SETELAH ZIARAH KATA

Hawe Setiawan
http://pengajiansastra.wordpress.com

MAJELIS Sastra Bandung (MSB) mulai dibuka pada 25 Januari 2009. Forum ini diprakarsai oleh penyair dan wartawan Matdon, penyair Dedy Koral, penulis dan fotografer Aendra H. Medita, penulis Hermana HMT, aktivis Hanief, aktor Ayi Kurnia, dan dramawan Yusef Muldiana. Forum tersebut berbasis di Bandung, dan menyelenggarakan pertemuan bulanan di Gedung Indonesia Menggugat (GIM)—bekas gedung landraad (pengadilan pribumi) zaman kolonial.

Sejak MSB mengawali kegiatannya, setiap bulan Matdon dan kawan-kawan mengundang dua hingga empat penyair untuk menghadirkan karya masing-masing dalam forum, yang kemudian dibahas oleh hadirin. Selain biasa bertemu muka dalam forum diskusi di GIM, para peserta forum ini biasa berbagi karya dan komentar seputar sajak melalui jejaring sosial facebook. Lebih kurang setahun sejak forum ini mulai dibuka, terbit antologi puisi Ziarah Kata (Majelis Sastra Bandung, 2010).

Ziarah Kata menghimpun 99 judul sajak dari 44 orang penyair. Para penyair yang karyanya dimuat dalam buku 110 halaman ini pada umumnya pernah diundang oleh MSB ke Bandung untuk membaca puisi dan berdiskusi. Sebagian besar di antaranya lahir pada dasawarsa 1970-an hingga 1980-an. Penyair “sulung” adalah Iwan Soekri Munaf yang lahir pada 1957, sedangkan penyair “bungsu” adalah Zulkifli Songyanan yang lahir pada 1990. Sebagian besar di antaranya kini tinggal di Bandung atau wilayah di dekatnya. Beberapa di antaranya sering mengumumkan sajak melalui forum atau media lain, seperti Bode Riswandi, Dian Hartati, Ratna Ayu Budhiarti, Toni Lesmana, dan Ujianto Sadewa. Nama baru cukup banyak.

Buku ini diterbitkan oleh MSB sendiri, dan merupakan buku pertama yang dihasilkan dari forum tersebut. Menurut Matdon, “Rois ‘Am” MSB, terbitnya antologi ini dapat “mempertegas bahwa MSB serius menjadi semacam ruang tadarusan puisi”.
***

UNGKAPAN “ziarah kata” bisa mendua makna. Pertama, upaya menghikmati atau menghormati kata sedemikian rupa, seakan kata adalah hal keramat. Kedua, laku kata yang menyerupai kegiatan berziarah, dalam arti bahwa kata-kata yang muncul dalam puisi dapat menghikmati kehidupan (atau kematian) dunia manusia. Mungkin, ungkapan itu sedikit banyak menyiratkan harapan tersendiri terhadap kreativitas yang selama ini diwadahi oleh MSB. Mudah-mudahan saja, ungkapan itu tidak berarti bahwa para penyair sedang menziarahi kematian kata, atau kata-kata sedang menziarahi kematian kreativitas penyair.

Sebagaimana komentar penyair Acep Zamzam Noor dalam jilid belakang antologi ini, pokok soal (subject matter) dan gaya pengucapan yang diperlihatkan oleh para penyair dalam buku ini, sudah pasti, beragam. Keragaman membentang, mulai dari puisi yang anteng memainkan bunyi, dengan sedikit kecenderungan ke arah puisi konkret, seperti karya Dave Sky (Davit Arianto), hingga puisi yang tidak membiarkan aku liriknya dibebani kemurungan atau permenungan, seperti karya Ratna Ayu Budhiarti. Ada puisi yang memuat perasaan keagamaan, misalnya karya Willy Sastra Basoilny, ada pula puisi yang mewadahi kritik sosial, misalnya karya Arry Syakir Gifari. Beberapa penyair lainnya tampak berkecenderungan melukiskan suasana atau mencatat peristiwa. Tak ketinggalan pula puisi-puisi yang mengandung alusi terhadap tokoh dalam sejarah, misalnya karya Asep Samboja dan B.F. Syarifudin. Dengan kata lain, Ziarah Kata tak ubahnya dengan bianglala.

Tentu saja, keragaman seperti itu tidak perlu dijadikan penghalang untuk membicarakan cara kata diperlakukan dalam puisi, dengan menjadikan Ziarah Kata sebagai referensinya.

Untuk membicarakan hal itu, dapat dikemukakan dua ilustrasi sederhana. Misalkan, pertama, kita kumpulkan sejumlah besar guntingan judul berita suratkabar atau majalah. Kemudian, kita gabungkan guntingan yang satu dengan guntingan yang lain, kita deretkan, dan kita bariskan sedemikian rupa, dengan tidak memperdulikan kemungkinan atau ketidakmungkinan arti kata atau kalimat yang ditimbulkannya. Hasilnya kita muat dalam rubrik atau antologi puisi. Pastilah yang terbaca kemudian adalah sebentuk puisi abstrak yang cukup gelap.

