Kritik Sastra Yang Menghamba Pada Kekuasaan

Katrin Bandel *
http://boemipoetra.wordpress.com

Nothing in my view is more reprehensible than those habits of mind in the intellectual that induce avoidance, that characteristic turning away from a difficult and principled position which you know to be the right one, but which you decide not to take. (Edward Said)

Sastra adalah bagian dari dunia intelektual, dan demikian pun kritik sastra. Mengikuti harapan yang diekspresikan kritikus pascakolonial (dan kritikus sastra) Edward W. Said dalam bukunya Representations of the Intellectual (1994), para intelektual seharusnya mengambil peran yang “mengungkapkan kebenaran di hadapan kekuasaan” (speaking truth to power). Intelektual sebaiknya menduduki posisi relatif independen sehingga senantiasa dapat memandang kekuasaan – negara, pemilik modal, kekuatan-kekuatan yang dominan secara global – dengan mata kritis dan berjarak. Seperti yang diungkapkan Said dalam buku yang sama, harapannya itu sama sekali tidak selalu terwujud. Tidak jarang mereka-mereka yang seharusnya bersuara sebagai intelektual independen, ternyata malah menghamba pada kekuasaan.

Apa implikasi realitas tersebut bagi pembahasan kita mengenai kritik sastra di sini? Di negeri pascakolonial bernama Indonesia yang sangat jauh dari keadilan sosial ini, dengan pemerintah yang cenderung menghamba pada kepentingan kapitalis, intelektual kritis dan independen sangat dibutuhkan. Sastrawan dan kritikus sastra tentu termasuk golongan yang diharapkan sebagai intelektual “pengungkap kebenaran di hadapan kekuasaan”. Namun tepatnya apa kebenaran yang perlu diungkapkan itu, dan bagaimana kita menilainya? Karya sastra semacam apa yang mengekspresikan kritik sesuai dengan harapan Said itu? Pada kenyataannya, sangat tidak mudah membedakan antara karya sastra yang kritis dengan yang menghamba pada kekuasaan. Bukan hal mustahil kalau sebuah karya yang sangat sesuai dengan kepentingan kekuasaan, justru menyamar menjadi sebaliknya, yaitu karya yang kritis dan independen. Di situlah kemudian kritik sastra menjadi penting. Kritik sastra diharapkan membongkar asumsi-asumsi yang melatarbelakangi sebuah karya, serta memperlihatkan apa yang tersembunyi atau hanya disampaikan secara tersirat. Dengan demikian, kritik sastra dapat menjadi alat bantu yang sangat penting bagi pembaca kritis yang tidak ingin terbuai oleh tipuan ideologi penguasa.

Namun tentu saja kritik sastra pun tidak terbebas dari risiko yang sama yang berlaku untuk sastra sendiri. Kritik sastra pun dapat menghamba pada kekuasaan, ketimbang speaking truth to power seperti yang diharapkan. Mengingat hal itu, bagaimana kita mesti menilai kondisi kritik sastra di Indonesia saat ini? Untuk menjawab pertanyaan itu secara menyeluruh, sangat kurang memungkinkan di sini. Untuk mengakses dan menilai kerja kritik sastra yang dilakukan di berbagai lembaga di seluruh Indonesia tentu dibutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Maka pada kesempatan ini, saya memilih untuk sekadar membahas satu kasus saja, yaitu kasus sebuah buku yang sedang hangat dibicarakan di dunia sastra Indonesia, sehingga kiranya dengan membicarakan kasus tersebut, pembahasan ini dapat mewakili bukan hanya keresahan saya sendiri, namun juga keresahan cukup banyak orang lain yang terlibat di dunia sastra atau memiliki kepedulian terhadapnya.

Yang saya maksudkan adalah kasus buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh yang disusun oleh 8 orang yang menyebut diri Tim 8, di bawah pimpinan Jamal D. Rahman, dan diterbitkan Januari 2014 oleh KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). Buku setebal 734 halaman (ditambah 33 halaman yang berisi sambutan, pengantar, dsb) itu berisi esei tentang masing-masing ke-33 “tokoh sastra” yang dipandang “paling berpengaruh” tersebut. Sebagai buku yang bertujuan menilai dan membahas sastrawan dan karyanya – bahkan dengan berangkat dari penilaian tentang sastra Indonesia modern secara keseluruhan, yang berarti menilai masa 100 tahun dengan segala dinamikanya dan sekian tokohnya, untuk kemudian memilih 33 di antaranya – tentu saja buku tebal ini hadir sebagai bagian dari genre “kritik sastra”. Kritik sastra semacam apakah ini?

