Saut Situmorang *
Dalam bahasa Inggris istilah “exile”, yang diindonesiakan menjadi “eksil”, memiliki tiga pengertian. Pertama, sebuah ketakhadiran, sebuah absensi yang panjang dan biasanya karena terpaksa dari tempat tinggal ataupun negeri sendiri. Kedua, pembuangan secara resmi (oleh negara) dari negeri sendiri, dan pengertian ketiga adalah seseorang yang dibuang ataupun hidup di luar tempat tinggal ataupun negerinya sendiri (perantau, ekspatriat). Istilah “exile” itu sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu “exsilium” (pembuangan) dan “exsul” (seseorang yang dibuang).
Dari ketiga pengertian istilah “eksil” di atas kita bisa melihat bahwa faktor dislokasi geografis dari tempat kelahiran ke sebuah tempat asing merupakan faktor utama yang menciptakan kondisi yang disebut sebagai “eksil” itu. Dislokasi geografis itu sendiri bisa terjadi karena disebabkan oleh negara secara resmi ataupun karena pilihan pribadi. Pada kasus pertama, para pelarian politik segera muncul dalam pikiran kita sebagai representasi dari mereka yang diusir dari negeri kelahiran sendiri oleh pemerintahan yang sedang berkuasa, sementara pada kasus kedua kita segera teringat pada para pengungsi, para transmigran, dan para perantau yang mencari hidup baru di luar tempat kelahiran mereka.
Dari ketiga pengertian “eksil” tersebut kondisi pembuangan politik dari negeri kelahiran ke negeri asing oleh sebuah pemerintahan yang sedang berkuasa merupakan definisi arti yang dipakai dalam apa yang disebut sebagai “sastra eksil”. Sastra Eksil adalah sastra yang ditulis oleh para sastrawan yang hidup dalam pembuangan politik di luar negeri kelahiran mereka sendiri. Perbedaan ideologi politik dengan pemerintahan yang sedang berkuasa merupakan alasan utama terjadinya pembuangan politik tersebut.
Dalam sejarah sastra modern Indonesia para sastrawan yang punya hubungan dengan institusi seni di bawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI) yaitu Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan hidup dalam pengasingan/pembuangan politik di luar Indonesia selama pemerintahan rejim fascis kapitalis Orde Baru adalah para sastrawan eksil Indonesia menurut definisi arti di atas. Para sastrawan yang kebanyakan hidup di Eropa Barat yaitu di negeri Belanda dan Prancis itu dengan terpaksa memilih hidup dalam pembuangan politik itu karena keyakinan mereka bahwa mereka akan segera dijebloskan ke dalam penjara atau Pulau Buru kalau mereka kembali ke Indonesia. Atau mungkin juga dibunuh. Apa yang terjadi pada ratusan ribu korban kudeta militer di tahun 1965, yang dinyatakan oleh pemerintahan militer yang berkuasa kemudian sebagai kudeta yang didalangi oleh PKI, menjadi alasan masuk akal bagi para sastrawan Lekra untuk tidak kembali ke Indonesia dan memilih hidup eksil di negeri asing.
Keberadaan “sastra eksil” Indonesia di luar negeri selama ini hanya diketahui oleh segelintir pembaca sastra modern Indonesia yang kebetulan hidup di negeri yang sama atau berdekatan dengan negeri tempat hidup para sastrawan ini atau yang mendapat akses ke karya mereka walau hidup di dalam negeri Indonesia sendiri. Eksistensi “sastra eksil” ini menjadi lebih luas diketahui para pembaca sastra modern Indonesia terutama di Indonesia sendiri dengan diterbitkannya sebuah kumpulan puisi bernama Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil oleh Yayasan Lontar. Kumpulan puisi yang tebal dan berkesan luks ini memuat 15 penyair yang oleh Ketua Dewan Redaksi buku Asahan Alham, yang juga merupakan salah seorang penyair yang puisinya ikut dalam buku, diklaim sebagai “sastrawan eksil” Indonesia. Bagi para pembaca sastra modern Indonesia dua nama dari kelimabelas penyair yang muncul karya mereka dalam buku ini adalah nama-nama yang memang sudah tidak asing lagi, yaitu Agam Wispi dan Sobron Aidit.
