Bagian 3 Tentang Wisran Hadi
Yusrizal KW
yusrizalkw.wordpress.com
Tiba-tiba, ketika baru sampai di Jakarta, Buya Haji Darwas Idris, ulama ahli hadist dan Imam Besar Masjid Raya Muhammadiyah Padang mendadak sakit. Padahal, niatnya bertolak dari Padang singgah di Jakarta kemudian rencananya menuju Ponorogo untuk memenuhi undangan panitia Muktamar Muhammadiyah / Majlis Tarjih di Ponorogo. Buya Darwas, begitu ia dikenal, akhirnya membatalkan niatnya ke Ponorogo. Acara penting bagi seorang ulama terkemuka Ranah Minang itu, dengan terpaksa tak bisa diikutinya. Ketika itu tahun 1969.
Buya Darwas pun ingin segera pulang ke Padang. Maka, dari tempat anak sulungnya di Jakarta, ia mengirim kabar kepada seorang anak yang ia kuliahkan di ASRI Yogyakarta. Beritanya: Buya Sakit. Serta merta kabar itu membuat sang anak datang. Menemui sang ayah: Buya Haji Darwas.
Ketika bersua sang ayah, si laki-laki itu, bercengkerama sebagaimana mestinya setelah sebelumnya menanyakan keadaan sang ayah yang dipanggilnya Buya.
“Kapan kuliahmu selesai?”
“Sudah selesai, Buya!”
Mendengar jawaban itu, Buya Haji Darwas tercengang. Ternyata, sang anak tidak mengabari kalau dia sudah tamat kuliah, sudah sarjana muda. Dan, bahkan, saat itu, sedang menyiapkan diri untuk melamar jadi guru Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) di Bali. Menjadi pelukis, setidaknya guru seni rupa, adalah cita-cita sang anak, karena ketika masih bersekolah di Sekolah Guru A (SGA) anak laki-laki Buya itu selalu mendapatkan nilai menggambar sembilan.
Singkat cerita, Buya berkata, “Ke Padang awak dulu. Antarkan Buya. Dalam keadaan sakit, buya perlu ditemani di perjalanan. Setelah itu, kamu boleh ke Yogya lagi….”
Sang anak, yang sesungguhnya bernama Wisran Hadi (Hadi merupakan kependekan dari Haji Darwas Idris) itu, pun tak bisa menolak.
Setiba di Padang, Wisran yang sedang menggeluti seni lukis di kota gudeg, merasa jalan ke Yogyakarta putus. Gelap. Untuk kembali, selain ada hambatan lain, ia juga tidak punya ongkos lagi. Buya tidak mengisyaratkan memberi ongkos untuk ke Yogya lagi. Bahkan ia malah ditawari menikah. Tapi, ketika itu, ia menolak dengan alasan minta waktu ke Buya untuk mencari jodoh.
Maka, tahun 1970 ia pun bertemu dengan Hasnul Kabri, kepala SSRI Padang. Ia ditawari mengajar seni lukis di sekolah itu. Wisran pun mengajar. Dan di sana pulalah, sekitar tahun 1971-an, Wisran iseng-iseng menulis naskah drama untuk pementasan acara perpisahan sekolah. Dua naskah ia kerjakan, juga dipentaskan. Naskah pertamanya berjudul “Sumur Tua”, kemudian disusul “Dua Buah Segi Tiga”
Tak betah karena berbeda prinsip dengan beberapa guru soal metode pendidikan, setahun kemudian Wisran berhenti. Ketika di SSRI itu, Wisran oleh teman-teman sesama guru diresolusi istilahnya. Tidak didukung.
Setelah itu, ia pun akhirnya diajak gabung oleh A.A. Navis menjadi guru di Ruang Pendidikan INS Kayutanam. Profesi guru dijalani pria asli Padang ini selama tujuh tahun di sekolah yang yayasannya diketuai A.A. Navis..
***
Pulang ke Padang mengantar Buya sakit, menjadi guru di SSRI, kemudian di Ruang Pendidikan INS Kayutanam, ternyata merupakan momen penting bagi bermulanya sosok Wisran Hadi, menjadi tokoh teater yang juga sastrawan dan budayawan Indonesia terkemuka asal Sumatra Barat yang kita kenal seperti saat ini. Sebab, ajakan Buya adalah semacam isyarat tak terduga menutup cita-citanya menjadi pelukis. Menjadi guru di SSRI adalah percikan api pertamanya dalam menulis naskah drama. Menjadi guru di Ruang Pendidikan INS Kayutanam, ternyata, sebagaimana dikatakan Wisran, adalah saat-saat penting baginya ikut menekuni dunia sastra, karena di sekolah itu ada sastrawan A.A. Navis, Abrar Yusra, Darman Moenir dan penyair Raudha Thaib yang kemudian menjadi istri Wisran Hadi.