Sebelum memasuki buku itu sendiri sebagai teks, konteks kelahiran buku itu menarik disorot secara kritis. Konteks itu jugalah yang menjadi salah satu fokus utama gerakan perlawanan terhadap buku tersebut. Semakin lama semakin terungkap dengan jelas betapa buku tersebut lahir terutama demi kepentingan (dan atas inisiatif dan pendanaan) satu orang, yaitu Denny JA yang terpilih sebagai salah satu dari ke-33 “tokoh sastra paling berpengaruh” itu. Denny JA konon “berpengaruh” karena menciptakan “genre baru” yang dinamakannya “puisi esai”. Rahasia pengaruh itu pun makin lama makin terbongkar: sejumlah penulis yang sempat ikut menulis “puisi esai” dengan terus terang mengaku sekadar ikut-ikutan demi honor yang cukup besar, atau karena tergoda dengan besarnya hadiah yang dijanjikan dalam lomba penulisan “puisi esai”. Dan semua honor dan hadiah itu disediakan oleh Denny JA sendiri, demi kejayaan “genre” ciptaannya! Dengan demikian, sangat jelas bahwa dalam kasus ini, “pengaruh” telah dibeli dengan uang.

Berangkat dari ulasan singkat di awal esei ini tentang hubungan antara intelektual dengan kekuasaan, saya ingin bertanya: bagi Tim 8, apa hubungan antara sastra(wan) dengan kekuasaan? Pengantar mereka dibuka dengan sebuah kutipan dari John F. Kennedy yang antara lain mengatakan: “Jika kekuasaan kotor, puisi membersihkannya”. Pilihan kutipan itu, yang kemudian dengan cukup panjang lebar dibahas (dalam arti diulang dan dirayakan, bukan dikritik) dalam teks pengantar itu sendiri, cukup menarik, baik dari segi isinya maupun pilihan tokoh yang dipandang layak dijadikan rujukan.

Saat John F. Kennedy dinobatkan menjadi presiden Amerika Serikat pada tahun 1961, penyair Robert Frost diundang membaca puisi sebagai bagian dari acara penobatan itu. Frost pun menulis puisi panjang dalam rangka merayakan berawalnya sebuah masa baru, di mana nilai kemajuan dan demokrasi akan semakin jaya. “A golden age of poetry and power/Of which this noonday’s the beginning hour,” demikian kedua baris terakhir puisinya. Jelas sekali ini bukan contoh peran intelektual yang berada di posisi independen, apalagi contoh penyair yang berani speaking truth to power. Di masa perang Vietnam, dan di tengah masalah-masalah ketidakadilan sosial di Amerika Serikat sendiri (rasisme, antara lain), Frost memilih menghamba pada kekuasaan. Dan ungkapan presiden yang dinobatkan dengan cara seperti itulah dikutip dengan begitu antusias oleh Tim 8! Puisi apa yang dimaksudkannya sebagai “pembersih” kekuasaan yang kotor? Puisi yang membersihkan dalam arti menuntut penguasa untuk bertobat dari segala ketamakannya, atau sebaliknya, puisi yang justru melegitimasi kekuasaan? Puisi yang kritis dan marah akan setiap penindasan dan ketidakadilan, atau puisi yang merayakan kejayaan penguasa sehingga tampak indah, heroik dan bersih?

