SASTRA DAN KESESATAN

Agus Sulton

Karya sastra secara konvensi bagian seni, berarti karya muncul bagian dari hasil kegelisahan-responsif penulis terhadap kondisi sosial, dan “terkadang” bersifat menghibur. Ilmu sastra, bagian terpisah yang secara nyaman memperbincangkan surplus ragam tekstual kekaryaan dari berbagai aspek sudut pandang kajian. Karya sastra tampil menawarkan berbagai fenomena, isu sosial, kritik, agitasi, propaganda, dan sebagainya. Seringkali penulis pun subjektif memahami bangunan sosial untuk ditorehkan dalam dunia imajinasi, walaupun sesekali menyuguhkan kejadian yang dianggap benar terjadi.

Dalam diskusi sastra pada hari Selasa, 26 Januari 2016 di kediaman Andhi Setyo Wibowo (cak Kepik) Jombang mengangkat tema “ Sastra dan Kesesatan” sebagai pembicara Binhad Nurrahmat dan moderator Zen Segendal berlangsung secara kondusif dan sesekali liar. Tema itu diusung berangkat atas fenomena sosial yang disibukkan terhadap isu gafatar, dinilai sesat dan berbahaya secara moril maupun material. Akar persoalannya, konsep “sesat” sangat krusial yang lahir secara dogmatis, dan dianggap kemungkaran.

Dalam dunia fiksi, teks ruang sosial hadir-berangkat dari dunia imajiner sekaligus memiliki multikulturalisme. Pembaca mempunyai hak penghakiman memaknai hasil kreatifitas pengarang berdasarkan pengetahuan dan latar belakang yang menyertainya. Pembaca adalah konsumen, dan konsumen mempunyai banyak pilihan untuk memilah karya yang dirasa sesuai. Kekuatan karya sastra bukan dari bagaimana karya itu menyodorkan teks berbahaya dan berakibat dampak yang tidak diharapkan tetapi bagaimana teks itu menyajikan stimulus dan kekuatan ilmu-pengetahuan si pembaca merespon isu-isu teks.

Dunia karya sastra adalah dunia subjektive fiction. Dunia yang takut terhadap intimidasi dunia realitas. Tawaran teks imagination building dihadirkan terkadang dimaknai sebagai teks yang berbahaya, mengancam keberadaan sistem sosial maupun keagamaan. Dunia imajinasi hadir menyimpan tradisi yang kuat dari pada dunia realitas yang dapat dimanipulasi. Agama nenek moyang lebih dulu hadir, sekaligus ada sebagai sandaran terkuat dari pada kajian objejektif untuk melakukan penghakiman akan dunia imajinasi.

Teks karya sastra dijustifikasi “sesat” berjalan atas keilmuan konsumen. Pribadi konsumen terindikasi naluri dogmatis yang mengharuskan menilai fenomena-fenomena peran dan story bertolak belakang. Dalam dunia imajinasi, tokoh utama melakukan agitasi atau propaganda terhadap tokoh pendukung atas filsafat marxisme disebut-sebut sangat berbahaya oleh dunia realitas karena dikhawatirkan kekuasaan secara concrate merasa terancam. Teks ini dikatakan “sesat “secara politik dan dikata sangat berbahaya, sekaligus meneror pihak mayoritas.

Indikator “sesat” atau bisa disebut “berbahaya” secara moral budaya dan agama apabila teks itu dikonsumsi oleh seseorang yang tingkat nalarnya belum mempu mencerna nalar imajinasi dan memberikan dampak atas dirinya. Teks karya sastra menyimpang, merupakan imajinasi yang dibangun dari realitas konvensi syariat Islam. Di dalamnya mengajarkan jalinan peristiwa-peristiwa pekerti yang memberikan dampak positif terhadap pembaca, bukan lagi mempermasalahkan korelasi patologi sosial. Padahal kalau kita tengok secara filosofi, karya sastra lahir atas kondisi sosial yang ada, sastra merupakan cermin atas dunia realitas.

Dalam karya-karya manuskrip kuno, persoalan amoral dan menyimpang dari konvensi tidak sedikit, seperti manuskrip Hikayat Nabi Bercukur dan Syair Kanjeng Nabi, kedua teks ini mempunyai kesamaan fungsi, yakni apabila mau membaca manuskrip itu selamat dari siksa kubur, dosanya sudah dimaafkan, malaikat Mungkar dan Nangkir tidak akan bertanya, semasa hidupnya tidak akan kekurangan rizki, mati tidak akan masuk neraka. Teks semacam ini dinilai sangat ”menyimpang” padahal teks keduanya sebatas menceritakan tentang Nabi Muhammad SAW bercukur. Hal senada terjadi pada manuskrip Serat Mursada, tersimpan di Museum Mpu Tantular Sidoarjo bernomor 07.212M, manuskrip itu digadang-gadang sebagai manuskrip pesisir yang mengajarkan ajaran-ajaran Islam, padahal teks manuskrip Serat Mursada banyak menceritakan tantang perjalanan hidup Raden Mursada (tokoh utama) yang cabul pada suatu ketika di tempat peribadatan Pura, ia melakukan hubungan seks bebas dengan jin.

Dengan demikian, penghakiman atas teks karya sastra “sesat” menyimpang dan tidak sesat adalah belum semestinya karena karya sastra hadir atas kristalisasi atau kegelisahan penulis dalam membaca realitas. Dunia imajinasi diharapkan mampu menyodorkan secara totalitas akan dunia objektif tanpa unsur intimidasi atau merasa terancam atas dunia imajinasi. Dunia realitas hadir atas dunianya dengan beragam corak yang lebih kuat secara apa adanya dari pada dunia imajinasi yang lahir dari gambaran serpihan realitas.

*) Dosen PBSI Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *