Toeti Adhitama *
Media Indonesia, 6 Agu 2010
“Menurut Descarte, membaca dan membicarakan buku yang bagus seperti bercakap-cakap dengan orang-orang hebat dari abad-abad terdahulu.” Kata-kata itu diucapkan penyair Taufiq Ismail hari Minggu lalu, dalam sarasehan antarkerabat menjelang Ramadan. Descarte, filosof Prancis (1596-1650), terkenal dengan ungkapannya “Cogito Ergo Sum”. Kira-kira artinya: karena saya berpikir maka saya hadir.
Dalam pertemuan santai itu, Taufiq yang diminta memberikan santapan rohani, merasa lebih pas membacakan puisinya. Isinya tentang masalah budaya yang meminta perhatian kita, yakni soal buku bacaan dan bahasa. “Saya merindukan acara diskusi buku untuk siswa-siswa SD-SMP-SMA di semua TV kita,” katanya lebih lanjut. “Buku harus menjadi kampak untuk menghancurkan lautan beku di dalam diri kita,” sambungnya, menyitir Oliver Wendell Holmes (1841-1935), ahli hukum Amerika terkemuka di zamannya.
Bukan menggantang asap
Taufiq Ismail dan istrinya konsisten dengan yang mereka cita-citakan. Satu tahun lalu mereka mendirikan rumah puisi di Desa Aie Angek, di kaki Gunung Singgalang dan Gunung Merapi, 6 km dari Padang Panjang. Di situ tersedia perpustakaan dengan 7.000 judul buku; selain tempat pelatihan membaca buku dan menulis bagi guru dan murid SMA. “Mengejar ketertinggalan 60 tahun,” katanya. Rumah Puisi juga menyediakan cottage untuk penulis tamu dari luar Minang. Mereka bisa menikmati alam, merenung dan menulis 2-3 minggu.
Bersama para sastrawan dari majalah Horison, selama 11 tahun mereka sudah melatih lebih dari 2000 guru di 12 kota di seluruh Indonesia, dibiayai Kemdiknas. Dalam program yang disebut SBSB (Sastrawan Bicara Siswa Bertanya), 113 sastrawan majalah Horison sejak 1998 masuk ke 213 SMA di 164 kota, dibantu Ford Foundation. Hasilnya luar biasa. Mereka membangun 30 sanggar sastra di banyak tempat, masing-masing dilengkapi 100 judul buku, komputer, printer dan scanner. “Itulah yang membuat saya ‘pegel’(kesal), ingin melihat ada acara diskusi buku di setiap saluran tivi,” keluh penyair ternama itu.
Bahasamu, citramu
Berbicara mengenai peran media elektronik yang diharapkannya menganjurkan masyarakat membangun disiplin dan bekerja keras, Taufiq juga mempertanyakan mengapa siaran-siaran TV kita banyak menggunakan kata-kata asing, padahal ada padanannya dalam bahasa Indonesia?
Sebenarnya bila kita perhatikan, fenomena ini merambah luas. Bahkan para tokoh pimpinan kita pun mungkin merasa tidak lengkap kalau belum memasukkan kata-kata asing dalam perbendaharaan kata untuk komunikasi dengan publik. Kadang-kadang memang ada kesulitan mengekspresikan konsep asing dengan tepat ke dalam bahasa sendiri. Tetapi ada juga karena kegenitan. Gejala adopsi itu juga tampak pada nama-nama berbagai lembaga maupun gedung. Kadang-kadang berlebihan. Kedengarannya seperti bahasa ‘mestizo’- bahasa orang-orang peranakan di Amerika Barat dan negara-negara Amerika Latin.
Akibat kontak sosial, tidak ada bahasa di negara mana pun yang mampu menolak pengaruh bahasa asing. Di Inggris, misalnya, kalangan elitenya pernah suatu masa menggandrungi bahasa Prancis demikian rupa sehingga tercermin dalam novel-novel yang mereka tulis. Dialog-dialognya bertaburkan kata-kata Prancis. Gejala semacam itu akhirnya pasti berlalu, seiring dengan tumbuhnya kebanggaan akan bahasa sendiri. Sekarang bahasa Inggris yang memuat banyak kata asing itu menjadi bahasa dunia.
Yang baik dan benar
Bagaimana bahasa Indonesia yang baik dan benar? Seribu orang bisa memberikan seribu jawaban. Persoalannya, untuk sebagian besar rakyat Indonesia (60%?), bahasa Indonesia bukan bahasa ibu (mother tongue). Beruntunglah kalau para siswa SD-SMP-SMA mendapat guru-guru yang menyadari perlunya para siswa menguasai bahasa nasional dengan baik dan benar. Sayangnya, pelajaran bahasa Indonesia yang memadai umumnya berhenti di tingkat sekolah menengah. Padahal bahasa erat kaitannya dengan logika. Rasanya perlu meneruskan pembelajarannya secara intensif sampai tingkat tinggi.
Bisa jadi, lemahnya pembelajaran bahasa nasional berpengaruh besar terhadap kegemaran membaca dan menulis. Apalagi sejak tahun 1970-an, anak-anak sekolah tidak mendapat bimbingan membaca buku lagi. Mengutip hasil penelitian Taufiq Ismail waktu itu, jika siswa Indonesia membaca 0 buku, siswa Malaysia membaca 6 buku, dan siswa Amerika membaca 30-an buku. Selain itu, tradisi lisan yang berabad-abad dan mekarnya pertelevisian sejak pemerintah mendirikan TVRI tahun-tahun awal 1960-an, telah membendung kiprah perbukuan di Indonesia. Minat baca yang baru tumbuh segera mati tergusur tontonan TV. Sebelum muncul televisi, tiap tahun kita memproduksi sekitar 1.500 judul. Pemunculan TV membuatnya merosot menjadi 700. Tetapi perbaikan ekonomi dan peningkatan jumlah penduduk sempat menaikkan jumlah itu menjadi hampir 6.000 judul setahun.
Lengsernya Orde Baru dan merosotnya perekonomian mengakibatkan kebangkrutan para penerbit. Dari 626 penerbit yang tercatat di Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) waktu itu, 60% hanya menjual stok lama. Ditambah akibat kenaikan harga kertas, nasib perbukuan di Indonesia sungguh tragis. Kata orang, buku adalah jendela dunia. Jendela kita belum terbuka lebar. Banyak alasannya. Menurut Ketua Umum PP IKAPI, Setia Dharma Madjid, dengan penduduk mendekati 240 juta orang, sekarang tiap tahun dicetak sekitar 12.000 judul, diterbitkan oleh sekitar 1020 penerbit, jauh kurang dari yang diperlukan untuk pengembangan kecerdasan bangsa.
***
*) Anggota Dewan Redaksi Media Group