A Fahrizal Aziz
flpblitar.blogspot.co.id
Kadang saya juga heran kenapa Alfa Anisa bisa begitu ngeh nulis puisi dan bertebaran di berbagai koran. Dan kalau diminta menjelaskan, selalu bingung bagaimana memulainya. Apa jangan-jangan ini semacam euforia?
Dulu saya juga tergolong rajin nulis esai atau artikel ilmiah di koran-koran. Bahkan beberapa koran yang tak ber-honor pun. Tujuannya sebenarnya lebih pada euforia karena kala itu, sebagai mahasiswa, punya tulisan yang terpajang di koran itu nampak keren.
Baru setelah mengurus Majalah, yang sering saya tulis adalah tugas-tugas liputan dan wawancara. Ingin menulis lagi seperti dulu, tapi feel-nya agak berbeda. Apalagi setelah booming media online. Hasrat menulis esai itu bisa dengan mudah nan cepat tersalurkan.
Dan untuk mengikuti jejak Alfa Anisa yang ngeh nulis puisi, saya pun belum tentu punya feel. Sekarang, entah kenapa faktor feel menjadi sangat penting ketimbang faktor teknis. Mungkin karena hidupnya berada di iklim “kebebasan”. Bebas artinya, tidak seperti dulu waktu di Majalah dan koran, yang hidup dalam deadline. Makanya ada slogan : deadline is my inspiration.
Untuk Alfa, sastrawan memang sepertinya tidak dilatih, namun diciptakan. Yang dilatih itu adalah wartawan dan akademisi. Apalagi kontent writer, pekerjaan yang sangat mudah untuk ukuran orang yang pernah menjadi wartawan.
Tapi ada yang bilang, kalau seorang wartawan bisa bertransformasi jadi apapun. Hampir semua tokoh besar, atau penulis besar (termasuk sastrawan di dalamnya) rata-rata pernah menjadi wartawan, meski hanya wartawan kampus. Kenapa wartawan? Karena berita adalah jenis tulisan yang paling sederhana diantara semua tulisan.
Kata Mathew Arnold, sastra adalah hirarki tertinggi dari proses intelektualitas manusia. Artinya, jika bahasa berita adalah bahasa paling sederhana, maka bahasa puisi adalah bahasa paling tinggi. Tinggi dalam arti, karena memungkinkan adanya tafsir dan sebagainya. Sementara berita, tidak boleh ada tafsir. Harus jelas dan lugas.
Makanya, kata Ronald keating dalam Dead Poet Society, tidak ada seorang pun yang menjadikan sastra sebagai tujuan. Meski sastra kini sudah di-institusional-kan menjadi fakultas dan jurusan di Perguruan Tinggi. Namun mereka yang mengambil kuliah sastra, tidak serta merta menjadi sastrawan, karena itu tadi, sastrawan tidak dilatih, tapi diciptakan.
Maestro Puisi kita, Chairil Anwar bahkan tidak jelas latar belakang pendidikannya. Taufiq Ismail juga, seorang yang kini dikenal sebagai sastrawan, kuliahnya justru di kedokteran hewan. Apalagi Ajib Rosyidi, tokoh media dan juga sastrawan legendaris, bahkan hidup tanpa ijasah apapun. Termasuk Buya Hamka, dan apalagi Pramoedya, hingga Dee Lestari. Dee Lestari bahkan lulusan FISIP. Begitulah kira-kira. Maka puisi itu didiskusikan saja, jangan di teorikan.
Blitar, 19 Januari 2016