Semangat Profetik Sastrawan Kita Memudar?

Gunoto Saparie *
murianews.com

Sastra sufistik adalah ragam karya sastra yang mendapat pengaruh kuat dari sastra sufi atau sastra tasawuf, termasuk sistem pencitraan, penggunaan lambang, dan metafora. Sastra sufistik dapat juga disebut sastra transendental karena pengalaman yang dipaparkan penulisnya ialah pengalaman transendental, seperti ekstase, kerinduan, dan persatuan mistikal dengan yang transenden. Pengalaman itu berada di atas pengalaman keseharian dan bersifat supralogis (transenden, sekaligus imanen).

Kecenderungan sastra sufistik di Indonesia mulai semarak pada dasawarsa 1970 hingga tahun 1980-an. Kecenderungan sastra sufistik itu mula-mula dipelopori oleh Danarto dengan gerakan “kembali ke akar, kembali ke sumber”. Kembali ke akar dan kembali ke sumber maksudnya adalah kembali ke hal yang bersifat azali, tiada lain hanya Tuhan sebagai kausa prima. Pengikut gerakan itu menjadikan para sufi, seperti Al Hallaj, Fariduddin Attar, Ibn Arabi, Jalaludin Rumi. Hafiz, Sa’di, Hamzah Fansuri, dan Muhammad Iqbal, bahkan Sunan Bonang dan Syeh Siti Jenar, sebagai sumber penulisan karya sastra di Indonesia.

Selain itu, mereka juga menghubungkan diri dengan sumber agama beserta sistem kepercayaan, peribadatan, dan bentuk spiritualitasnya. Agama tidak mesti dipahami sebagai doktrin ketuhanan dan teologi, tetapi juga sebagai sistem yang mencakupi keseluruhan aspek kehidupan. Beberapa sastrawan Indonesia modern yang menulis sastra sufistik, antara lain Danarto, Taufiq Ismail, Kuntowijoyo, M Fudoli Zaini, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Mustofa Bisri, Emha Ainun Nadjib, Ahmadun Yosi Herfanda, Jamal D Rachman, dan Zawawi Imron.

Kalau sastra merupakan salah satu cara mengekspresikan keindahan dan emosi terdalam tentang harmoni, maka pada dasarnya ia terkait dengan salah satu sifat hakiki manusia, yakni kerinduan akan spiritualitas. Sastra adalah alat, medium, sekaligus wadah ekspresi tersebut, yang pada dasarnya memiliki akar ruh spiritualitas dan merepresentasikan nilai-nilai idealitas hakiki kemanusiaan dan keilahian.

Mengarusutamakan sastra sufistik yang bernilai ilahiah mutlak adanya. Sastra jenis ini memberikan pencerahan dan mengokohkan keimanan kepada Allah, mentransformasikan nilai-nilai ibadat ke dalam setiap relung kehidupan manusia, menghidupkan nilai-nilai kebaikan universal (rahmat li al-‘alamin), dan menghidupkan perilaku uswah hasanah sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad. Karena itu, genre sastra seperti ini mengusung misi agung, yakni misi prophecy (kenabian) yang mengajak manusia untuk kembali menilik hakikat, asal muasal, dan tujuan kehidupan, yang tiada lain adalah penghambaan kepada Tuhan.

Abdul Hadi WM mengatakan, semangat profetik memang penting untuk dikaji. Ia merupakan segi yang sentral, pusat bertemunya dimensi sosial dan transendental di dalam penciptaan karya sastra. Dimensi sosial menunjuk pada kehidupan kemanusiaan kita yang bersifat profan, dan dimensi transendental menunjuk pada tujuan kehidupan yang lebih tinggi, yang berpuncak pada Yang Gaib di atas sana. Dimensi yang kedua ini memberikan kedalaman pada suatu karya, menopangnya dengan nilai-nilai kerohanian, membuat suatu karya seni bersifat vertikal atau meninggi.

Sesungguhnya cita-cita semua sastra keagamaan memang begitu, seperti hakiki ajaran agama itu sendiri, yaitu menyatukan dimensi sosial dan transendental. Karena itu, ketika Kuntowijoyo membicarakan perlunya menegakkan kembali ‘etika profetik’ hampir tiga puluh tahun silam, yaitu etika yang selain berakar di bumi juga berakar di langit, dia juga menunjuk pentingnya sastra profetik dikaji. Pentingnya sastra profetik, dan relevansinya bisa dilihat pada semakin antusiasnya orang dan pemikir dewasa ini membicarakan dan mengulas karya-karya para penyair dan sastrawan profetik seperti Goethe, Dostoyevski, Jalaluddin Rumi, Mohammad Iqbal, TS Eliot, Frederich Hoelderlin, dan lain-lain. Dari karya karya mereka, yang di antaranya telah ditulis ratusan tahun lalu, tersimpul pesan profetik dan kerohanian yang sangat diperlukan oleh banyak manusia modern.

