Kris Tina
debumalam.wordpress.com
“Maka, pada prinsipnya, sebagai penulis fiksi saya tidak bermaksud menulis fakta-fakta tentang fiksi saya sendiri untuk memperkuat fiksi tersebut, meski sebagai orang yang mencari nafkah dengan menggauli fakta-fakta, saya diwajibkan mencatat segala hal dengan terperinci, termasuk tentang fiksi __ apalagi jika itu merupakan permintaan.” (Seno Gumira Ajidarma dalam Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara; 2005)
Pendapat Seno Gumira Ajidarma di atas, menggelitik tangan saya untuk menuliskan beberapa hal mengenai sastra dan jurnalisme, karena seolah-olah Seno ingin mengatakan bahwa batasan antara sastra dan jurnalisme adalah tipis. Seno, seorang wartawan dan penulis sastra yang terkenal dengan Trilogi Insiden (Insiden Dili), seakan-akan membuktikan bahwa sastra akan lebih tinggi nilainya dan akan lebih memiliki bobot yang maksimal, ketika karya sastra tersebut diisi dan disertai dengan fakta-fakta. Hal inilah yang mendorong jurnalisme untuk turut campur tangan dalam kehidupan sastra.
Muncul beberapa pertanyaan dalam benak saya mengenai jurnalisme dan sastra. Pertama, dengan masuknya jurnalisme dalam sastra, apakah karya yang dihasilkannya akan pula menjadi sebuah fakta sejarah? Jika benar adanya, bagaimana unsur fiktif dalam sastra mampu membuat karya sastra menjadi sebuah saksi sejarah? Masihkah relevan hasilnya? Padahal, sejarah menuntut adanya kebenaran yang benar-benar nyata, tidak dibuat-buat, sehingga menjadi saksi kehidupan atau peristiwa yang telah terjadi. Sedangkan sastra, tidak mungkin hanya menyajikan fakta-fakta saja. Jika sastra hanya menyajikan fakta tanpa ada proses kreatif dari sang pengarang, maka apa yang dianggap oleh Plato benar adanya, bahwa karya tersebut tidak lebih tinggi nilainya daripada kenyataannya. Kedua, bagaimana peran jurnalisme dalam sastra dan bagaimana peran sastra dan jurnalisme dalam sejarah kehidupan manusia?
Renungan Harian Jurnalisme
Jurnalisme atau jurnalistik berasal dari perkataan journal, artinya ‘catatan harian’, atau ‘catatan mengenai kejadian sehari-hari’, atau bisa juga berarti ‘surat kabar’. Journal berasal dari bahasa Latin, yaitu diurnalis, yang berarti ‘harian atau tiap hari’. Secara etimologis,sebutan jurnalistik berasal dari kata dalam bahasa Perancis, yaitu du jour, yang berarti ‘hari’ atau ‘catatan harian’.
Mac Dougall (melalui Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumanigrat dalam bukunya Jurnalistik: Teori dan Praktik; 2005), menyebutkan bahwa journalisme adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa. Jurnalisme selalu menjadi sangat penting di manapun dan kapanpun, tanpa peduli pada perubahan-perubahan yang akan terjadi di masa yang akan datang, baik ekonomi, sosial, politik, budaya, bahkan seni sekalipun.
Sejarah jurnalistik dimulai ketika tiga ribu tahun yang lalu, Firaun di Mesir, Amenhotep III, mengirimkan ratusan pesan kepada para perwiranya di provinsi-provinsi untuk memberitahukan apapun yang terjadi di ibukota. Di Roma, dua ribu tahun yang lalu, Acta Diurna (tindakan-tindakan harian), baik itu tindakan-tindakan senat, peraturan-peraturan pemerintah, bahkan berita kelahiran dan kematian, ditempelkan di tempat-tempat umum. Selama abad Pertengahan di Eropa, siaran berita yang ditulis tangan merupakan media informasi yang penting bagi para usahawan.
Beberapa hal tersebut merupakan kunci lahirnya jurnalisme selama berabad-abad. Tetapi, jurnalisme itu sendiri baru benar-benar dimulai ketika huruf-huruf lepas untuk percetakan mulai digunakan di Eropa sekitar tahun 1440. Maka jelaslah, jurnalisme dari awal kelahirannya, merupakan sebuah tulisan yang sarat dengan fakta-fakta.
