Iswara N Raditya
MelayuOnline.com
Max Lane dan Pramoedya pada 1981
NAMA BESAR Pramoedya Ananta Toer memang sudah kesohor ke seluruh pelosok bumi. Lantas, bagaimana pesona Pramoedya di wilayah Asia Tenggara? Apakah jejak-jejak Pramoedya di rumpun Melayu itu juga jelas terpacak? Tema inilah yang menjadi perbincangan menarik dalam seminar bertajuk “Pramoedya Ananta Toer di Asia Tenggara” yang diselenggarakan Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) Universitas Gajah Mada (UGM), Selasa, 19 Mei 2009, yang lalu.
Seminar yang diadakan di Lantai 5 Gedung Pascasarjana UGM, Jalan Teknika Utara, Barek, Sleman, tersebut menghadirkan Max Lane sebagai pemateri utama. Max Lane adalah penerjemah karya-karya Pramoedya Ananta Toer ke dalam bahasa Inggris sekaligus pengajar di Malay Studies, National University of Singapore. Lelaki asal Australia kelahiran 16 Januari 1951 ini telah lama menekuni studi tentang Indonesia dan Malaysia sejak menempuh perkuliahan di Universitas Sydney di mana dia mendapat gelar Bachelor of Arts (Honours) tahun 1972. Selain menerjemahkan karya-karya Pramoedya, penggagas majalah Inside Indonesia yang terbit pada 1981 ini juga banyak memberi catatan atas berbagai karya penyair WS Rendra dan telah menulis beberapa buku.
Dalam uraian pembukanya, Max Lane mengatakan, tema yang diangkat dalam diskusi siang itu cukup unik dan tak biasa, di mana dia harus “membenturkan” sosok Pramoedya Ananta Toer dengan rumpun budaya dan geografis Asia Tenggara. “Kebudayaan Melayu yang tersebar di negara-negara Asia Tenggara dipersatukan oleh satu semangat yang sama, kendati dengan proses dan corak berbeda-beda, yaitu semangat melawan kolonialisme!” seru Max Lane dalam bahasa Indonesia yang nyaris sempurna.
“Kebangkitan nasional bangsa Indonesia dipengaruhi oleh semangat pergerakan bangsa-bangsa di Asia,” tutur Max Lane. Salah satunya, lanjut Max, seperti yang terjadi di Asia Tenggara yaitu perjuangan rakyat Filipina menentang penindasan Spanyol pada akhir abad ke-19. Jose Rizal, motor aksi pergerakan rakyat Filipina, menjadi salah satu inspirator Pramoedya dalam menggugah semangat kebangsaan rakyat Indonesia melalui karya-karyanya.
Pramoedya Merevolusi Asia Tenggara
Max Lane melihat bahwa pemikiran Pramoedya tentang Asia Tenggara setidaknya terfokus ke dalam dua poin penting. Pertama, menyikapi geliat juang bangsa-bangsa di Asia Tenggara yang marak di penghujung abad ke-19 dan awal abad ke-20, Pramoedya melihat bahwa bangsa-bangsa di Asia Tenggara tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan berdasarkan asas internasionalisme. Gejala ini bisa dimaknai bahwa bangsa-bangsa di Asia Tenggara yang ditindas oleh kolonialisme Eropa bergerak bersama dalam lingkup regional.
Kedua, masih menurut Max Lane, Pramoedya juga cenderung meyakini bahwa kebangkitan bangsa-bangsa di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia dan Filipina, terwujud akibat rangsangan dari situasi politik yang terjadi di beberapa negara di Asia, termasuk Revolusi Cina dan perlawanan Jepang terhadap Rusia. Keberanian bangsa-bangsa di benua terbesar inilah yang kemudian memantik kebangkitan dari bangsa-bangsa lain di Asia, tidak terkecuali di Asia Tenggara.
Khusus di Indonesia, Pramoedya mencermati bahwa gerakan menuju revolusi yang terjadi di negeri ini merupakan gerakan yang paling lengkap unsur-unsurnya. Revolusi Indonesia, dalam kacamata Pramoedya, menyerap semua unsur penting yang menentukan perubahan dunia, yaitu Manifesto Komunis (Eropa), Declaration of Independent (Amerika), dan pidato-pidato Dr. Sun Yat Sen (Asia). “Revolusi Indonesia merupakan kombinasi dari semua ide-ide dari seluruh dunia,” kata Max Lane menegaskan rumusan Pramoedya.
Max Lane, yang sejak tahun 2003 menjadi peneliti pada Departemen Penelitian Asia di Universitas Murdoch-Perth, menyatakan keyakinan Pramoedya bahwa revolusi hanya akan dapat dicapai melalui tiga gerakan penting. Pertama, revolusi dilakukan dari bawah karena Pramoedya sangat yakin kaum borjuis tidak bisa berbuat apapun demi revolusi. Kedua, menggunakan kuasa pers/surat kabar sebagai alat perjuangan. Ketiga, perubahan yang dilakukan harus benar-benar revolusioner, menyeluruh, dan tuntas sampai ke akar-akarnya.
