Sisi Rosida
harian.analisadaily.com
POST-STRUKTURAL merupakan sebuah teori terhadap teks-teks sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur teks. Aliran post-struktural memandang kritik sastra, harus berpusat pada karya sastra itu sendiri. Tanpa harus memperhatikan sastrawan sebagai pencitra dan pembaca sebagai penikmat.
Dengan begitu, kritik sastra tidak tergantung dari aspek eksternal karya sastra tersebut, penelitian juga menjadi positivistik. Berdasarkan teksnya, dapat dibuktikan secara empirik dengan merujuk teks sastra yang kita telaah.
Berbagai macam teori post-struktualis, di antaranya teori semiotika dan teori Hermeutika. Menurut Ricour (2014:24) Semiotika adalah ilmu tanda berasal dari kata Yunani Semeion. Berarti tanda, dimana tanda-tanda merupakan semata keutuhan basis. Objek semiotik (tanda) semata bersifat virtual. Hanya kalimat yang bersifat aktual dikarenakan dia merupakan peristiwa pembicaraan.
Tidak berbeda jauh dengan teori hermeutika. Teori hermeutika merupakan kajian untuk menyingkapkan makna objektif dari teks-teks yang memiliki jarak, ruang dan waktu pembaca, Ricour (2014:181).
Mengapresiasi sastra dengan mengkritik karya sastra, tentu dapat memberikan suatu kualitas bagi karya sastra. Suatu karya sastra dapat dianalisis, diklasifikasikan. Akhirnya dinilai oleh masing-masing pembaca. Fungsi utama sastra adalah sebagai representasi atau cerminan dari kehidupan manusia, sedangkan manusia sendiri mengalami perkembangan. Untuk itu, diperlukan teori untuk mengintepretasikannya. Teori sastra, “sebuah pisau bedah” yang digunakan untuk “mengoperasi “ karya sastra.
Pasalnya kritik sastra saat ini lebih cederung dengan penilaian subjektif, makna cerita dan kelebihan-kekurangannya. Kita dapat membahas kemenarikan suatu karya sastra berdasarkan penerimaan dari pembaca. Memang, karya sastra merupakan komunikasi antara sastrawan dan pembacanya. Dalam menyampaikan idenya, sastrawan tidak dapat dipisahkan dari latar belakang dan lingkungannya. Bentuk komunikasi semacam inilah yang melahirkan berbagai kajian. Seperti pendekatan ekspresif, objektif, mimetik, pragmatik dan interdisipliner sastra.
Seiring dengan perkembangan zaman kajian-kajian tersebut tersekan jadul. Karena hanya mengeritik dari kulit luarnya saja, seperti pada pengarang, bagaimana proses kreatifnya dan mengklasifikasikan tema, alur, setting dan sebagainya.
Banyak aspek yang dapat dikritik dari sebuah karya sastra. Kritik sastra dapat mengalami perkembangan dengan munculnya teori-teori yang berasal dari barat. Dalam hal ini, kita dapat mengkaji sastra dengan analisis wacana. Membedah teks berdasarkan simbol-simbol, struktur, makna, dan ideologinya.
Kritik sastra secara konkret menggunakan teori-teori, saat hanya digunakan untuk kepentingan penelitian perkuliahan saja. Pada jenjang perguruan tinggi, kita akan mempelajari tentang perkembangan teori modern. Hal itu hanya pembelajaran semata. Sangat jarang ditemukan kritik sastra di media cetak menggunakan post-struktual dan teori kritis.
Kelahiran kritik sastra post-struktural hadir aliran filsafat yang muncul setelah paham struktural. Dari upaya yang dirintis oleh Rusia yang ingin membebaskan sastra dari lingkugan ilmu lain, seperti psikologi dan sejarah. Mereka ingin melihat sastra sebagai tindak bahasa atau kata. Misalnya pada sebuah cerpen, dapat dikaji dari segi bunyi, morfologi, sintaksis dan semantik.
Tugas utama dari teori post-struktualis adalah memahami teks. Sebuah teks ditulis bukan untuk pembaca tertentu, melainkan kepada siapapun yang bisa membacanya, tidak terbatas pada ruang dan waktu. Dapat dikatakan pula, teks membangun hidupnya sendiri, karena sebuah teks adalah sebuah monolog.
Objek dari ilmu-ilmu sosial memiliki karakter sebagai teks. Dengan demikian, metodologi kajian untuk itu haruslah bersifat interpretatif. Sebuah tindakan bisa bermakna apabila mengaitkannya dengan konteks-konteks yang berlainan.
Teori ini tentu sebagai gebrakan atas pencerahan pemikiran kontemporer dan memberi wawasan baru dalam segi teks sastra. Selain menggunakan post-struktural, kita juga bisa mengkaji sastra dengan teori kritis. Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress dan Tony Trew merupakan sekelompok orang yang mendirikan aliran linguistik.
Pendekatan yang mereka lakukan kemudian dikenal sebagai Critical Linguistik. Para linguis kritis percaya, pilihan bahasa dibuat menurut seperangkat kendala, ideologi politik, sosial dan cultural. Mereka juga melihat tata bahasa (grammar) tertentu menjadikan bahasa tertentu (diksi) membawa implikasi dan ideologi tertentu.
Tokoh-tokoh analisis wacana kritis meliputi Theo Van Leeuwen berupa analisis wacana tentang kelompok atau seseorang yang dimarginalisasikan posisinya. Sara Mills dengan analisis menitik beratkan pada perspektif feminisme. Teuw A van Dijk menganalisis tentang teks, kognisi sosial dan konteks sosial.
Analisis Norman Fairclough wacanakan translation, interpretation, extrapolasi, meaning, teks mikro dan masyarakat makro. Roger Fowler dengan analisis kata dan kalimat. Mickhael Backthin menganalisis dialogisme dan karnaval.
Begitu banyak teori baru yang dapat sebagai landasan dalam mengkritik sastra, terutama dari segi teks. Menganalisis sastra bukan hanya sekadar dari kulit luarnya saja. Melainkan dapat ditelaah dari segi teks, konteks sosial, diksi, ideologi, stuktur dan simbol. Dapat pula dikupas dengan menggunakan post-stuktural dan teori kritis. Sehingga dapat memberi nilai yang berkulitas dan ilmiah bagi sebuah karya sastra.
UMSU, 2016
http://harian.analisadaily.com/rebana/news/kritik-sastra-post-struktural-dan-kritis/212023/2016/02/06