Sejarah
Saat membaca sebuah buku sejarah, yang tampak menonjol dalam buku sejarah adalah sebuah perkembangan dari masa lalu untuk kemudian diperbandingkan dengan masa kini. Perkembangan ini tentunya ada yang menuju ke arah yang lebih baik dan tak menutup kemungkinan mengalami kemunduran. Sejarah yang dimaksud di sini adalah sejarah sosial. Di dalam sejarah, termuat fakta-fakta penting sebuah peristiwa. Tidak dibuat-buat sehingga dapat dipercaya oleh publik.
Jurnalisme dan Sastra
Ketika jurnalisme berbicara dengan fakta, berbeda halnya untuk sastra yang bicara dengan kebenaran. Fakta-fakta dapat dimanipulasi dan ditutup-tutupi, tapi tidak dengan kebenaran, yang mana ia muncul dengan sendirinya. Ada seribu satu kendala dalam jurnalisme, baik itu politik maupun bisnis, namun bagi sastra, kendalanya hanya satu, yaitu kejujuran sastra itu sendiri (Ajidarma,2005:1). Kebenaran dalam sastra bak debu yang menyatu dengan udara, dapat dirasakan namun tak tergugat walaupun diberedel.
Akan tetapi, ada pendapat, bahwa dalam studi sastra menuntut adanya metode yang sesuai dengan hakikat dan kenyataan karya sastra itu sendiri. Wellek (melalui Rachmat Djoko Pradopo dalam Beberapa Teori Sastra, Metode Kririk, dan Penerapannya; 2007), mengemukakan bahwa sastra janganlah dirancang sebagai cermin atau tiruan perkembangan politik, masyarakat, atau bahkan kecerdasan manusia. Sastra hendaknya ditetapkan dengan kriteria sastra yang murni, dengan titik pangkal sastra haruslah perkembangan sastra sebagai sastra.
Maka, jika Wellek berpendapat bahwa sastra janganlah dirancang hanya sebagai tiruan saja, bagaimana mungkin sastra dapat berbicara pada pembacanya atau khalayak ramai secara hidup? Kalau sastra hanya menuangkan hasil imajinasi-imajinasi dan luapan emosi pengarangnya saja, dapat dikatakan sastra tersebut adalah sastra yang mati, tidak hidup. Ia (sastra; red) hanya akan menjadi tong sampah, omong kosong. Malahan, ada kemungkinan pengarang mengarang ceritanya hanya sebagai hasil imajinasinya saja, namun dapat benar-benar terjadi oleh karena pembaca terhipnotis dengan isi cerita tersebut. Hal ini sering terjadi dalam novel-novel populer, seperti TeenLit, CheekLit, dan sebagian novel-novel pengarang perempuan (feminis), yang sedang marak di Indonesia.
Tidak semua novel populer buruk keberadaannya. Remy Sylado, dengan novel Ca Bau Kan, mampu menuangkan fakta-fakta kehidupan orang keturunan Tionghoa di Indonesia pada akhir abad XIX. Remy Sylado, selalu menyertakan bukti-bukti otentik dalam setiap tulisannya. Inilah sastra yang baik, yang menyuarakan kebenaran dari fakta-fakta yang ada dengan melalui proses kreatif dari dalam diri pengarang. Dengan begitu, sastra tidak hanya berbicara tentang imajinasi-imajinasi saja, namun juga berbicara tentang kebenaran-kebenaran. Di sinilah peran jurnalisme dalam sastra untuk menyediakan fakta-fakta, sehingga akan dibicarakan kebenarannya oleh sastra, yang nantinya karya sastra tersebut dapat menjadi sebuah fakta sejarah. Kekuatan kehidupan sastra adalah dalam pikirannya. Dalam sejarah kemanusiaan yang panjang, kebenaran dalam sastra akhirnya menjulang dengan sendirinya, di tengah hiruk pikuk apapun itu lewat media komunikasi massa. Jurnalisme dalam sastra dapat menjadi saksi sebuah peristiwa sejarah. Karena itu, sekali lagi, sastra yang baik adalah sastra yang menyuarakan kebenaran, bukan imajinasi belaka.
DAFTAR PUSTAKA:
Ajidarma, Seno Gumira. 2005. Ketika Jurnalime Dibungkam, Sastra Harus Bicara. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.
Abdullah, Aceng. 2004. Press Relation: Kiat Berhubungan dengan Media Massa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
H.T, Faruk. 2001. Beyond Imagination: Sastra Mutakhir dan Ideologi. Yogyakarta: Gama Media Offset.
Kusumanigrat, Hikmat. Dan Kusumaningrat, Purnama. 2005. Jurnalistik: Teori dan Praktik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Rahardi, Kunjana. 2007. Bahasa Jurnalistik Tutur. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nuusatama.
Sylado, Remy. 2004. Ca-Bau-Kan: Hanya Sebuah Dosa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).