Sahli Hamid *
nupragaan.or.id
Perdana Menteri Singapura mewajibkan rakyatnya membaca karya sastra. Kuntowojoyo mengatakan kalau masyarakat Indonesia ingin baik, mereka maka harus membaca karya sastra.
Menarik sekali membincang sastra kampung, atau yang biasa disebut sastra pedalaman. Sastra yang sering terabaikan dan lepas dari pandangan, karena dominasi sastra perkotaan yang memiliki fasilitas dan penikmat lebih kaya dan lebih menjanjikan. Tak heran, jika banyak sastrawan angkat kaki dari kampung, hijrah ke kota untuk mengembangkan karier dan mengasah bakat.
Sebenarnya, sastra kampung bukan tak memiliki peluang untuk berkembang, dan tak kalah kualitas dibanding sastra kota. Proses kreatifnya pun cenderung lebih orisinal, “perawan”, dan steril dari denyut kepentingan. Begitu pun, dari segi isi, sastra pedalaman terasa lebih dalam dan lebih khidmat dengan nuansa religius yang begitu kental. Lebih-lebih sastra yang lahir dari tangan-tangan kreatif para kiai dan santri di bumi pesantren.
Bila diamati, perkembangan sastra mutakhir- khususnya di kabupaten Sumenep-berkait kelindan secara intensif dengan hiruk-pikuk sastra pesantren yang notabene mewakili sastra kampung atau sastra pedalaman. Bahkan, bisa dibilang sastra yang sarat nilai pencerahan ini menjadi tolok ukur perkembangan sastra tingkat Jawa Timur, atau bahkan tingkat nasional. Pada konteks ini, kita melihat Sumenep ternyata bukan hanya ladang tembakau dan tambak garam, tetapi juga rahim yang produktif melahirkan para sastrawan. Lihat saja Kuswaidi Syafi’i, Jamal D Rahman, Ibnu Hajar, M. faizi, Syaf Anton Wr, dan yang lain, selain sastrawan senior sekelas D. Zawawi Imron dan Abd Hadi WM.
Memang, diakui perkembangan sastra di Sumenep pada dasawarsa terakhir ini geliatnya kurang menyentak. Tidak seperti pada dekade 90-an sampai awal 2000-an yang pertumbuhannya cukup pesat dan gaungnya terdengar hampir ke seluruh penjuru kota dan desa. Mungkin, ini karena imbas euforia politik, baik level lokal maupun nasional. Seniman dan sastrawan rupanya ikut tergoda untuk turun ke lapangan perpolitikan Indonesia, bukan berkarya untuk memberikan oase moral. Mungkin benar sinyalemen bahwa sastrawan kemudian lebih merapat ke dunia proyek daripada mengasah daya kreatif mereka dan mematangkan kontemplasi serta perenungan mereka. Konsekuensinya, karya mereka tak beranjak secara mutu, mandeg dan stagnan.
Itu gambaran secara umum. Secara spesifik, kita melihat pemandangan yang sedikit berbeda dan menumbuhkan rasa optimis. Pesantren ternyata masih cukup subur melahirkan karya-karya bermutu di tengah gairah sastra yang lesu dan mati suri. Lumbung yang masih menyerbakkan aroma sastra itu, untuk menyebut sebagian kecil, adalah Pesantren Annuqayah Guluk-guluk, Pesantren Al-Amin Prenduan, dan pesantren-pesantren lain yang lebih kecil. Di situ kita masih dapat dengan mudah menjumpai komunitas sastra dengan kadar talenta yang kuat dan karya yang layak diperhitungkan secara kualitas.
Ini tidak berarti saya menafikan eksistensi dan kualitas para sastrawan yang hidup di perkotaan dan tidak memiliki latar belakang pendidikan pesantren. Mereka, pada derajat tertentu, cukup kreatif dan kaya nilai religius dan transendental. Sebut saja untuk kelompok ini nama semisal Syaf Anton WR, Hidayat Raharja, Mahendra, dan yang lain. Mungkin benar apa yang dikatakan Putu Fajar Arcana bahwa benturan tradisional-modern justru membuat orang membutuhkan bentuk-bentuk konfigurasi simbolis untuk menunjukkan bahwa kekotaan tidak berarti menghilangkan religiusitas dalam diri mereka (Putu Fajar Arcana, Kompas 27/12/2009).
Satu hal yang masih menjadi kendala laten bagi sastra kita adalah fakta bahwa sastra kita baru hanya dinikmati oleh segelintir orang, belum mendapat apresiasi sepadan dari masyarakat. Ada beberapa kemungkinan sebagai penyebab. Pertama, tingkat pemahaman masyarakat terhadap dunia sastra masih rendah, karena terkendala bahasa. Kedua, perilaku sastrawan yang sering menunjukkan keanehan dan sikap nyelenih. Ketiga, sastrawan kurang merakyat dan berbaur langsung dengan masyarakat untuk merekam aspirasi, keinginan, dan harapan mereka.
Fenomena sastra kampung memang perlu melewati berbagai batu ujian untuk menunjukkan taringnya dan berkiprah dalam dialektika kesusateraan modern. Tidak bisa dipungkiri bahwa modal finansial dan kemampuan mengeksplorasi imaji serta ketersediaan media yang dapat mengakomodir kreativitas sastra merupakan salah satu bagian penting untuk kemajuan dunia sastra. Barangkali kehadiran Khidmah ini menjadi angin segar bagi komunitas sastra kampung kita. Paling tidak, di tengah media yang lebih mengedapankan komoditas non-sastra ini Khidmah berbagi ruang untuk menampung barang sedikit dari karya-karya mereka.
Selanjutnya, mari kita gairahkan kebangkitan sastra kampung ini lewat temu sastra yang akan digelar pada tanggal 22 Pebruari 2013 di Gedung Ki Hajar Dewantara Sumenep dengan tajuk “Ulang Tahun Sastra Pesantren”. Mudah-mudahan geliat sastra, khususnya di Kabupaten Sumenep, kembali bergairah dan menjadi salah satu pilar kekuatan sastra di tanah air. Wallahu a’lam.
*) Khadam PP Raudlatul Iman, Gadu Barat, Ganding, Sumenep.