SENO, SI ANAK PEMULUNG

Liya Izzatul Iffah *
Radar Jombang, 27 Nov 2016

Seno adalah namaku, aku hidup bersama ayah angkatku di perkampungan kumuh, beratap langit beralas hamparan bumi yang dipenuhi dengansetumpuk sampah masyarakat. Kehidupanku yang diwarnai dengan cacian, hinaan dan pukulan orang yang tidak mau memberikan secuil rizkinya untukku.

Hidupku hanya untuk mengharap belas kasihan dari mereka yang mampu, mempu mendapatkan segala hal yang mereka inginkan tanpa mengemis dan berpanas dengan setumpuk rongsokan sampah seperti diriku saat ini. Aku tak tahu siapa ayah dan ibuku. Kata orang aku adalah anak hasil hubungan gelap, dan setelah ibuku melahirkanku, aku dibuang ke tempat sampah. Mungkin saat itu, Tuhan iba melihat bayi menangis dan meronta-ronta kehausan di tempat kotor itu. Ia mengirimkan seorang pemulung tua berhati malaikat yang kemudian ia memungutku dan merawatku hingga saat ini.

Aku duduk bersila menatap ayahku. Ia sedang menghitung uang hasil kerja kerasnya mengumpulkan dan menjual rongsokan. Walaupun ia seorang pemulung tapi hatinya lebih mulia dari pada seorang yang telah membuangku dulu. Aku selalu mengutuk mereka.Entah mereka masih hidup atau tidak, aku tak peduli.

“Kenapa kau melihatku seperti itu.”
Ia membuyarkan lamunanku
“Aku hanya ingin manatap ayah saja.”
Ayah tersenyum dan mendekat kesampingku
“Ada yang ingin kau tanyakan pada ayah.”
“Apakah kita akan selalu hidup seperti ini yah?”
“Kenapa kau bertanya seperti itu? apa kau mulai bosan hidup seperti ini!”
“Iya yah. Aku lelah yah, lelah di maki-maki orang. Lelah meminta belas kasihan mereka dan aku ingin sekolah seperti anak seusiaku lainya. Kata ayah hidup itu pilihan, tapi mengapa aku masih hidup seperti ini? Padahal ini bukan pilihan hidupku?”

“Hidup bukanlah untuk memilih saja tetapi hidup juga perjuangan, kalau kita hanya memilih apa yang kita inginkan saja tanpa disertai perjuangan atau usaha, kita tidak akan dapatkan apa yang kita inginkan.”
Aku terdiam dan merenungi perkataan ayah.

“Berararti aku harus berusaha lebih keras lagi biar aku bisa sekolah seperti anak-anak seusiaku lainya?”
“Tentu saja Seno, kau lihat orang yang di sepanduk itu. Tak mungkin orang itu langsung jadi pengusaha sukses, pastinya mereka berusa berjuang dulu sebelum mereka sukses seperti saat ini.”
Aku mangut-mangut berusaha memahami perkataan ayah.

“Terimakasih ayah. Mulai saat ini aku akan berusa memperjuangkan hidup ku. Lihat saja ayah tidak lama lagi kita akan hidup tanpa meminta bela kasihan lagi, entah lima atau sepuluh tahun lagi. Aku janji yah.”

Ayah tersenyum menatapku dan mengelus ubun-ubunku. Kami memandang atap langit, berharap Tuhan mendengarkan percakapan kami dan mengabulkanya.Kemudian kami memasuki rumah kami, rumah yang baru kami bangun dari serpihan kayu bekas bangunan yang tak terpakai. Walaupun masih terlihat tempat tinggal yang tak layak tapi setidaknya kami punya tempat untuk tidur, tanpa harus diusir dan dimaki-maki orang setiap pagi.

Keesokan harinya aku dan ayah beraktifitas seperti biasa, ayah pergi mencari rongsokan dan aku pergi ke pertigaan lampu merah dengan membawa alat musik andalanku. Namun, pada saat itu langkahku terhenti dan pandanganku teralihkan pada segerombolan anak berseragam sekolah hendak menyeberang menuju ke sekolah. Karena aku penasaran, aku ikuti sampai sekolah mereka tapi, langkahku terhalang oleh seorang laki- laki berbadan tinggi kekar ketika aku sampai di gerbang dan akan masuk ke dalam sekolah..Ternyata orang itu adalah satpam sekolah.

