Anjrah Lelono Broto *
kompasiana.com/anjrah_lelono_broto
Sebagai homo socius, manusia membutuhkan manusia lain guna membangun eksistensinya sebagai manusia itu sendiri. Komunikasi di antara sesama manusia menjadi elemen mendasar dalam menciptakan relasi dan eksistensi tersebut. Ketika sebuah puisi dan atau cerpen telah dimuat dalam rubrikasi sastra sebuah media massa, dengan sendirinya puisi dan atau cerpen maupun pengarangnya tersebut mendulang apresiasi publik hingga bermuara pada identitas “karya sastra” dan “sastrawan”. Di sinilah, komunikasi antara sastrawan dan penikmat karyanya terjalin dengan media massa sebagai kanal penyambungnya.
Namun, ketidakabadian yang menjadi karakter keduniawian juga menjalar-menjangkiti komunikasi di atas. Sastrawan memiliki pergulatan proses kreatif yang kompleks, publik penikmat karyanya terseok-seok berpacu dengan derasnya arus informasi berikut progresivitas teknologi penyajiannya, sedangkan media massa sendiri setia dengan belitan naluri dasarnya pada keuntungan sebagai sebuah tujuan. Ketika masing-masing pihak tidak mencoba menawarkan langkah untuk mengurainya, maka proses komunikasi terbentur pada tembok kebuntuan. Sastrawan kehilangan eksistensinya sebagai komunikator, publik penikmat karya sastra dengan sukarela menanggalkan jubah komunikannya, dan media massa tercerabut dari karakter dasarnya sebagai media penyampaian pesan (dalam konteks ini, karya sastra).
***
Karya sastra sendiri tidak hanya sekedar estetika teks, namun juga sangat dipengaruhi oleh aspek-aspek lain di luar teks karya sastra tersebut. Penguasaan bahasa meniadi tantangan pertama sastrawan dalam pergulatan proses kreatifnya. Sementara, bahasa juga tidak berdiri sendiri. Ia merupakan bagian dari dinamika peradaban masyarakat yang menggeliat terkait dengan politik, ekonomi, sosial, budaya, bahkan besar kemungkinan pertahanan dan keamanan.
Belum lagi masalah kelindan politik bahasa yang saling mengunggulkan diri masing-masing. Pada etape ini, struktur dan gramatika bahasa Indonesia sendiri dihadapkan pada buah Simalakama. Teknik narasi yang ada dalam karya sastra berbahasa Indonesia masih menampakkan pola pikir dan pola tutur kedaerahan sastrawannya. Ketika seorang Sena Gumira Ajidarma menulis cerpen bersetting tanah Papua ataupun cerbung bersetting Tiongkok masa lalu, masihlah dirinya hadir sebagai pribadi yang dibesarkan oleh pergaulan metropolitan.
Besar kemungkinan tanpa berupaya menciptakan kegaduhan maka hal seperti yang terjadi pada Sena G.A. di atas dapat disebut sebagai stilistika pengarang dan merupakan licentia poetica-nya. Namun, sadar atau tidak, sebenarnya para sastrawan tidak sedang berupaya melepaskan diri problematika struktur dan gramatika bahasa.
Bagi sastrawan berbahasa daerah, pergulatan yang dihadapinya lebih pelik lagi. Dari waktu ke waktu, berkurangnya penggunaan bahasa daerah dalam komunikasi sehari-hari memperkeruh realitas bahwa bahasa daerah selama ini mayoritas hanya digunakan dalam komunikasi lisan. Sehingga sastra berbahasa daerah yang disampaikan secara lisan lebih menjadi primadona ketimbang sastra berbahasa daerah yang disampaikan dalam bahasa tulis. Di Jawa Timur, suluk, parikan, maupun kidungan yang merupakan karya sastra yang disampaikan dalam bentuk bahasa lisan lebih populer daripada geguritan dan crikak yang menggunakan bahasa tulis.
***
Di satu sisi, ketika sastrawan terjerembab lubang pengendapan tanpa ujung karena karya-karyanya tidak mendapatkan ruang pemuatan di media massa, mayoritas dari mereka melampiaskannya dengan membangun adagium bahwa profit oriented yang menjadi sumbu utama industrilitas media massa adalah biang keladinya. Adagium ini dikembangbiakkan dengan asumsi bahwa pemuatan karya sastra pada rubrik sastra media massa hanyalah sebagai salah satu materi pendongkrak keuntungan. Apakah keuntungan tersebut berupa oplah, imej, atau relasi, bergantung pada target pasar yang ingin dibidik masing-masing media massa.
