Gedung Kesenian Cak Besut

Sabrank Suparno

Saya membayangkan ada dialog antara almarhum Cak Besut dengan Cak Durasim. Bisa juga perbincangan dua tokoh maestro Ludruk itu benar-benar terjadi di alam kubur. Indikatornya apa? Jawabnya gampang, hingga membuat anda tidak tidur bermalam-malam. Apalagi ketika anda mengetahui analogi jawaban perbincangan dua maestro Ludruk ini sambil nyeruput kopi racikan Yu Darmani pengelola warung kopi nyentrik di pojok pintu masuk Desa Nglele Kecamatan Sumobito. Bukan sekedar rasa dan aroma kopinya yang cospleng, tapi di warung kopi Yu Darmani inilah seluruh teman penulis (seniman) baik lokal, regional, nasional, bahkan Miguel Fonsecca Horta seniman dari Portugis pernah saya ajak nyeruput kopi di warung ini.

Cak Besut hidup sekitar tahun 1889 hingga awal 1900an. Nama asli Cak Besut adalah Santik yang mengamen dengan dandanan badut menor, saking menornya masyarakat Jawa bagian Jombang menyebut dengan istilah lerok-lerok. Saat menor ini pengamen Santik dikenal dengan pengamen Lerok.

Berikutnya pengamen Lerok melai membangun alur cerita dalam ngamennya. Tokoh dalam lakon baku pengamen Lerok adalah dialog antara Besut, Rusmini, Paman Gondho Jamino dan Sumogambar. Dari tokoh utama Besut inilah kemudian dikenal istilah ada pengamen Besut/Besutan lewat. Tahun-tahun berikutnya lakon Besutan menjadi cikal bakal lahirnya kesenian Ludruk Jawa Timur. Tentu saja Pak Santik atau yang dikenal Cak Besut sudah wafat di jamannya.

Tokoh maestro ke dua adalah Cak Durasim yang hidup masa penjajahan Nippon 1942-1945 dan resmi menjadi seniman Ludruk, satu era baru setelah Besut mentransformasi menjadi Ludruk. Kapasitas ketokohan Cak Durasim baru tersohor sebagai pahlawan Ludruk ketika melantunkan gandangan Bakupon Omahe doro//Melu Nippon tambah soroh. Lantaran gandangan Bakupon tersebut Cak Durasim dimasukkan penjarah dan dijuluki pahlawan seniman Ludruk yang menyuarakan sikap pemberontakan terhadap kolonial. Tentu Cak Durasim juga sudah wafat dan dimakamkan di Pasar Tembok Surabaya Barat.

Oke, Cak Besut dan Cak Durasim sudah wafat sebagaimana Soekarno dan Soeharto juga telah wafat. Setiap yang wafat sudah tidak berupa benda padat: materi, melainkan Ruh abadi. Bahasa yang paling gampang untuk menangkap Ruh adalah setara cahaya baik redup atau moncer. Untuk menangkap cahaya yang paling gampang adalah cahaya firmon, yakni satuan cahaya yang menelusup menerangi bathin, dunia ide, imajinasi. Cahaya firmon berbeda dengan cahaya bozon yang berentuk fisik semisal cahaya lampu, cahaya matahari yang menerangi pantulan benda kasat mata. Berdasarkan cahaya fimon inilah para pengikut Soekarno tidak sekedar ndilalah, tidak ujug-ujug begitu saja mereka menemukan yel yel, jargon, semboyan, pakaian bahkan gerakan kenegaraan yang dulu dikumandangkan presiden pertama Indonesia itu untuk generasi penerus bangsa. Tentu ada penelusupan Ruh Soekarno yang membisikkan ide pada pengikutnya agar melakukan demikian. Begitu juga Ruh Soeharto pasti muncul dan membisikkan pada kreator untuk mengaplikasi foto presiden terlama di Indonesia itu beserta pesan barunya, “piye Le? Jik enak jamanku biyen to?” Foto dan sebaris kalimat yang suatu waktu banyak terpajang di bamper truk dan dinding fesbuk.

