Mihar Harahap
analisadaily.com
Menarik ceramah ilmiah Prof.Dr. Jan van der Putten, Guru Besar Sastra dan Kebudayaan Austronesia Universitas Hamburg Jerman, di UNIMED, baru-baru ini. Di hadapan budayawan, sastrawan, sarjanawan berbagai perguruan tinggi di Medan dan mahasiswa, dia urai “Tersingkirnya Studi Bahasa dan Karya Sastra Indonesia di Luar Negeri” (Cermin Kegagalan Pemerintah Indonesia? Bagaimana Pemerintah Baru Seharusnya Berbuat). Sayang, judul menarik tak semenarik seminarnya.
Entah apa dalam pikiran Jan van der Putten ketika melihat audiens seminar. Adakah intrik politik dari panitia. Terasa, dia tak mengupas habis uraiannya. Sangat terbatas dan terpilih, hingga cenderung kebesaran/kegagahan judul. Padahal simpul pamungkasnya cukup telak menelan- jangi perguruan tinggi dan sastrawan. Studi bahasa dan sastra Indonesia (ditujukan pada per- guruan tinggi) dan karya sastra Indonesia (ditujukan pada sastrawan) tak terkenal di luar negeri.
Kita bukan hendak ingkar atas dugaan, pernyatan atau simpulannya ini. Andai ada pengadilan sastra, mungkin patut bertanya. Apakah harus terkenal ke luar negeri? Luar negeri yang mana? Dikatakannya,perguruan tinggi di Indonesia tidak memiliki program studi kebaratan. Mungkin kajian bahasa dan sastra Jerman, Belanda. Kajian bahasa dan sastra Inggeris, Arab, tentu ada. Belum lagi ada kajian sastra bandingan, karya sastra Indonesia dengan karya sastra luar negeri.
Dikatakannya lagi, Amir Hamzah dan Chairil Anwar tidak terkenal di luar negeri.Kalaupun ada yang terkenal seperti Pramoedya Anant Toer, Sitor Situmorang, Andrea Hirata. Hanya ketika “Laskar Pelangi” diterjemahkan harus dirubah dari suasana aslinya. Terlepas dari teknis terjemahan yang masih dapat didebatkan, tetapi Amir, Chairil, Pram, Sitor, H.B. Jassin, Abdul Hadi, Sapardi, B.Y.Tand, Damiri Mahmud terkenal di luar negeri seperti di Malaysia, Singapura, Thailand dan Brunai.
Begitupun, kalau ditanyakan, apakah perlu studi bahasa dan karya sastra Indonesia terkenal di luar negeri? Jawabnya, pasti perlu! Sebagaimana terkenalnya bahasa Inggeris, Belanda, Arab, Cina di Indonesia, bahasa Indonesia pun harus terkenal di negara itu, juga negara lainnya. Terus terang, kita sedih melihat ketidakadilan bahasa. Kalau kita ke luar negeri, setidaknya kita memakai bahasa Inggeris, tetapi kalau orang Barat ke dalam negeri, tidak memakai bahasa Indonesia.
Lebih menyedihkan, studi bahasa dan sastra Indonesia. Terus terang lagi -sebagaimana dikatakan Jan van der Putten- para sarjana menuhankan teori Barat. Tidak puas, hebat dan sah rasa-nya bila kajian bahasa dan sastra Indonesia, tidak menggunakan teori Barat. Para sarjana malah lebih bermuka-muka mengatakan teori Indonesia tidak ada untuk itu tanpa mau mencari dan menemukan teori sendiri. Padahal yang ditelaah secara mendalam adalah bahasa dan sastra Indonesia.
Kita sadar, bahasa Indonesia adalah lambang kebanggaan (katakan, dalam negeri) dan lambang identitas (katakan, luar negeri). Bukan menafikan proporsi bahasa daerah dan bahasa asing. Dalam perkembangannya, kedua bahasa ini menjadi sub-sistem/pengayaan bahasa Indonesia. Hanya terkait lambang, tampaknya menjadi bumerang. Pemerintah, perguruan tinggi dan masyarakat inte-lektual pun belum mampu menjadi panutan, baik untuk di dalam maupun di luar negeri.