Misalkan lagi, sebagai ilustrasi kedua, kita gunting sebuah berita suratkabar atau majalah, misalnya tentang jatuhnya sebuah pesawat terbang yang mengangkut seorang presiden beserta ibu negara dan rombongannya. Kemudian kalimat-kalimat prosais dari berita itu kita penggal-penggal ke dalam sejumlah baris layaknya penggalan larik-larik puisi, misalnya dengan menekankan tegangan antarlarik yang hendak kita timbulkan. Hasilnya kita muat dalam rubrik atau antologi puisi. Pastilah yang terbaca kemudian adalah sebentuk puisi prosais yang cukup terang.

Dengan mengajukan kedua ilustrasi itu sama sekali tidak ada maksud untuk mengatakan betapa mudahnya menulis puisi. Kedua ilustrasi itu dikemukakan semata untuk mengatakan bahwa komposisi verbal, segelap atau seterang apapun isinya, dapat atau tidak dapat disebut puisi bergantung pada cara komposisi itu dibaca atau diperlakukan. Taruh kata, komposisi verbal baik yang dibuat dari guntingan kepala berita (headlines) maupun yang dibuat dari guntingan kisah berita (news story) tadi dimuat dalam rubrik puisi koran minggu. Pastilah pembaca akan memperlakukan komposisi-komposisi itu berdasarkan konvensi pembacaan puisi: misalnya bahwa suara si aku lirik mengacu pada situasi ujaran yang dibayangkan dan tidak perlu si aku lirik diidentikkan dengan penyair yang membuat komposisi itu; bahwa setiap kata, mulai dari judul hingga larik terakhir, membentuk suatu keseluruhan; bahwa dalam komposisi itu terdapat suatu pokok soal yang ditekankan; dan seterusnya.

Dari sudut kepentingan penyair sendiri, sudah tentu, ada upaya untuk menjadikan komposisi yang dibuatnya dapat diperlakukan sebagaimana layaknya puisi diperlakukan. Karena itu, pada dasarnya, ia pun membuat puisi dengan memperhatikan konvensi pembacaan puisi pula. Betapapun, saya sendiri berpendirian bahwa hal terpenting bukanlah apakah komposisi yang dibuat oleh penulis dapat atau tidak dapat disebut puisi, dan apakah penulis itu dapat atau tidak dapat disebut penyair. Hal terpenting, pada hemat saya, adalah sejauh mana penulis memperlakukan kata dalam komposisinya. Dengan kata lain, menghadirkan puisi dalam antologi bukanlah segalanya.
***

DENGAN segala hormat, sekadar untuk melangsungkan diskusi, perkenankan saya memetik salah satu puisi dari antologi ini:

Tubuh Yang Menjadi Gelombang

Kau akan menggulung lengan baju ketika hitam gelombang
merayap dari ujung-ujung jari. Sejenis selamat datang dengan
pecahan yang saling mencari. Apakah kau keping dari
ketidakberlangsungan keberadaan?
Seorang membasuh tangan
tapi sesuatu tidak terhapus dan riak air mengaduh oleh pekat
yang bergerak di permukaan. Suara-suara. Gelombang
menghantarkan pesan dari seorang yang terbenam ketika
tubuhnya terbungkus oleh manis keterhapusan. Memuai pada
hijau dasar laut. Lalu terhampar sisa percakapan yang tidak
pernah selesai. Mematung pada keabadian

Suara yang terdengar dalam puisi ini berasal dari seseorang yang berbicara kepada pembaca secara langsung, seperti dalam keadaan bersitatap. Pembaca dikondisikan untuk menjadi “kau”, dan membayangkan situasi diri ketika ujaran terhadapnya disampaikan. Hal yang dapat dibayangkan antara lain berupa permukaan laut dan dasarnya yang hijau, dan sesosok diri yang menggulung lengan baju dan mencelupkan jari-jarinya ke dalam air, hingga timbul riak-riak gelombang. Penggalan larik-larik puisi ini pun dibuat mengalun, memanjang, dan memang seperti gelombang. Terasa nikmat, sebetulnya, jika kita membaca baris-baris seperti itu, seperti yang dapat kita rasakan manakala kita terapung di atas sampan. Akan tetapi, lebih dari sekali alunan citraan itu seakan terbentur frase-frase abstrak dari kecenderungan berfilsafat: “apakah kau keping dari ketidakberlangsungan keberadaan?”; tubuh yang “terbungkus oleh manis keterhapusan”; juga tindak “mematung pada keabadian”. Selain itu, sudut pandang orang kedua yang menghasilkan lukisan situasi diri pada larik-larik awal, seakan tiba-tiba meloncat ke sudut pandang orang ketiga ketika aku lirik menggambarkan “seorang membasuh tangan…” Tidak mustahil pembaca sukar membayangkan “seorang yang membasuh tangan” (di permukaan gelombang?) sekaligus “seseorang yang terbenam”. (Ataukah ada dua orang yang sedang dibayangkan?). Siapa pula yang “mematung pada keabadian”? Kesukaran membaca juga timbul dari imaji-imaji yang seakan bertumpuk seperti “riak air mengaduh” atau “sisa percakapan” yang “terhampar”. Akhirnya, tidak mustahil, pembaca luput dari signifikansi pokok soal yang diangkat dalam puisi ini.

