Sastra Profetik dan Tantangan Kebangkitan Manusia

Ayati Fa *
islampos.com

Barangkali kita pernah mendengar pernyataan berikut; Islam terlalu “saklek” hitam-putih. Ajaran Islam berada pada ruang “suci” yang menjadikan penulis susah berimajinasi. Pun di beberapa forum diskusi sebuah pernyataan terungkap bahwa karya sastra yang memuat (ajaran) Islam itu ‘tidak sastrawi’. Hingga sebuah pertanyaan pun menyeruak di hati saya, “Benarkah (ajaran) Islam menghambat kreativitas dalam berkarya khususnya di ranah sastra?”

Pertanyaan itu selalu terngiang-ngiang. Bahkan bila dilanjutkan, Islam tidak saja dipandang dapat menghambat kreativitas dalam bersastra. Tapi dianggap juga menghambat kreativitas anak, tidak cocok di ranah politik, sosial atau permasalahan lainnya. Islam terkesan “hanya” membahas seputar ibadah atau zikir kepada Tuhan semata. Berkutat di pengajian, taklim, masjid atau di tempat-tempat privat lainnya. Benarkah?

Hingga, pada Ahad pagi yang cerah di penghujung November 2013. Saya menghadiri acara Pengajian Sastra yang digelar oleh FLP Wilayah Jakarta Raya. Mendengar kata “Pengajian” seketika ingatan pun melayang pada ritual pembacaan Al-Qur’an oleh seorang Qari di masjid atau pengajaran (agama Islam). Tapi ternyata “pengajian” yang berasal dari kata “kaji” – “mengkaji” bisa juga berarti: belajar; mempelajari; memeriksa; menyelidiki; memikirkan; menguji; menelaah dan lain sabagainya. Pada akhirnya “Pengajian Sastra” bisa dimaknai mengkaji, mempelajari pun menelaah berbagai persoalan publik yang tidak sebatas pada hubungan vertikal-spiritual semata.

Beranjak dari definisi pengajian sastra tersebut maka kepedulian seseorang untuk memeriksa, menyelidiki, mengkaji pun menelaah sebuah realitas kehidupan antar sesama manusia yang kini makin hedonis materialistis dari sudut pandang agama (Islam) adalah sesuatu yang layak untuk diperbincangkan.

Jalan Kreatif Sastra Profetik

Penjajahan secara fisik memang telah hengkang dari negeri kita tercinta, Indonesia. Namun bila kita mau sedikit jeli, terbukanya kran globalisasi saat ini menjadikan bangsa kita seakan berubah menjadi “Tempat Pembuangan Akhir”. Berbagai ide berjejalan merasuki benak putra-putri anak negeri. Gaya hidup materialisme-hedonisme telah menjadi tradisi. Pergaulan bebas dan korupsi pun malah makin menjadi “prestasi”. Negeri dengan penduduk mayoritas muslim ini seakan kehilangan identitas. Pun dalam dunia sastra, jauh sebelum kran globalisasi ini terbuka lebar. Abdul Hadi WM telah menelaah perkembangan sastra di tahun 1970-1980-an, bahwa terkait kesadaran penulis untuk menjadikan ‘tradisi’ sebagai ‘sumber’ proses kreatif penciptaan mereka, terutama tentang semangat untuk kembali ke ‘tradisi ketimuran’. Abdul Hadi WM kemudian dikenal sebagai tokoh “Sastra Profetik”.

Profetik berasal dari kata profet (kenabian), meniru ajaran nabi. Sastra profetik sebagaimana yang dipaparkan oleh Prof. Abdul Hadi WM pada Pengajian Sastra FLP Wilayah Jakarta di Musium Mandiri Kawasan Kota Tua Jakarta, yaitu sastra yang membawa ajaran agama Islam atau agama lain untuk perubahan sosial.

Guru Besar Universitas Paramadina itu juga menyampaikan bahwa perubahan sosial akan tergantung pada tiga hal. Pertama, munculnya tokoh (ulama, dll) yang menyuarakan ide tertentu. Kedua, adanya kelompok masyarakat yang sadar baik dari kalangan intelektual maupun lapisan masyarakat lainnya akan pentingnya suatu perubahan. Ketiga, kehendak Tuhan, di mana Tuhan menghendaki terjadinya suatu perubahan.

Abdul Hadi juga menyinggung bahwa manusia tidak akan bisa hidup tanpa ayat-ayat Tuhan. Sehingga di tengah kehidupan yang makin materialis hedonis ini seharusnya bisa lahir karya-karya sastra yang tidak hanya memenuhi tuntutan pasar kapitalis tapi harus mengisi ruang-ruang renung baik di bidang sosial maupun spiritual.