Max Lane menukil pernyataan Pramoedya bahwa dia sepenuh-penuhnya adalah orang Indonesia, bukan orang Jawa. Keindonesiaan yang dimiliki Pramoedya itu, menurut hemat Max Lane, adalah bentuk nasionalisme yang khas dan berani. Pramoedya menggambarkan Indonesia sebagai makhluk yang benar-benar baru, bukan merupakan perpanjangan dari yang sudah ada, bukan kelanjutan dari Majapahit atau Sriwijaya, bukan pula warisan dari rezim kolonial Eropa ataupun Jepang. Indonesia adalah kreasi baru yang dimulai pada awal abad ke-20. “Legitimasi Indonesia tidak harus dicari dari masa lalu, tetapi dari proses kreatif itu sendiri,” tutur Pramoedya seperti yang dibahasakan Max Lane.
Prinsip keindonesiaan seperti itulah yang digunakan Pramoedya untuk melihat proses kebangkitan di negara-negara Asia Tenggara lainnya yang tentu saja berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia. “Setiap bangsa di Asia Tenggara punya proses kreatif dan sejarah sendiri-sendiri, memiliki watak dan kebudayaan masing-masing,” ungkap Max Lane yang dalam kesempatan itu menjadi pembicara tunggal.
Selanjutnya Max Lane mengatakan, bangsa-bangsa besar di Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina, memendam hasrat yang hampir seragam. Kesemua negara itu bangkit karena dibangunkan oleh fenomena kolonial yang menurut Max, juga Pramoedya, semua proses dan hasil perjuangan bangsa-bangsa di Asia Tenggara adalah gerakan revolusi, dan itu semua belum selesai.
Jejak-Langkah Pramoedya di Jazirah Melayu
Pesona Pramoedya di ranah sastra dunia tidak perlu diperdebatkan lagi. Publik Asia Tenggara pun turut bertakzim terhadap kiprah seorang anak semua bangsa bernama Pramoedya Ananta Toer. Rasa hormat itu salah satunya datang dari Filipina, di mana Pramoedya memperoleh “Ramon Magsaysay Award” pada 1995. Ironisnya, pemberian penghargaan tersebut justru ditentang oleh beberapa sastrawan dari Indonesia sendiri. Atas nama dendam sejarah, sejumlah pelaku sastra bernama besar, termasuk Mochtar Lubis dan HB Jassin, menulis surat protes atas penghargaan kepada Pramoedya itu. Nasib sial Pramoedya yang selalu menjadi orang asing di negeri sendiri, dari zaman kolonial, era Orde Lama di bawah kuasa Sukarno, hingga rezim Soeharto yang memimpin Orde Baru selama 32 tahun.
Di luar kontroversi tersebut, karya-karya Pramoedya, terutama serial “Tetralogi Pulau Buru” (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) yang melegenda itu, ternyata digandrungi di seantero Asia Tenggara. Bahkan, seperti yang dipaparkan Max Lane sebagai penerjemah buku-buku Pramoedya, saking larisnya, buku-buku Pramoedya di Filipina banyak yang beredar dalam bentuk buku bajakan.
Apa yang terjadi di Singapura lain lagi. Kondisi politik dan pemerintahan di negara tempat Max Lane saat ini bermukim itu jauh dari kebebasan, terbelenggu oleh kebijakan represif yang diberlakukan oleh penguasa. Namun, kata Max Lane, “Generasi muda di Singapura sekarang banyak yang justru tertarik terhadap pemikiran Pramoedya.”
Ajaran Pramoedya yang mendorong manusia untuk memiliki sifat humanis, berpikir sendiri, serta bertindak berani demi perubahan, membuat buku-buku Pramoedya laris manis di Singapura. Bahkan, tambah Max Lane, untuk memenuhi banyaknya permintaan, karya-karya Pramoedya di Singapura sudah mempunyai percetakan tersendiri yang dipasarkan khusus untuk segmen Singapura.
Tampilnya Pramoedya sebagai pahlawan kebangkitan bangsa-bangsa Asia Tenggara ternyata memunculkan kegamangan bagi Negeri Jiran. “Malaysia mempunyai masalah dalam penuntasan revolusi nasionalnya,” demikian analisis Max Lane. Negara tetangga dekat Indonesia ini memang tidak sempat merasakan perjuangan heroik dan berdarah-darah dalam rangka mencapai kemerdekaan. Dengan demikian, gelora semangat yang digulirkan Pramoedya tentu saja tidak terlalu mengena di dalam lubuk hati segenap orang Malaysia.
Meskipun begitu, timpal Max Lane, peredaran karya-karya Pramoedya di Malaysia masih cukup menggembirakan. Di negeri bekas koloni Inggris itu, buku-buku Pramoedya dicetak dan diedarkan dalam bahasa Inggris.
