagai tujuan yang terus meningkat dan saling berhubungan: sejauh perempuan memperoleh pengetahuan yang lebih tentang posisi mereka di dunia, diduga bahwa kuasa mereka untuk mentransformasikan posisi mereka akan meningkat selaras dengan hal tersebut.
Brooks (2009: 42) menjelaskan bahwa strategi kunci yang dipakai oleh feminis pada gelombang kedua ini dirancang untuk mengungkap sifat dasar patriarki dan penindasan serta untuk membangun ruang-ruang khusus bagi perempuan.
Feminisme jelas datang dari Barat (Eropa). Kadang kala, dalam memandang persoalan perempuan, cenderung men-general-kan persoalan. Patron yang dipakai juga dari kehidupan perempuan kulit putih, kelas atas, atau paling tidak terpelajar. Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah akan sama masalah yang dihadapi antara perempuan Eropa dan Asia (Apalagi Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis)? Jelas berbeda. Dan apa mungkin memakai pisau yang sama dalam menyikapi kondisi-kondisi yang berbeda itu? Contohnya saja, bagi perempuan kulit berwarna (Afrika) relasi antara laki-laki dan perempuan belum tentu sama dengan yang ada di Prancis atau Amerika. Belum lagi jika membicarakan perempuan-perempuan di ‘dunia ketiga’ lainnya yang barangkali memiliki prioritas berbeda untuk diperjuangkan.
Kesadaran akan adanya perbedaan membuat feminism mendapat tantangan dari dalam maupun dari luar gerakan itu. Dari sana lahir posfeminis, dapat dilihat dalam analisis Faludi (dalam Alice) yang dikutip Brooks (2009: 5):
Pada tahun 80-an penerbitan dari New York Times hingga Vanity Fair sampai The Nation telah mengeluarkan berkas-berkas tuduhan yang senantiasa melawan gerakan perempuan, dengan kepala berita seperti ‘KETIKA FEMINISME GAGAL’ atau ‘KEBENARAN YANG MENGERIKAN TENTANG PEMBEBASAN PEREMPUAN.’ Mereka menganggap, kampanye untuk persamaan hak perempuan bertanggung jawab pada hamper semua kesengsaraan yang mengungkung perempuan, dari depresi sampai kekurangan tabungan, dari bunuh diri remaja ke penyakit ketidakteraturan makan sampai corak kulit yang buruk…Tetapi, apa yang membuat perempuan tidak bahagia pada dekade terakhir ini bukanlah soal ‘persamaan’ mereka yang belum mereka miliki melainkan meningkatnya tekanan untuk menghentikan, dan bahkan membalikkan, pencarian perempuan terhadap persamaan.
Posfeminisme telah melakukan serangan balik pada feminisme dengan mengedepankan adanya perbedaan dan menolak slogan persamaan. Selain itu posfeminisme, seperti juga gerakan postmodern yang dikatakan Lyotard (2003: xxvi) sebagai ketakpercayaan terhadap metanarasi, adalah suatu tindakan yang tidak menginginkan ukuran-ukuran yang kaku, bahwa perempuan harus begini dan tidak boleh begitu. Maka hadirlah fenomena perempuan-perempuan yang fashionable, genit, smart tapi santai, dan tentu saja eksis dalam berbagai bidang keilmuan tanpa harus berteriak-teriak tentang persamaan.
Perempuan dan Televisi dalam Wacana Posfeminisme
Dikotomis antara laki-laki dan perempuan dalam hal ini bukan lagi untuk membahas persoalan ordinat dan sub-ordinat sebagaimana yang digaungkan kaum feminis gelombang kedua yang menginginkan adanya persamaan, melainkan pada usaha identifikasi bahwa perempuan jelas berbeda dengan laki-laki. Perbedaan ini oleh posfeminis diperlihatkan dengan cara ia memperlakukan tubuhnya, atau menempatkan dirinya di tengah-tengah kehidupan sosial yang tanpa beban, tanpa agenda-agenda besar feminisme. Brooks (2009: 235) mengutip Bordo:
Tubuh perempuan yag benar-benar melawan bukanlah tubuh yang berperang melawan seksualisasi dan objektifikasi feminin, melainkan tubuh—sebagaimana Cathy Schwictenberg telah meletakkan hal tersebut yang ‘menggunakan simulasi secara strategis dalam cara-cara yang menantang gagasan stabil tentang gender sebagai bangunan besar perbedaan seksual…suatu politik erotik yang di dalamnya tubuh perempuan dapat diubah kembali dalam perubahan identitas yang terus-menerus yang berbicara dengan gaya yang plural.
Bordo mengambil contoh seorang Madonna yang menampilkan suatu model heteroseksual perempuan yang independen dari semacam kontrol patriarki. Ia memiliki seksualitas yang menegaskan ketimbang menolak tatapan laki-laki, menggodanya dengan tatapannya sendiri secara (sengaja) tak bermutu dan vulgar, menantang siapapun yang memanggilnya pelacur (Brooks, 2009).
Televisi jelas berperan penting dalam kehidupan seorang Madonna. Melalui televisi Madonna dikenal oleh jutaan orang di dunia. Secara tidak langsung televisi menjadi media perlawanan Madonna terhadap nilai-nilai yang mapan.
Tubuh yang menggoda ala Madonna, juga tampak pada kegenitan perempuan-perempuan dalam berbagai acara di televise belakangan ini. Dalam acara gosip, kehidupan artis dikupas sedemikian rupa lengkap dengan prilaku atau kesalahannya. Si artis sendiri, meski tampak terganggu, tapi membiarkan dirinya disorot kamera dan mengeluarkan macam-macam ekspresi. Sementara, perempuan yang menonton acara itu, merasa punya kepentingan untuk mengetahui kebenaran atau pembelaan si artis. Bahkan ia melibatkan emosinya dengan bersungut-sungut di depan televisi jika artis kesayangannya diberitakan yang tidak-tidak.
Pengarahan atau pengondisian ini lebih dahsyat lagi terjadi pada acara reality show. Tubuh-tubuh perempuan, baik sebagai tubuh fisik maupun tubuh sosial, meluapkan kefemininan yang selama ini terkungkung dalam batas-batas antara pantas dan tidak pantas.
Perempuan dalam reality show, mewakili banyak kepentingan. Di sana ada nilai ekonomi dan gerakan sosial. Sebagai gerakan (posfeminisme), perempuan-perempuan itu berupaya menunjukkan keberadaan mereka kepada publik yang selama ini ditutup-tutupi atau ditahan-tahan. Perempuan tidak harus lagi tampil setegas laki-laki, tapi memilih menjadi dirinya sendiri. Kefemininan yang alami, manis, dan ekspresif. Televisi mengambil kesempatan itu untuk memenuhi hasrat perempuan tampil lepas. Sebuah simbiosis mutualisme yang saling menghendaki.
***