Demikian, bukan kebetulan jika Cak Besut dan Cak Durasim sedang berdialog dan menyelinap dalam fikiran para tukang bicak, pengamen, pedagang, seniman terutama pada penulis. Tentu ada bisikan kalbu dari dua orang bersangkutan. Tujuan kedua seniman senior ini membocorkan dialognya ke penulis supaya generasi sepeninggal mereka menghitung ulang apa sesungguhnya yang telah mereka lakukan serta sejauh mana perjuangan mereka masih disanjungkan?

Mereka membincang hal paling mendasar sebagai mantan tokoh Ludruk. Dalam bayangan saya Cak Durasim lebih hormat pada Cak Besut, sebab bagaimanapun juga Cak Besut adalah babon lahirnya kesenian Ludruk. Cak Besut menjelentrehkan kepanjangan namanya, Besut yang artinya ‘beto maksud, beberno maksud’(membawa, memaparkan suatu tujuan). Arti luasnya bahwa ada konsep yang diemban dalam kesenian Besut-an. Yakni misi berdakwah meninggikan martabat individu sebagai makhluk sosial serta martabat berbangsa dan bernegara, dalam hal ini menyadarkan adanya kekangan kolonialisme waktu itu.

Cak Durasim juga menjelaskan namanya. ‘Dur-Asim’ gabungan dua tokoh besar dalam satu garis keturunan, yakni Gus Dur cucu Kiai H-asyim Asy A’ri. Dua tokoh yang menyatu dalam karakter berbeda. Kiai Hasyim Asy A’ri berpenampilan formal sebagai konsekuensi tokoh spiritual, sedang Gus Dur berbudaya sadur, manaruh keseimbangan antara kedalaman ilmu (nilai) yang disampaikan secara kelakar. Kiai Hasym Asy A’ri disiplin mengembangkan nilai dengan jalan tradisi, sedang Gus Dur menjalankan tradisi untuk mengendarai modernisasi. Artinya, Cak Durasim dilahirkan untuk menangkap fenomena yang bereda dalam satu alur transformasi budaya.

Berikutnya Cak Durasim mengungkapkan kesungkanannya pada Cak Besut perihal namanya yang sudah diabadikan sebagai nama gedung kesenian tingkat propinsi, yakni Gedung Kesenian Cak Durasim di Jalan Gentengkali Surabaya. Sedangkan nama Cak Besut yang melahirkan kesenian Ludruk justru belum disentuh sebagai tanda peradaban yang dilahirkannya. Seharusnya di Jombang, kota yang melahirkan cikal bakal kesenian agung Ludruk sudah dibangun Gedung Kesenian Cak Besut. Supaya generasi penerusnya tidak kewohan jika ditanya rekan atau sejawat tentang adanya gedung kesenian di Jombang. Bagaimanapun juga Jombang adalah wilayah berperadaban tua yang dikenal secara nasional. Aneh jika sebuah kota tersohor perihal fasilitas gedung kesenian saja dibanding wilayah lain, Jombang paling molor.

Antisipasi Cak Durasim atas generasi penerus inilah yang kerap menimpa masyarakat Jombang. Salah satu contoh apa yang saya alami sebagai generasi Jombang terjadi saat Muktamar NU-33 di Jombang 1-5 Agustus lalu. Di mana semua tokoh, termasuk seniman di dalamnya tumplek blek mengunjungi Jombang. Selaku warga tuan rumah pasca-Muktamar lalu kebetulan tempat saya dihuni sekitar 20 rekan wartawan on line PBNU dan 100 personil pendekar silat dari Banyuwangi yang diutus khusus mengawal keamanan kiai sepuh. Selain ditempati, saya juga antar-jemput tokoh senior D. Zawawi Imron (penyair Celurit Emas), Ahmad Tohari (novelis Ronggeng Dukuh Paruk) dari penginapan untuk diskusi di salah satu tempat makan di Jombang yang kebetulan di rumah makan tersebut secara tidak sengaja bertemu dengan rombongan Zeni Wahid. Salah satu lontaran pertanyaan yang sama dari para tamu, “lho masa di Jombang belum ada Gedung Kesenian? Gak masuk akal itu! Paribasane lho, ngapain aja yang dilakukan tokoh-tokoh besar Jombang selama ini? Baik yang pernah menjabat atau yang sedang menjabat. Baik yang di dalam Jombang atau yang kondang di luar kota, kok gae Gedung Kesenian aja gak bisa.”

Jombang, 3 Desember 2015.

Leave a Reply

Bahasa »