Semangat semacam itu kemudian berlanjut dalam pengantar yang ditulis oleh Tim 8. Menurut keterangan dalam pengantar itu, tujuan buku tersebut antara lain untuk “memperjuangkan martabat kebudayaan Indonesia yang lebih tinggi”, untuk “melengkapi bahan pembelajaran sastra di sekolah”, dan untuk menjadi “sumber informasi bersifat ensiklopedis mengenai sejarah sastra Indonesia sejak awal abad ke-20”. Di awal pengantar, dengan cukup panjang mereka membicarakan peran sastra bagi masyarakat dan negara, dengan argumen utama bahwa peran sastra sedang menurun di Indonesia, dan perlu dipulihkan lewat buku sejenis 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Namun ada hal yang sama sekali luput dipertanyakan di sini: apakah peran sastra selalu positif? Tepatnya apa yang diharapkan dari sastra? Tampaknya manfaat sastra diasumsikan begitu saja. Kritik sosial lewat sastra memang disebut dalam pengantar, namun anehnya, tradisi masa lalu untuk melegitimasi kekuasaan seorang raja atau sultan lewat karya para pujangga juga disebut dan dirayakan – tanpa sedikit pun melihat adalah pertentangan di situ. Seakan-akan Tim 8 ingin mengatakan: Asal sastra – sastra mana pun, dengan corak dan pesan apapun! – menjadi semakin jaya dan dihormati di Indonesia, maka budaya Indonesia akan semakin bermartabat.

Bagi saya, salah satu hal yang paling ganjil dalam buku tersebut adalah konsep “pengaruh” itu sendiri. Mengapa tokoh “paling berpengaruh” dianggap perlu ditentukan, dan tepatnya apa yang dimaksudkan dengan “berpengaruh”? Persoalan itu sedikit dijelaskan dalam pengantar, meskipun sama sekali tidak secara memuaskan. Ke-33 tokoh itu dipandang “memberi pengaruh dan dampak yang cukup luas khususnya pada dinamika kehidupan sastra, dan umumnya pada dinamika kehidupan intelektual, sosial, politik, dan kebudayaan Indonesia yang lebih luas”. Selain sangat abstrak (dan tidak dibuktikan dengan baik dalam esei-esei yang ada di buku itu), ada satu hal yang bagi saya sangat aneh dalam pembahasan mengenai “pengaruh” itu. Bagi saya, apabila kita berbicara mengenai pengaruh, salah satu pertanyaan utama yang perlu diajukan adalah: apakah pengaruhnya itu baik atau buruk? Namun pertanyaan itu sama sekali absen dari buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh.

Kalau absennya pertanyaan itu kita nilai sebagai usaha untuk menjaga sikap netral dan berjarak, saya rasa kita keliru. Dengan menempatkan buku mereka sebagai bagian dari sebuah perayaan sastra sebagai kekuatan penting yang akan bisa menaikkan martabat bangsa, secara implisit Tim 8 sudah memberi jawaban: pengaruh sastra(wan) selalu positif. Ini jawaban yang bagi saya sama sekali tidak bertanggungjawab. Di sini kritik sastra sudah menolak melakukan tugasnya, paling tidak apabila tugas itu kita definisikan sesuai dengan yang saya lakukan di atas dengan merujuk pada perumusan Edward Said mengenai tugas intelektual. Tim 8 menolak melihat keterlibatan sastra di tengah kotornya kekuasaan.

Apabila kita kembali pada konteks penerbitan buku tersebut yang sudah saya bicarakan di atas, penolakan untuk bersikap kritis itu sangat bisa dipahami. Apabila pengaruh dirayakan sebagai tanda sukses dan jayanya “sastra” pada umumnya tanpa mempertimbangkan masalah etika dan keberpihakan sama sekali, maka dengan mudah seorang Denny JA pun bisa menjadi salah satu dari “tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh”!

Semoga saja kasus buku ini bukan cermin kondisi kritik sastra di Indonesia secara umum. Namun meskipun tulisan-tulisan lain yang lebih kritis dan jujur tentu ada, saya rasa kehadiran buku semacam itu sangat layak direfleksikan. Seperti itukah kritik sastra yang diharapkan dan dibutuhkan di Indonesia? Ataukah tetap ada kebutuhan akan sebuah kritik sastra yang terpanggil untuk mengutamakan speaking truth to power, daripada menghamba pada kekuasaan dan pada kekuatan uang?
***

*) Katrin Bandel, kritikus sastra, tinggal di Jogjakarta.
Dijumput dari: http://boemipoetra.wordpress.com/2014/03/19/kritik-sastra-yang-menghamba-pada-kekuasaan/