Satu hal penting yang membuat saya bertanya-tanya dan mendorong penulisan esei ini, setelah membaca buku kumpulan puisi para “sastrawan eksil” Indonesia itu, adalah absennya nama penyair Sitor Situmorang dari daftar nama para penyair yang karyanya diikutkan dalam buku. Tidak ada keterangan apapun yang diberikan atas ketidakikutsertaan Sitor Situmorang dalam antologi puisi yang bahkan punya “Daftar Judul Sajak”, “Indeks Baris Pertama” dan “Daftar Sumber” ini! Pertanyaan saya tentu saja dimulai dengan pertanyaan sederhana “kenapa penyair Sitor Situmorang tidak diikutkan”, lalu saya lanjutkan dengan “apakah Sitor Situmorang bukan seorang penyair eksil Indonesia”. Tidak ada yang menjawab kedua pertanyaan saya itu, maka saya akan berusaha memuaskan diri sendiri dengan menjawabnya sendiri.
Walaupun klaim bahwa “sastra eksil” Indonesia itu ada tidak bisa dibantah dan buku Di Negeri Orang merupakan bukti historis dari klaim tersebut, sempitnya definisi yang diberikan atas istilah “sastra eksil” itu sendiri telah menyebabkan terjadinya sebuah anomali tekstual dalam bentuk penghapusan nama Sitor Situmorang dari daftar nama para penyair yang diklaim sebagai “sastrawan eksil” Indonesia. Berdasarkan definisi pengertian istilah “eksil” yang saya utarakan di awal esei ini, Sitor Situmorang adalah seorang sastrawan eksil sejati. Sitor telah hidup sebagai sastrawan eksil “sukarela” di tahun 1950an di Belanda dan Prancis, lama sebelum kelimabelas penyair Di Negeri Orang benar-benar menjadi “sastrawan eksil”. Sitor juga menjadi korban politik kudeta militer tahun 1965 dan bahkan dipenjarakan selama beberapa tahun. Setelah keluar dari penjara, kembali Sitor memilih hidup sebagai penyair eksil di luar Indonesia sampai beberapa tahun terakhir ini. Para pembaca sastra modern Indonesia, khususnya puisi modern Indonesia, tentu sangat akrab dengan sebuah sajak eksil paling terkenal dalam sejarah sastra modern Indonesia yang ditulis oleh Sitor Situmorang dan bahkan dijadikan sebagai gelar kehormatannya, yaitu “Si Anak Hilang” (1955).
Sempitnya definisi pengertian istilah “eksil” saya harap merupakan alasan utama dari ketidakikutsertaan Sitor Situmorang dalam bunga rampai Di Negeri Orang. Meskipun demikian saya melihat terdapat sebuah masalah yang bukan tidak penting dalam kesediaan kita untuk menerima pemakaian istilah “sastra eksil” bagi karya-karya yang ada dalam buku tersebut. Secara biologis memang para penyair Di Negeri Orang mengalami sebuah dislokasi geografis paksaan. Mereka dipaksa oleh keadaan politik untuk hidup di negeri orang sebagai pelarian politik. Tapi bagaimana dengan karya-karya mereka sendiri? Apakah puisi-puisi yang mereka tulis di negeri orang itu adalah puisi “eksil”? Apakah pengalaman hidup di negeri orang sebagai “orang eksil” terdapat dalam karya mereka yang diklaim sebagai “sastra eksil” Indonesia itu? Bagaimanakah kehidupan “eksil” sebagai orang asing di negeri orang, baik terhadap masyarakat lokal dimana mereka hidup maupun terhadap kondisi sosial-politik di Indonesia sendiri, mereka alami?
Sangat disayangkan bahwa hal-hal yang bukan tidak penting ini tidak kita temukan kecuali pada beberapa puisi saja dalam buku yang memuat lebih dari seratus puisi ini. Dan ironisnya justru sajak-sajak yang bersifat “sajak protes” seperti yang dipopulerkan oleh para penyair Angkatan 66 yang dominan dalam kumpulan puisi para “penyair eksil” Indonesia ini. Tema dominan ini memang diakui oleh Ketua Dewan Redaksi buku Di Negeri Orang walau pengakuan itu sendiri terkesan sangat bersifat pembelaan diri dan mau menang sendiri. Kalau sekedar kegagahan “mencerca penguasa yang tidak disenangi” dalam bahasa yang “lurus” dan “mudah dimengerti” dengan “semangat yang kadang berapi-api” hingga “maksud mereka sangat jelas dan mudah dimengerti, tidak tersembunyi, tidak berliku-liku dan berpilin-pilin tapi bening bagaikan kaca yang memperlihatkan semua apa yang ada di baliknya” dijadikan sebagai “alasan utama” bagi kita untuk menerima kumpulan puisi Di Negeri Orang sebagai sebuah kumpulan puisi “sastra eksil” Indonesia, maka saya tidak melihat apa keistimewaan kumpulan puisi ini dari banyak kumpulan puisi semacamnya yang terus menerus ditulis orang di Indonesia. Bagi saya, terlalu mudah dan kurang bertanggung jawab bagi Asahan Alham untuk membuat klaim bahwa apa yang dia kumpulkan dalam buku Di Negeri Orang adalah “sastra eksil” Indonesia.