Sebaliknya, dalam sastra Indonesia tidak ada konvensi bahwa karya sastra adalah lambang, i-ni- itu, kecuali dari komunitas dan kritikus. Adapun seminar teori dan kritik sastra Indonesia di Padang (1988) yang menyadari perlunya teori sastra itu, hingga kini belum juga lahir. Karena itu, pemerintah perlu mendorong perguruan tinggi dan masyarakat intelektual untuk memberhasilkan teori sastra In-donesia yang berdasarkan falsafah, budaya, agama, sikap dan cara berpikir orang Indonersia.
Sehubungan kedua hal di atas, pantas bila muncul pertanyaan. Apakah bahasa Indonesia dapat diangkat menjadi bahasa Asean, Asia bahkan bahasa Dunia dengan potensi keterbukaan dan po-pulasi terbesar pemakai bahasa. Mengapa sastrawan Indonesia dan karyanya tidak pernah memperoleh hadiah nobel, padahal memiliki dasar kesenian dan puncak budaya yang kaya, unik dan bera-gam. Disinilah, perlunya melakukan hubungan kebudayaan yang baik dengan luar negeri.
Paling tidak pihak pemerintah, perguruan tinggi dan sastrawan dibantu pengusaha, lembaga sosial budaya dan masyarakat intelektual perlu melakukan kerjasama. Pemerintah tidak cukup hanya menyiapkan atase, konsul, menteri, dirjen, dinas kebudayaan. Juga seperti kata Jan van der Putten, hanya sosialisasi pencitraan kebudayan. Potensi pariwisata dengan alamnya yang indah, situs budaya yang unik serta keramah-tamahan penduduk dan perempuan-perempuan yang cantik.
Pemerintah perlu mengangkat harkat dan martabat kebudayaan Indonesia ke luar negeri. Se- hingga orang-orang Barat tidak sekedar membeli dan menikmati, tetapi sekaligus mengerti dan me-mahami bagaimana sesungguhnya budaya Indonesia. Untuk itu, pemerintah harus profesional, kompeten, kreatif, guna meningkatkan kinerja budaya di negeri sendiri serta dapat melayani, membantu dan terbuka demi kepentingan budayawan ke luar negeri yang membawa nama Indonesia.
Perguruan tinggi perlu membuka program studi bahasa dan sastra Jepang, India, Cina, Belan-da, Amerika, Jerman dan lainnya. Menerjemahkan buku-buku sejarah, teori, karya dan kritik sastra Indonesia-Asing atau sebaliknya. Melaksanakan penelitian dan pengabdian pada masyarakat sastra. Melakukan kerjasama pertukaran mahasiswa, dosen dan guru besar. Pemberian beasiswa kepada mahasiswa S-3 program sastra Barat, harus kuliah ke luar negeri dan pulang ke Indonesia.
Sastrawan tidak hanya berperan menciptakan karya sastra, juga mampu mensosialisasikan karya sastra itu. Baik individu maupun bersama, termasuk melalui bantuan pemerintah, pengu-saha, lembaga sastra di dalam dan luar negeri. Saling kunjung antar sastrawan dengan melakukan ke giatan pertunjukan karya sastra, pameran buku terjemahan, seminar antologi bersama dengan penuh keakraban antar sastrawan. Bukan menjual diri tetapi menjual pemikiran kebudayaan.
Sebagaimana kata Jan van der Putten mengakhiri uraiannya bahwa daripada terus berselisih soal ketersingkiran ini, maka lebih baik kita bekerja sama untuk membangun studi bahasa dan karya sastra Indonesia di luar negeri. Kita sambut kerjasama ini sebab apa dan bagaimanapun masalahnya, harus diakui bahwa studi bahasa dan karya sastra Indonesia di luar negeri itu, memang masih perlu dipertajam dalam rangkaian memposisikan diri sebagai masyarakat sastra dunia.
*) Penulis Kritikus Sastra, MPR-OOS, Ketua FOSAD, Pengawas dan Dosen UISU.