Mencatat Wisran, mengurai cerita: Dia dilahirkan di Padang, 27 Juli 1945. Dalam dunia teater, ia pimpinan grup Bumi Teater yang didirikannya tahun 1975 bersama Raudha Thaib (Upita Agustine) Darman Moenir, Harris Effendi Thahar, Herisman Is dan A.Alin De. Kehadirannya kembali di Padang, setelah empat tahun di Yogya, cukup mengejutkan. Sebab, sembari sesekali pameran lukis, Wisran ternyata tampak lebih intens menulis naskah dan pementasan teater. Penyair Leon Agusta dan aktor Bhr. Tanjung, ketika itu sedang giatnya berteater di Padang. Oleh mereka yang merasa duluan berteater di Padang, mengundang Wisran. Bahkan ada yang menggurui. “Saya hanya tersenyum ketika digurui beberapa tokoh teater ketika itu. Karena bacaan mereka sudah lumat saya baca di Yogya. Sehingga, saya pastikan, ketika itu wawasan mereka tertinggal,” kata Wisran dengan senyumnya yang kadang terkesan mengejek. Bagi Wisran, bicara banyak tak ada gunanya. Ia punya bacaan yang cukup, punya semangat yang kuat. Berbuat adalah cara pembuktian yang pas baginya.
Berbuat? Pertanyaan yang harus dijawab Wisran. Mau jadi penulis naskah drama, novelis atau cerpenis terkemuka? Oho. Ia urai peluang dan kemungkinan yang kira-kira bisa membuatnya maksimal. Kalau jadi novelis dan cerpenis, sudah banyak orang di Indonesia. Kalau ingin bersaing di tikar yang sama, terlalu banyak orang yang sudah duduk di situ sebagai novelis, cerpenis, atau penyair. Akhirnya ia tersenyum: penulis naskah drama/teater harus dipilih. Maka ia pun belajar dan mencari buku-buku yang bisa diacunya untuk menjadi penulis naskah yang hebat, antara lain ia pelajari karya-karya William Shakeaspeare. Dan, ternyata kehadiran Wisran dengan naskah-naskahnya, membuat Sumatra Barat khususnya, heboh. Umumnya naskah-naskah Wisran mementahkan mitos yang melekat di benak orang Minang, memahami pahlawan Imam Bonjol sebagai manusia biasa yang juga memiliki sikap peragu, gamang dan sesekali konyol. Wisran menulis Malin Kundang tidak durhaka. Bahkan mulai dari tokoh adat, agama, majelis ulama sampai gubernur, pernah sama-sama kebakaran jenggot dengan naskah-naskah yang ditulis Wisran.
Seperti yang ia harapkan, di bentangan tikar drama atau perteateran Indonesia ia mendapat tempat dan populer. Namanya pun melambung. Sebanyak 15 karya dramanya dipilih sebagai pemenang dalam Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara Indonesia yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta semenjak 1976 s/d. 1985 dan 1998, 2004. Kemudian 13 karya dramanya yang lain diterbitkan oleh Proyek Pengadaan Buku-buku Sastra Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI Jakarta. Juga 7 karya dramanya telah difilmkan oleh TVRI Palembang, TVRI Padang dan TVRI Jakarta; Empat lakon Perang Paderi, Kau Tunggu Siapa Nilo, Cindra Mata dan Anggun Nan Tongga.
Tahun 1986, salah seorang redaktur sastra dan budaya Harian Padang Ekspres ini melakukan studi perbandingan Teater Modern Amerika dan Jepang di USA dan Japan yang disponsori Asian Cultural Council, New York, USA, September 1986 s/d. Januari 1987, setelah sebelumnya, pada tahun 1978 ia telah melakukan observasi Teater Modern at New York, USA, disponsori Asian Cultural Program, The JDR 3rd Fund. 1978. Januari-Februari 1978.
Naskah-naskah drama yang sudah diterbitkan antara lain: Empat Lakon Perang Paderi, (Angkasa Bandung 2003), Empat sandiwara Orang Melayu (Angkasa Bandung, 2003), Mandi Angin (Dewan Kesenian Sumatera Barat, Padang 1999), Jalan Lurus (Angkasa Bandung 1997), Baeram- Kumpulan 8 drama pendek (Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta 1982), Titian (Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dandaerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta1982), Anggun Nan Tongga (Balai Pustaka, Jakarta 1982), Pewaris (Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta 1981), Perantau Pulau puti (Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta 1981), Perguruan (Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta 1981), Kemerdekaan (majalah sastra Horison 1980), Puti Bungsu (Pustaka Jaya, Jakarta 1978).