Bahasa Bersama: Tonggak Kebudayaan Nasional
Di sela-sela pemaparannya, Max Lane juga menyoroti soal bahasa nasional. Menurut Max, yang menjadi komponen utama dalam upaya membangun dan memperkokoh kebudayaan nasional adalah sastra bersama atau bahasa pemersatu sebagai wujud identitas berbangsa. Pramoedya, kata Max Lane, melalui karya-karya sastranya telah berhasil menanamkan pengaruh bahasa Indonesia sebagai tonggak kebudayaan nasional. “Sifat dari nation adalah bahasa bersama,” kata Pramoedya seperti yang dikutip Max Lane pada diskusi siang itu.
Hal yang seperti ini, lanjut Max, masih belum bisa ditemukan di Malaysia. Max Lane lantas bercerita bahwa dia pernah melontarkan wacana: bahasa apakah yang paling tepat digunakan untuk buku-buku Pramoedya yang diedarkan di Malaysia. Banyak kalangan di Malaysia, terutama dari orang-orang Melayu dan Tionghoa, sepakat bahwa bahasa yang paling bisa diterima adalah bahasa Inggris, baru kemudian bahasa Melayu sebagai bahasa kedua.
Sementara bahasa Kanton maupun Mandarin, bahasa orang-orang Tionghoa yang populasinya cukup banyak di Malaysia, justru tidak masuk hitungan, bahkan dukungan pun jarang datang dari kalangan Tionghoa sendiri. Dengan adanya fenomena seperti ini, ujar Max Lane, Malaysia lagi-lagi bermasalah dengan identitas nasionalnya bahwa mereka tidak atau belum memiliki bahasa bersama. Soal bahasa lingua franca, Malaysia masih nihil.
Minke, tokoh utama dalam “Tetralogi Pulau Buru” Pramoedya, yang merupakan representasi dari Tirto Adhi Soerjo, yang oleh Pramoedya disebut-sebut sebagai bapak pers nasional melalui bukunya bertajuk Sang Pemula, merupakan orang Indonesia yang memperkenalkan bahasa Melayu pasar sebagai lingua franca di kalangan rakyat Bumiputera.
Tirto Adhi Soerjo konsisten menggunakan bahasa Melayu pasar, bahasa Pribumi kebanyakan dan bukan bahasa Melayu tinggi yang hanya digunakan oleh kalangan tertentu, dalam setiap penerbitan surat kabarnya, dari masa ketika Tirto bekerja untuk surat kabar Pembrita Betawi (1901) hingga saat Tirto berhasil menerbitkan seabrek koran, terutama Soenda Berita (1902), Medan Prijaji (1907), juga surat kabar perempuan Poetri Hindia (1908).
Selain itu, Max Lane juga menyayangkan tidak diberikannya materi sastra nasional dalam sistem pendidikan di Indonesia. Selama ini, sastra nasional masih menumpang pada pelajaran bahasa Indonesia, dan itu pun belum begitu mendalam. Max mengeluh, “Indonesia adalah satu-satunya negara di Indonesia yang tidak mengajarkan mata pelajaran sastra nasional di sekolah!” Padahal, tambah Max, Indonesia sangat kaya akan karya sastra berkualitas, termasuk karya sastra hasil guratan tangan dan pemikiran Pramoedya Ananta Toer.
Dalam sesi diskusi yang dibagi dalam dua termin seusai Max Lane memaparkan materi, muncul beberapa pertanyaan yang cukup menarik. Salah seorang peserta diskusi menanyakan kepada Max, meski beberapa kali masuk nominasi peraih nobel, tetapi mengapa Pramoedya tidak pernah merasakan penghargaan prestisius itu? “Apakah hanya karena Pramoedya adalah orang Asia Tenggara, terlebih lagi berasal dari Indonesia?” demikian pertanyaan untuk Max Lane.
Max menjawab, kegagalan Pramoedya meraih nobel lebih dikarenakan alasan politis, bahwa sepak-terjang Pramoedya di bidang politik sebelum tahun 1965 masih cukup masif dan mungkin faktor inilah yang kemudian menyebabkan nobel belum bisa jatuh ke tangan Pramoedya. “Namun, mayoritas dunia sudah mengakui kualitas Pramoedya dan dia sangat layak untuk memperoleh penghargaan nobel,” tegas Max Lane.
Akhir kata, Max Lane dengan mantap menegaskan bahwa Pramoedya, melalui pemikiran dan karya-karyanya, telah menjelma menjadi sosok yang sangat berpengaruh dalam merangsang tradisi pergerakan di kawasan Asia Tenggara. “Pramoedya Ananta Toer adalah sejarawan yang paling radikal dan mempelopori kebangkitan di Asia Tenggara,” simpul Max Lane memungkasi sesi diskusi.
*) Tulisan ini merupakan hasil liputan untuk MelayuOnline.com, dengan judul “Max Lane: Pramoedya Pelopor Kebangkitan Asia Tenggara”, diposting tanggal 22 Mei 2009.
Dijumput dari: http://dejavaraditya.wordpress.com/2009/08/02/pesona-pramoedya-di-asia-tenggara/