Sastra dan Pembentukan Nilai Religi

Harun Syafii bin Syam
analisadaily.com

Menilik sastra dan religiusitas memang menuntut para insan agar lebih berhati-hati, sebab tidak semudah apa yang dipikirkan. Religiusitas dalam karya sastra menuntun manusia menghadapi benturan yang begitu hebat karena menyangkut persoalan agama. Sejak saat itu juga religiusitas dalam karya sastra dianggap menjadi persoalan yang teramat kompleks. Mengapa demikian? Karena membahas sastra dan agama merupakan dua hal yang cukup menarik dan menjerumus pada persoalan antara ekspresi jiwa dan keyakinan.

Seiring dengan hal itu, sebenarnya masalah sastra dan agama bukanlah hal yang dibilang rumit jika para insan mampu memaknai konsep antara religi dan religiusitas. Dalam paradigma masyarakat awam mengartikan bahwa antara religi dan religiusitas merupakan konsep yang sama dengan mengartikan kedua hal tersebut pada tataran agama yang berhubungan antara manusia dengan Tuhan.

Padahal jika dipisahkan kedua hal ini memberikan konsepsi berbeda. Religi berbicara tentang hubungan manusia dengan Tuhan, sedangkan religiusitas berbincang masalah konsep keyakinan setiap individu terhadap karya sastra itu sendiri. Dalam artian, religiusitas tidak serta-merta berbicara masalah manusia dengan Tuhan melainkan lebih kepada pemahaman terhadap keyakinan para sastrawan dalam memaknai identitas sastranya sendiri.

Sejatinya masalah religi dan religiusitas tentu mengacu kepada persoalan kehidupan manusia dengan Tuhan, baik secara langsung maupun tidak. Sama halnya dengan itu, banyak perspektif yang muncul mengenai definisi religi dan religiusitas seperti yang diungkapkan oleh Hawari (1996) yang menyebutkan bahwa religiusitas merupakan penghayatan keagamaan dan kedalaman kepercayaan yang diekspresikan melalui ibadah sehari-hari, berdoa dan membaca kitab suci.

Sepaham dengan Hawari, Atmosuwito (1987:124) mengartikan religiusitas sebagai karya sastra yang berupa penyerahan diri kepada Sang Khalik, kehidupan kemulian, perasaan batin yang berhubungan dengan Tuhan, perasaan berdosa, perasaan takut, dan perasaan yang mengakui segala kebesaran Tuhan.

Konteks di atas terlihat, sebenarnya definisi dari religiusitas itu sendiri lebih banyak mengacu kepada persoalan manusia dengan Tuhan serta bagaimana cara mengabdi kepada Tuhan. Hal itu tidaklah pantas untuk dipersalahkan karena memang sejatinya antara religi dan religiusitas mengacu pada titik temu antara keyakinan dan keyakinan.

Religiusitas dalam Sastra, religiusitas tidak secaa langsung berhubungan dengan agama. Ada jarak yang harus dibatasi mengenai perspektif masyarakat tentang agama dan religiusitas. Graham Greene membedakan antara agama dengan religiusitas kepada dua pemahaman yang berbeda. Jika agama merujuk pada kelembagaan yang berkaitan dengan Tuhan.

Religiusitas mengarah kepada persoalan keyakinan setiap individu yang berakhir dengan indah dan damai meski riak getarnya tidak jelas karena berada pada lubuk hati yang paling dalam. Sebenarnya religiositas dalam karya sastra lebih menitikberatkan pada persoalan stiap individu sastrawan dalam menghasilkan berbagai macam teks-teks sastra yang kekentalannya lebih menyangkut kepada persoalan nilai-nilai religi yang begitu transdental. Hal demikian ditilik karena religiusitas merupakan kodrati manusia yang sangat hakiki, misalnya; begitu manusia dilahirkan ke dunia, maka saat itupula ia harus menyembah kepada Tuhan sebagai wujud transdental dari kesadaran manusia yang dianggap seorang hamba. Bahkan “Atheis” sekalipun tidak bisa mengabaikan nilai-nilai religi dalam hidupnya walau sejatinya dia tidak mengakui Tuhan itu ada.

Percayalah, sebenarnya seorang atheis percaya bahwa Tuhan itu ada. Sebab itulah perdebatan mengenai religiusitas lebih diarahkan kepada persoalan karya sastra yang bersifat religi. Tentunya hal ini menjadi bagian permasalahan yang manis. Sebuah karya sastra yang lahir dari nilai-nilai religius.

persoalan yang mendasar mengenai konsep religiusitas dalam karya sastra sebenarnya bukan masalah yang dibilang “wow” karena religius dalam karya sastra sudah menjadi persoalan yang telah diperbincangkan sejak lama. Seluk beluk religiusitas dikemukakan oleh William James (1842-1910) pada awal abad ke-19 melalui buku The Vareities of Religions Experience. Dalam buku ini, pandangan William James mengenai agama menyangkut dalam dua bentuk persoalan, yakni : agama sebagai institusi dan agama personal. Buku ini juga secara jelas menegaskan bahwa semua agama pada awalnya masuk pada bentuk agama personal. Setelah agama merangkum perkembangan menjadi agama sebagai institusi maka sejatinya agama tidak bisa dilepaskan dari kelembagaan, politik kekuasaan dogmatis, fanatisme dan kekuasaan sekuler. Ketika itu, perkembangan agama sebagai institusi mencapai puncak yang dibilang berani maka, saat itupula agama sebagai personal muncul kembali dalam bentuk keyakinan setiap individu dalam mempercayai sebuah karya, termasuk karya sastra.

Selanjutnya berbicara masalah religiusitas dalam karya sastra lagi-lagi dibilang relatif dan belum kepada persoalan identitas apakah karya sastra itu bersifat religi atau tidak. Jika demikian sebenarnya cukup banyak para sastrawan yang memberi istilah sendiri pada karya sastra yang ditulisnya. Menurut Hamdy Salad, istilah ini berakar pada konteks keimanan atau religiusitas yang dibawanya. Misalnya; Danarto sebagai sastrawan pencerah, Kuntowijoyo sebagai sastrawan profetik, Taufik Ismail sebagai sastrawan zikir, Sutardji Calzoum Bahri sebagai sastrawan transedental, Habiburrahman El-Shirazy sebagai sastrawan pembangun jiwa. Jika dilihat tidak satupun dari mereka yang menyebutkan diri sebagai sastrawan islam.

Intinya lebih kepada religiusitas bukan agama. Sebab pembacalah yang akan menilai apakah karya-karya itu bersifat religi atau tidak. Identitas agama islam, Kristen, Hindu, Budha lebih dilesapkan guna mencapai kesederhaan dan tidak mengundang polemik antar umat beragama.

*) Penulis Merupakan Mahasiswa Universitas Negeri Medan.