Tahun 1992 Wisran mulai berpikir lain. Kalau menulis naskah drama, hampir tak ada tandingannya. Apa lagi yang harus dikejar. Maka, ia iseng-iseng mencoba menulis novel. Kalau teater mengatakan, novel tentu menjelaskan dan menggambarkan sesuatu. Ia pelajari sendiri bagaimana menulis novel. Apalagi diam-diam sebelumnya ia telah banyak juga menulis cerita pendek di Horison dan di beberapa media. Sesungguhnya, disadari Wisran, menulis cerpen adalah latihan atau semacam pemanasannya menulis novel.
Maka tahun 1993, novel pertamanya selesai. Judulnya Tamu. Dimuat bersambung di Harian Republika tahun 1994. Kemudian diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti tahun 1996. Tahun 1997 peserta International Writing Program pada School of Letters, The Universirty of Iowa, Iowa, USA, September 1977 s/d. Januari 1978 ini, melalui novel pertamanya Tamu meraih penghargaan Buku Utama dari IKAPI dan melalui Dept. P dan K Jakarta, juga dipilih untuk menjadi buku bacaan pelajar di Indonesia.
Dan sejak itu, Wisran produktif menulis novel. Antara lain yang sudah diterbitkan: Pelarian, diterbitkan bersambung pada Harian Republika 2002, Imam (Pustaka Firdaus, Jakarta 2002), Dari Tanah Tepi, (PT Balai Pustaka Jakarta 2001), Negeri Perempuan (Pustaka Firdaus, Jakarta 2000), Orang-orang Blanti (Citra Budaya Indonesia, Padang 2000), Dari Tanah Tepi, (Balai Pustaka, 2002). Dan bukunya yang segera diterbitkan oleh Penerbit Serambi tahun ini berjudul Batu Api.
Selain naskah drama dan novel, Wisran juga memiliki dua kumpulan cerpen dan satu buku puisi seperti: Guru Berkepala Tiga (PN Balai Pustaka, Jakarta 2002), Daun Mahoni Gugur Lagi (Fajar Bakti Sdn.Bhd. Malaysia 1998), Kumpulan Puisi Simalakama (Ruang Pendidik INS Kayutanam, 1975).
Tahun 2000 Wisran diberi penghargaan South East Asia Write Award (Hadiah tertinggi untuk Sastrawan ASEAN) dari kerajaan Thailand yang diserahkan Raja Thailand di Bangkok. Tahun 2003 mendapat Anugerah Seni dari Pemerintah Indonesia yang diserahkan oleh Menteri Parsenibud atas jasa-jasanya dalam menaikkan marwah seni di dalam dan di luar negeri. Sejak 2001 sampai 2005 menjadi dosen tamu pada Akademi Seni Kebangsaan, Kementerian Kebudayaan, Kesenian dan Warisan Malaysia di Kuala Lumpur.
Membicarakan Wisran, kadang bagai keharusan mengurai banyak hal. Tetapi, setidaknya, tokoh yang banting stir dari pelukis menjadi penulis ini, adalah sosok yang jalan hidupnya sangat menarik dalam dunia kesenian dan kebudayaan. Maksud hati menjadi pelukis, tak tahunya jadi dramawan dan sastrawan. Setidaknya, inilah yang diguraukan kepadanya: Wisran terbelok ke jalan yang tepat, tersesat di jalan yang benar.
Sebenarnya, bakat seni yang dimiliki Wisran sudah tampak sejak ia duduk di bangku Sekolah Guru A di Padang. Ia termasuk orang yang gigih belajar dan punya ingin tahu yang besar. Dengan sikap buyanya yang sangat demokrat, Wisran dibebaskan membaca buku-buku apa saja. Termasuk buku kiri atau yang dilarang pemerintah pada masa itu. Oleh buyanya, Wisran juga dibekali buku-buku karangan sastrawan dunia yang juga sangat mempengaruhi pikiran Wisran.
Kegiatan hari-harinya kini adalah membaca, menulis dan melatih teater yang akan dipentaskan Juni tahun ini di Taman Ismail Marzuki, Jakarta dengan naskah Wayang Padang, karya dan sutradara dia sendiri: Wisran Hadi, anak Buya Haji Darwas yang tak sengaja membelokkannya menetap di Padang.