Tidak saja di lapangan sastra atau estetika karya-karya yang profetik bisa muncul sebagai suatu alternatif, tapi juga di bidang filsafat, pemikiran sosial keagamaan dan wawasan budaya. Di lapangan filsafat, sebagaimana diulas secara panjang lebar oleh Roger Garaudy dalam dua buah bukunya Janji-janji Islam dan Mencari Agama Abad Duapuluh, ia hadir untuk mempertanyakan kembali keberadaan filsafat analitik dan rasionalisme atau historis materialisme, yang sedang mengalami jalan buntu oleh karena dasar-dasar epistemologisnya yang meragukan, serta ekses-eksesnya yang mengasingkan manusia dari Tuhan dan dirinya sendiri. Malahan tonggak-tonggak utama dari karya-karya profetik mempertanyakan kembali hubungan politik dengan moral dan agama, yang telah retak sejak modernisme dicanangkan. Seperti kita lihat pada karya-karya Jalaluddin Rumi, Goethe, Dostoyevski, TS. Eliot dan Mohammad Iqbal.

Itulah sebabnya dengan antusias Mohammad Iqbal kembali mengkaji karya-karya Rumi dan Goethe, dan dari pengkajian itu dia banyak menimba gagasan bagi penciptaan karya-karyanya yang profetik. Sesungguhnya, keadaan zaman dan tantangan sejarah pulalah yang membuat Iqbal demikian antusias mengemukakan gagasan sastra profetik yang bercorak keagamaan, dengan menempatkan intuisi intelektual di tempat utama dalam memperoleh pengetahuan langsung atau pandangan yang visioner. Tantangan tersebut terutama datang dari materialisme dan rasionalisme helenistik.

Segi penting lain dari sastra profetik itu ialah tolok ukurnya yang hakiki, seperti dikatakan Ali Syari’ati, yaitu sebagai sumber penemuan jati diri manusia dan penyebab mekarnya kemungkinan-kemungkinan transenden. Sebab itu, ia tidak semata mengacu ke bumi, melainkan serentak dengan itu membawa kita ke langit melalui lubuk hati terdalam insan, oleh karena di dalam hati kita memang ada jendela untuk melihat Tuhan, seperti ayat suci menyatakan.

Kuntowijoyo menegaskan pentingnya karya sastra sebagai media penanaman nilai-nilai pencerahan. Ketika dunia nyata tak mampu mengajarkan nilai luhur maka nilai tersebut mesti diimajinasikan dalam karya sastra. Karya sastra adalah strukturalisasi dari pengalaman, imajinasi, dan nilai. Karya sastra tidak boleh hanya menjadi bacaan atau tontonan tetapi mesti mengenalkan nilai-nilai keluhuran.

Kuntowijoyo menawarkan sebuah pendekatan sastra yang mampu menjadi jembatan antara ajaran Islam dengan karya sastra. Karena etika profetik bersumber pada kitab-kitab suci, sastra profetik adalah senjata budaya orang beragama untuk melawan musuh-musuhnya: materialisme dan sekulerisme tersembunyi.

Sastra profetik tidak saja menyerap dan mengekspresikan realitas akan tetapi juga memberi arah realitas tersebut. Kaidah pertama adalah aspek epistemologi sastra profetik, yakni strukturalisme transendental. Artinya, sastra profetik merujuk pada pemahaman dan penafsiran kitab-kitab Suci atas realitas. Kitab suci bersifat taransenden sebab merupakan wahyu Allah. Kaidah kedua adalah sastra sebagai ibadah. Ibadah mesti dimaknai secara menyeluruh (kaffah): ibadah wajib dan ibadah mu’malah-nya. Masih terkait, kaidah ketiga adalah keterkaitan antarkesadaran. Baik ibadah rukun dan mu’amalah tak bisa dipisahkan karena kesadaran ketuhanan belum kaffah jika tak disertai kesadaran kemanusiaan. Keterkaitan antarkesadaran tersebut menjadi tema penting dalam sastra profetik.

Kuntowijoyo juga menunjukkan bagaimana prinsip keadilan menjadi etika dalam sastra profetik. Sastra profetik adalah sastra demokratis. Artinya, sastra profetik tidak otoriter dan adil dalam memilih premis, tema, teknik, dan gaya. Cita-cita besar sastra profetik adalah menegakkan rasa kemanusiaan (humanisasi). Fungsi sastra profetik dalam menghadapi ketidakadilan adalah menjumbuhkan nilai-nilai pencerahan (liberasi) dalam karya sastra.

Sastra profetik adalah sastra transendental yang mempertanyakan manusia di tengah kehidupan modern yang serba birokratis, industrialis, pasar, dan instrumental. Sastra profetik menghasratkan agar manusia tidak menjadi makhluk satu dimensi, melainkan makhluk lengkap baik jasmani maupun rohani, berakar di bumi sekaligus menjangkau langit. Karena itu, gerakan sastra profetik adalah gerakan pendidikan karakter kebudayaan yang akan menjadi salah satu variable membangkitkan Indonesia dari keterpurukan. Tetapi, benarkah semangat profetik itu kini mulai memudar di kalangan sastrawan Indonesia modern?.

*) Seorang penyair, tinggal di Ngaliyan, Semarang.

Bahasa »