Suara Merdeka 17 Mei 2015
SENANDIKA KAMA
Setiap kali aku menghadapi puisi
Aku ingat dirimu yang menyimpan ketabahan bumi
Melalui gunung aku tahu cara merenung
Lewat lembah aku diajari cara merendah
Dan angin terus berhembus, mengelus segala yang aus
seolah membimbing bagaimana cara mencintai dengan tulus
Setiap kali aku ditantang untuk menggubah madah
Aku ingat dirimu yang mengandung kesabaran tanah
Agar bisa diam aku mengaji kepada bebatuan
Yang senantiasa sibuk menegaskan kesenyapan
Untuk memahami nyala aku berguru pada cahaya
Yang tak henti-hentinya mengintai gelap-gulita
Setiap kali aku ingin menghadang syair
Aku ingat dirimu yang menampung ketenangan air
Cinta, yang aku bayangkan sejak lama
Seperti jalan lempang menuju surga
Tak tahunya ia menunjuk ke arah bandusa
Tempat airmata melampaui kesedihannya
Setiap kali aku mau menyongsong sajak
Aku ingat dirimu yang merawat keluwesan ombak
Bagaimana cinta ini hendak kujelaskan
jika Langit mewartakan ketinggian
Laut mengabarkan kedalaman
dan Samudra menandai keluasan
Setiap kali aku hendak menyambut kidung
Aku ingat dirimu yang setia memiara kicau burung
: Tak pernah, atau memang selalu, Takdir Penyair
Kegelisahannya terus berdesir;
dari semenjak hadir hingga detak berakhir
OBOTUARI CINTA
Sebelum pergi dari hadapanku
kauamanatkan senyummu kepadaku
supaya sewaktu-waktu ingat kau,
begitu wasiatmu, batinku tak kacau
Pada malamku kau lebih dulu terbit di kepala
ketimbang kelam yang bangkit menguasai suasana
Kubiarkan masasilam mengepung seluruh waktu
agar tiap jengkalnya bisa kutaswir ke dalam buku
Dalam hidupku kau rimbun pohon yang menaungi kesedihanku
akarnya menjalar ke bagian terdalam dari kepercayaanku
Tak akan cukup lautan menjadi pengganti dalamnya rindumu
tak akan sanggup langit menjadi penebus luasnya kangenmu
Sebelum kau sirna dari diriku
cahaya matamu kauwariskan kepadaku
agar jika seluruh dunia mendadak redup
ingatanku tentangmu tetap hidup
Kau alasan yang membuatku insaf dari rasa cemburu
karunia yang merangsang kesadaranku melawan ragu
Di gelap kabutku kau matahari yang menyerahkan sinar
dalam kemarauku kau hujan yang turun sebagai penawar
Barangkali tak ada lagi yang perlu aku tunggu
kau telah tamat dan berubah kekal sebagai masa lalu
Aku kini berjihad merelakan kau menjelma ilusi
dan aku akan belajar menghadapi sepi seorang diri
Kusemayamkan kenanganmu dalam hatiku
kupahat namamu di batu nisan dalam jiwaku
kutaburi kembang kamboja yang tumbuh dari dukaku
dan setiap hari akan kusiram dengan airmataku
Usman Arrumy, penyair kelahiran Demak. Pada 2012 ia memprakarsai penerbitan antologi puisi pesantren bertajuk Jadzab. Pada 2014, ia menerbitkan antologi tunggal kumpulan puisinya, Mantra Asmara. Kini ia sedang mengenyam pendidikan di Fakultas Lughoh wa Adab, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.