Perkembangbiakan ini memiliki turunan berupa pandangan bahwa redaktur sastra adalah tuhan pemilik ketidakterbatasan kekuatan untuk memilih karya sastra mana yang pantas untuk dimuat dengan selaksa misteri yang tidak terjawab. Turunan ini diasuh dan dibesarkan oleh pihak-pihak yang membuka lapak dagangan kiat dan trik menembus media massa. Padahal, redaktur sastra juga manusia, apabila karya para sastrawan tersebut dalam skema tuan-puan redaktur sastra memiliki pasar penikmat maka ketermuatannya adalah sebuah keniscayaan.
Pun begitu, adagium ini ada benarnya, mengingat perkembangan media massa hari ini berjalan dalam koridor konglomerasi yang ditandai dengan turunnya kuantitas pemimpin media massa. Di masa orde baru, jikalau Presiden Soeharto memanggil seluruh pemimpin media massa di tanah air, besar kemungkinan halaman Istana Negara akan sesak. Tapi hari ini, jikalau Presiden SBY melakukan hal serupa maka cukup diwakili dengan kurang dari sepuluh orang. Dalam peta konsep pemikiran konglomerasi, minimnya kuantitas publik sastra menjadi pijakan untuk menempatkan rubrikasi sastra sebagai anak tiri (“emban cindhe, emban siladan”, Jawa). Sementara, media massa memberikan ruang berlimpah pada pemberitaan ekonomi, olahraga, politik, bahkan kriminalitas.
Tentu, adalah mimpi semua pelaku, pemerhati, maupun pihak-pihak yang terkait dengan perkembangan dunia sastra agar kuantitas publik sastra dapat meningkat secara signifikan. Kita semua perlu untuk melakukan analisis berimbang tanpa memelihara keluh, menuduh, tanpa melakukan introspeksi secara utuh. Seni sebagai tiruan realitas sebagaimana yang diimani kawan-kawan Aristotelian sebenarnya telah mengingatkan senantiasa bahwa janganlah sastrawan melahirkan karya-karya yang jauh dari kediriannya dan calon publik penikmat karya sastranya. Dalam upayanya, membuka ruang baca tanpa terburu-buru membuat penjustifikasian adalah mutlak. Proses kreatif kesastraan merupakan proses yang terbuka terhadap semua input dengan tetap mengenali potensi yang ada.
Sastrawan penghamba media massa bukanlah cita-cita. Namun sastrawan yang kurang memberikan ruang baca pada visi dan isi media massa adalah orang gila yang beronani dengan imajinasinya sendiri. Padahal manusia adalah homo socius sebagaimana di awal tulisan ini, jika diri kita ingin dihargai oleh manusia lain maka hargailah manusia lain tersebut berikut motif, lakuan, maupun relasinya. Jika tidak, maka derajad kemanusiaan kita sedang berada pada titik nadir.
***
*) Anjrah Lelono Broto, lahir di Jombang Jawa Timur pada 03 Juli 1979. Alumnus Jurusan Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Jombang ini aktif esai, cerpen, serta puisi di sejumlah media masa (baik berbahasa Indonesia maupun berbahasa Jawa), seperti SURYA, Surabaya Pagi, Harian Umum Pelita, Banjarmasin Post, Pikiran Rakyat, Lampung Post, Wawasan, Harian Bhirawa, Radar Mojokerto, Jaya Baya, Panjebar Semangat, dll. Manajer artistik di Teater Kopi Hitam Indonesia ini juga pernah menjadi redaktur Jurnal Kebudayaan JOMBANGANA, terbitan Dewan Kesenian Kabupaten Jombang (DeKaJo) dan menjadi pengasuh acara Talkshow Belajar Sastra di Radio Suara Pendidikan Dinas Pendidikan Kabupaten Jombang dan bergiat di Kedai Sastra Gubsur hingga kini. Beberapa karyanya adalah Esem Ligan Randha Jombang (antologi geguritan, 2010), Orasi Jenderal Markus (naskah monolog, 2011), Pasewakan (antologi geguritan, 2012), dan Meletakkan Cinta Pada Hati (antologi puisi, 2013). dapat dihubungi di anantaanandswami@gmail.com, http://www.facebook.com/anjrahlelonobroto, dan http://www.twitter.com/anjrah_4sasgur.
**) MAKALAH — Disampaikan dalam Diskusi Dwi Bulanan “SASTRA DAN MEDIA MASSA” Kerjasama Harian Radar Jombang (JP Group) dan Kuburan Institute. Halaman Kantor Harian Radar Jombang Jl. Laksda Adi Sucipto 19 Sambong Jombang – 08 Agustus 2014