Dengan demikian penulis beranggapan bahwa agama (Islam) seharusnya bisa menjadi spirit dalam setiap karya tidak saja di bidang sastra semata. Bahkan, agama (Islam) mampu menjadi landasan berpikir dalam setiap proses lahirnya berbagai karya pun mampu memberikan solusi alternatif berbagai problematika manusia baik ekonomi, sosial, budaya, politik dan permasalahan umat lainnya. Untuk itu diharapkan lahir karya-karya sastra yang solutif-aplikatif tanpa mengesampingkan peran agama (Islam) dalam proses kreatifnya. Dengan demikian pendapat yang mengatakan bahwa agama (Islam) menghambat kreativitas itu terbantahkan.

Islam Dan Tantangan Kebangkitan Manusia

Islam adalah agama yang diturunkan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw., yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (Khaliq-nya), dirinya dan dengan sesamanya. Hubungan manusia dengan Khaliq-nya tercakup dalam akidah dan ibadah. Hubungan manusia dengan dirinya tercakup dalam akhlak, makanan, minuman dan pakaian. Sedangkan hubungan manusia dengan sesamanya tercakup dalam mu’amalat dan uqubat.

Membaca realitas saat ini, ketika sekularisme semakin menggejala, tanpa sadar manusia memang telah memisahkan kehidupannya dengan Tuhan. Agama (Islam) seakan hanya pantas diperbincangkan di masjid dan hanya mengatur hubungan manusia dengan Al-Khaliq semata. Sedang dalam kehidupannya manusia bebas berbuat sekehendak hatinya. Bilakah cara pandang yang demikian tetap dibiarkan? Tentu sulit dipungkiri akan semakin banyak kerusakan di muka bumi ini. Materi akan menjadi Tuhan, antara yang batil dan yang haq sulit dibedakan. Standar ukuran baik-buruk hanya akan dilihat dari sudut pandang materi. Bila hal itu tetap kita biarkan, maka kehancuran peradaban manusia tinggal menunggu waktu.

Tentu jika kita memperhatikan definisi di atas, saat kita memperbincangkan agama (Islam) seharus tidak hanya mencukupkan pada hubungan vertikal-spiritual kepada Khaliq semata, tapi juga harus melibatkan hubungan dengan dirinya dan dengan sesamanya.

Ketika manusia mampu menjawab tiga pertanyaan terbesar tentangnya, yaitu; “Dari mana kita berasal? Untuk apa kita hidup di dunia? Dan hendak ke mana kita setelah kematian?” maka manusia akan lebih memahami bagaimana ia menjalani kehidupannya. Iya, itu semua karena pada faktanya manusia memang berasal (diciptakan) Tuhan (baca: Allah) melalui orang tuanya, diciptakan hidup di dunia untuk beribadah kepada-Nya dan setelah mati akan melalui masa pertanggungjawaban/penghisaban dan pembalasan. Karenanya, ketika manusia mampu menyadari bahwa kehidupannya di dunia ini tak bisa dipisahkan dengan kehidupannya setelah kematian. Tentu Islam dalam hal ini agama yang mengatur segala aspek kehidupannya pun akan dijadikannya sebagai landasan dan pemimpin dalam setiap gerak-langkah dan pikirnya.

Hingga dalam suasana kapitalis-materialis, hedonis serta individualis seperti saat ini, penulis berpikir; Islam adalah agama yang terpancar darinya seperangkat aturan kehidupan. Islam bukanlah agama yang mengatur masalah ritual semata, tapi agama (Islam) mengatur seluruh aspek kehidupan.

Dengan Islam seharusnya manusia mampu menyelesaikan setiap permasalah hidupnya. Bilakah sebagai penulis senantiasa dilandasi spirit kenabian dalam berbagai karyanya, yang dalam hal ini tidak membatasi diri dalam masalah ketuhanan semata tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan. Sungguh kebangkitan berpikir manusia akan terwujud. Karena manusia yang bangkit adalah manusia yang tidak hanya memikirkan dirinya. Tetapi manusia yang mampu memikirkan dirinya, kehidupan, alam semesta, serta hubungan ketiganya dengan sebelum penciptaan dan sesudah kehidupannya.

Bilakah kesadaran manusia akan hubungannya dengan pencipta itu senantiasa hadir dalam berbagai aktivitasnya? Jika itu terjadi kita sangat bisa berharap kerusakan multidimensi, pergaulan bebas, korupsi dan lain sebagainya akan dapat terhindar dari kehidupan ini. Tugas kita adalah bagaimana agar kesadaran menjadikan agama (Islam) hadir dalam setiap lini kehidupan kita? Penulis pikir di antaranya adalah dengan berkarya melalui karya sastra yang dapat menghantarkan pada perang pemikiran yakni ideologi Islam menghancurkan paham/ideologi kapitalisme-materialisme.
***

*) Aktivis FLP Bogor