Kiranya, seperti itulah keadaannya apabila poetic persona cenderung dibebani oleh permenungan. Kata-kata yang dibuat memberat, dalam bentuk pasangan kata yang cenderung abstrak, bukan tidak mungkin malah mengganggu baris-baris sarat majas yang mendahului dan mengikutinya.

Permenungan itu sendiri, tentu saja, penting, tak terkecuali untuk diwadahi dalam puisi. Namun, ada kalanya permenungan itu justru tak tersampaikan sepenuhnya manakala kata-kata yang diandalkan untuk menghantarkan atau mewadahinya tampak seperti menjauh dari pengalaman konkret, dalam arti pengalaman yang dapat dibayangkan oleh manusia dalam hidup sehari-hari. Bukankah para sufi sendiri pada gilirannya mengandalkan idiom-idiom seperti “bulbul” dan “mawar” atau “cawan” dan “anggur”?

Pada titik ekstrem lainnya, permenungan penyair dibuat sedemikian gamblang, seperti dalam puisi berikut ini:
Di Angkutan Umum

Begitu angkuhnya kita
Bahkan mengalahkan keangkuhan
Para raja dan pujangga
Tak ada sapa tegur
Hanya mata yang berbicara
Yang diam-diam curi mencuri pandang
Mungkin juga saling curiga
Atau banding membandingkan
Seperti benda-benda di museum
Atau pameran

Di dalam angkutan umum
Kita seperti bukan manusia
Kita seperti bukan saudara

Sajak di atas jelas mempersoalkan ironi kebersamaan di lingkungan urban tempat interaksi justru tidak menimbulkan komunikasi. Dengan menggambarkan perilaku kolektif dalam angkutan umum, aku lirik menyesali, bahkan menggugat, kenyataan yang menunjukkan betapa orang hadir bersama tapi tidak bertegur sapa, seakan-akan mereka tidak mengenal persaudaraan di antara sesama manusia. Dalam hal menangkap gejala yang hendak diangkat sebagai pokok soal dalam sajak, kiranya sang penyair amat peka. Suasana sosial dalam angkutan umum memang representatif untuk dijadikan jendela amatan terhadap mendangkalnya kebersamaan. Hanya, barangkali, efek puitiknya yang terasa tak sempat terpikirkan sepenuhnya. Padahal, kiranya, efek itu mungkin tercapai sekiranya deskripsi tentang “keangkuhan”, “saling curiga”, atau “banding membandingkan” dicarikan gambaran konkretnya. Mungkin juga efek itu akan lebih kuat jika sedikit rasa humor dibubuhkan ke dalam ironi yang hendak digambarkan. Upaya-upaya seperti itu, kiranya, juga dapat mengatasi kemungkinan bertambahnya beban permenungan oleh kemurungan—meski, tentu saja, tidak ada yang salah dengan kemurungan.

Jangan-jangan, beban-beban seperti itu amat terpaut pada cara penyair berbicara, yang tentu saja menyiratkan caranya menyikapi persoalan yang hendak diangkat ke dalam sajak. Dalam puisi lain yang akan dikutip di bawah ini, kita dapatkan contoh yang kiranya cukup baik sehubungan dengan puisi yang dibuat supaya tidak jadi berat tapi tidak sampai luput dari potensinya untuk mewadahi kompleksitas pengalaman manusiawi. Baik kita kutip:

Pamit

Permisi…numpang tanya,
Dimana ya rasa yang kausimpan untukku dulu?
Aku lupa,
Barangkali kau ingat kapan terakhir kali
Kau hidangkan senyum termanismu
Di meja makan kita?

Hmmm…maaf ya,
Aku tidak bisa lama-lama bersama kamu
Mudah-mudahan tak keberatan jika esok lusa
Kau temukan secuil rasa yang tersisa,
Aku memintanya kembali
Untuk dihanyutkan ke sungai
Biarlah air yang menemani kenangan itu menuju laut

Sudah ya, aku pergi!
Calon suamiku sudah menunggu.
Sampai jumpa lain waktu.
***

Demikianlah sekelumit bahan perbincangan sehubungan dengan terbitnya Ziarah Kata. Di balik komentar ini terkandung harapan akan tercapainya puisi-puisi yang jauh lebih baik setelah Ziarah Kata kelak. Mohon maaf atas segala kekurangan komentar ini. Tiada sedikitpun maksud menggurui atau sok tahu. Selamat berkarya.
***