“Heh kamu berhenti!”
Aku berhenti berjalan dan melihat kesumber suara.
“Bapak manggil saya?”
“ Iya kamu, ke sini! Mau apa kamu kesini? Mau minta-minta?”
“Aku mau sekolah pak.”
Satpam itu malah tertawa, terpingkal-pingkal.
“Haha, kamu punya uang berapa kok mau sekolah?”
Aku merogoh saku celana kumalku. Berusaha mencari serpihan uang receh yang tersisa.
“Lima ribu pak.”

“CUMA LIMA RIBU ? dapat apa kamu dengan uang lima ribu? beli sepatu sekolah aja nggak cukup dengan uang segitu. Asal kamu tahu ya nak, kalau kamu pengen sekolah, kamu harus punya uang banyak dulu baru bisa sekolah. Kalau cuma lima ribu ya mana mungkin cukup…ha..ha..ha.. dunia ini memang aneh, mana mungkin pengemis bisa sekolah. Hayyalan saja …ha…ha..ha… sudah-sudah sana pergi!! Tempatmu tidak disini.”

Aku menatap wajah satpam itu tajam dan pergi dari tempat itu dengan penuh kemarahan. Hatiku sangat sakit dihina satpam jelek itu. Rasanya aku ingin melempar satpam itu dengan batu besar. Tapi, dari perkataan satpam itu menumbuhkan ribuan pertanyaan dalam benakku. Apakah sekolah bagi yang mampu saja? apakah sekolah tidak pantas didapatkan anak-anak jalanan seperti diriku ini? Apakah bangsa ini akan membiarkan hal ini terjadi? Terngiang di kepalaku, perkataan ayah kemarin malam bahwa hidup adalah perjuangan.Aku harus memperjuangkan ini semua.

Setelah kejadian itu aku mulai giat mencari pekerjaan dari mulai cuci piring di warung-warung, menjual koran dan menjadi tukang semir sepatu. Uang hasil pekerjaan tersebut aku tabung. Sampai suatu ketika uang yang aku kumpulkan hasil dari pekerjaanku selama ini telah cukup banyak. Setidaknya cukup untuk mendaftarkan diriku kesekolah. Ayah mengetahui niatku, ia mengantarku daftar kesekolah dan ayahku memberi hadiah seragam sekolah.
“Ini seragam sekolahmu, ini hadiah dari ayah atas kerja kerasmu selama ini.”
“Terimakasih yah, aku sangat senang sekali, yah.”
Ayah mengelus ubun-ubun kepalaku.

“Besok adalah hari pertama kau sekolah. Persiapkan dirimu dan sekarang tidurlah! Supaya besok kau tak kesiangan.”
Aku bangun pagi-pagi sekali, kubersihkan badanku lalu ku pakai baju seragam sekolah kebanggaanku. Ini adalah hari yang paling membuatku bahagia dari hari-hari yang lain. Hari pertama aku sekolah, ayah mengantarku. Ia mengenakan baju yang paling bagus yang ia miliki walaupun terlihat sobek dibagian sakunya. Aku dan ayah berhenti di depan gerbang sekolah disamping gerbang terdapat gapura yang tertulis SD Kartini.Ku pejamkan mataku kuhirup dalam-dalam udara kedalam rongga hidungku. Di tempat ini aku akan belajar, mendapatkan teman, dan di tempat inilah aku akan membuat ayah bangga mempunyai anak sepertiku. Ketika kubuka mataku, ayahku sudah duduk di depanku ia menelus ujung kepalaku.

“Ini baru secuil keinginanmu yang terkabul, masih banyak ribuan keinginanmu yang belum tercapai. Di tempat inilah kamu akan mendapatkan semua nantinya. Semangat anakku, ibaratkan sekolah seperti jembatan menuju kesuksesanmu, kamu harus hati-hati dan berkonsentrasi dalam belajar agar kamu sampai kepada tujuanmu.”
Ku balas dengan anggukan kepala lalu kucium tangan kanannya.
“Doakan Seno ya yah, Seno akan menepati janji Seno.”