Berdasarkan bacaan atas kumpulan puisi ini kita segera menyadari bahwa para penyair yang diklaim sebagai “sastrawan eksil” Indonesia adalah mereka yang pernah aktif dalam Lekra dan menjadi “orang eksil” karena aktivitas mereka itu sebelum kudeta militer tahun 1965. Hal yang juga bukan tidak penting ini semestinya diperjelas oleh Ketua Dewan Redaksi buku sebagai salah satu alasan pemilihan penyair dan pemberian nama problematis “sastra eksil” bagi karya mereka. Saya tidak tahu kenapa bukan “Sastra Lekra” saja misalnya yang diberikan sebagai nama kumpulan puisi para penyair diaspora Indonesia ini!
Budaya eksil bukan merupakan sebuah budaya asing dalam kehidupan orang Indonesia. Perpindahan penduduk dari daerah asal mereka ke daerah baru yang diharapkan menjadi sebuah negeri penuh harapan (the promised land) sudah terjadi di kepulauan nusantara ini beratus tahun lamanya dan bahkan sejarah bangsa-bangsa yang menghuni ribuan pulau antara benua Asia dan Australia ini adalah sejarah orang eksilan. Tapi dislokasi geografis belaka tidaklah cukup untuk membuat sebuah kategori genre karya seni!
Memori tentang negeri asal yang tak mungkin untuk dikunjungi kembali dalam sebuah peristiwa pulang kampung, karena bermacam alasan, tidak otomatis membuat memori itu menjadi sebuah memori eksilan (dalam konteks seni/sastra) tanpa adanya konflik batin yang disebabkan dislokasi geografis tersebut. Kenapa memori tentang kampung halaman itu terpelihara terus? Apakah realitas baru di negeri orang tidak seperti yang diharapkan malah cenderung menyakitkan? Apakah memori itu menjadi sebuah pelarian dari kenyataan hidup eksilan? Hal-hal seperti ini lebih memuaskan dijadikan alasan penamaan memori yang dituliskan dalam bentuk karya sastra itu sebagai “sastra eksil” ketimbang sekedar dislokasi geografis tubuh biologis sekelompok sastrawan.
Kondisi dislokasi geografis yang kita sebut sebagai “merantau ke negeri orang”, apapun alasan penyebabnya, akan lebih menarik sebagai karya “seni” kalau tidak seluruhnya didominasi oleh romantisme Freudian tentang sorga yang hilang, kampung halaman yang jauh di mata, rahim bunda yang tak mungkin dimasuki kembali sang anak yang menangis oleh kerasnya kehidupan di luar rumah. Dalam sajak “Si Anak Hilang” Sitor Situmorang menceritakan tentang seorang anak yang kembali dari eksil, kembali dari rantau, ke kampung halaman tapi tidak menemukan kampung halaman itu kembali. Sorga yang hilang itu sudah hilang buat selamanya. Hilang buat sang anak eksilan. Sementara sang anak juga hilang buat kampung halamannya sendiri. Pasir di tepi danau bergelombang tahu si anak tiada pulang. Si anak hilang telah hilang buat selamanya. Satu peristiwa, dua kehilangan.
Rantau adalah keberangkatan menuju dewasa, menjadi orang asing. Orang asing terhadap diri sendiri maupun kampung halaman sendiri. Bahkan menjadi orang asing di tengah-tengah para orang asing lain. Menjadi orang asing adalah menjadi diri sendiri. Seperti yang dilakukan manusia eksil bernama Chairil Anwar, memilih hidup yang “dari kumpulannya (pun) terbuang”. Sekali berarti, sudah itu mati. Makanya, Aku merantau, maka Aku ada.***
*) Saut Situmorang, penyair dan eseis, tinggal di Jogjakarta.
http://boemipoetra.wordpress.com/2014/09/16/sastra-eksil-sastra-rantau-2/