Ayah tersenyum kemudian berpamitan pergi meninggalkanku. Aku masuk kedalam sekolah didalamnya berjajar gedung-gedung tinggi dan mempunyai banyak ruangan. Aku masuk dengan ditemani seorang guru yang akan menunjukkan kelasku. Ketika aku sampai di kelasku yaitu kelas 5. Guruku menyuruhku memperknalkan diri dihadapan teman-temanku.Setelah itu aku langsung mengikuti pelajaran. Awalnya aku kesulitan dalam memahami semua pelajaran tersebut karena aku sudah tertinggal materi jauh dari teman-temanku namun, teman-teman dikelasku baik padaku mereka berbaik hati mengajarkan materi-materi yang tertinggal padaku. Walaupun dari sebagian mereka banyak yang tidak suka padaku, karena mereka tahu bahwa aku anak pemulung.Aku terus berusaha belajar dengan giat dengan berbagai cara namun aku tidak mampu membeli buku-buku paket. Tidak mungkin kalau aku terus-terusan pinjam temanku.

Akhirnya aku memutuskan tetap bekerja seperti biasanya. Sepulang sekolah aku tidak langsung pulang, aku harus mencuci piring-piring kotor di warung-warung dan menjual koran-koran sampai sore memanggil. Aku harus tetap bekerja agar tetap bisa sekolah dan dapat membeli buku-buku paket itu. Begitulah kegiatanku setiap harinya. Berkat kerja keras dan perjuanganku, akhirnya aku mampu tetap meneruskan sekolah sampai jenjang SMA. Kemudian melanjutkan keperguruan tinggi, dan aku diterima di perguruan tinggi ternama dengan beasiswa prestasi yang diajukan oleh sekolahku dulu. Aku memasuki jurusan menejemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Indonesia.

Aku dan ayahku tidak lagi tinggal dirumah kayu itu, kami sekarang tinggal dirumah kontrakan. Ayah tidak lagi menjadi pemulung, karena usianya yang semakin tua dan fisiknya semakin lemah ia memutuskan membuka warung kopi dirumah. Namun, sebelum aku sempat masuk kuliah. Tuhan menurunkan ujian yang sangat besar dalam hidupku. Aku sempat putus asa dengan semua itu. Tuhan telah mengambil ayahku, ayah jatuh sakit dan meninggal. Sebelum meninggal ayah sempat meninggalkan pesan padaku.

“Seno, kau baru saja akan sampai pada pintu kesuksanmu. Jika suatu saat kau telah mendapatkan apa yang kau inginkan dan jika kau bertempat di posisi atas nantinya. Kau harus tetap menjadi Seno, Seno yang selalu bersemangat dan selalu membantu orang yang kesusahan. Dan jika esok kau sudah mempunyai uang banyak, bangunlah sekolah bagi anak-anak yang tidak mampu lainya karena mereka hanya bisa berharap dan menunggu keberuntungan menimpa mereka, salah satunya keberuntunag darimu.”

Aku memegang tanganya yang telah kaku dan dingin. Kuantar jasdnya sampai keliang lahat. Sekarang aku sendiri, tidak ada ayah di sampingku. Dua puluh tahun lamanya aku hidup dengan kasih sayangnya dan kini ayah telah pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya. Tapi aku harus bangkit, aku tidak boleh terus terpuruk seperti ini dan aku harus mewujudkan permintaan ayahku yang terakhir kalinya. Aku memulai aktifitas kuliahku. Aku terus belajar dan bekerja dengan giat sampai akhirnya aku berhasil meraih gelar sarjana yang kutempuh selama empat tahun.
***

15 tahun kemudian
“Ayah, sekarang aku telah mendapatkan apa yang telah aku inginkan. Aku telah melakukan semua yang kau inginkan ayah. Apa kau bahagia di sana ayah? Terimakasih atas segalanya ayah. Aku bersyukur pada Tuhan, walaupun aku anak yang dibuang oleh orang tuaku sendiri tapi aku bahagi pernah hidup dan berjuang bersamamu selama dua puluh tahun amanya, dan merasakan kasih sayang darimu.”

Jombang, 28 Oktober 2016
*) Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) FIP Universitas Hasyim Asy’ari Jombang.

Bahasa »