Veven Sp. Wardhana *
Majalah Tempo 30 Nov 2009
UNGKAPAN ”bahasa menunjukkan bangsa” secara telak dibuktikan lembaga Pusat Bahasa—jika makna bangsa sama maknanya dengan ”sebuah peradaban”. Peradaban sendiri tidaklah universal, namun berbeda-beda pada masing-masing bangsa, suku bangsa, bahkan komunitas. Pusat Bahasa boleh jadi merupakan bagian dari subkomunitas itu. Salah satu peradaban Pusat Bahasa tercermin saat menerbitkan 10 novel berbahasa Indonesia yang didasarkan legenda lama, yang berbahasa awal Jawa, Bali, Bugis, Jawa kuno, Batak, dan bahasa ”lokal” lainnya. Yang dijadikan acuan 10 penovel bukanlah ceritera yang berbahasa awal tadi, melainkan pada kisah yang sebelumnya sudah dibahasaindonesiakan.
Sebagaimana terbaca, pencetakan novel-novel itu tampak begitu ceroboh, untuk tak memperhalusnya dengan kata tidak ajek. Dalam beberapa novel yang diluncurkan pada Oktober 2009 itu, terkadang tertulis ejaan putri, sesekali puteri, selain tercetak menghawatirkan (Agus R. Sarjono, Mengasapi Rembulan), permaesuri, khayangan (Gola Gong & Tyas Tatanka, Mundinglaya Dikusumah), Tahun Hijrah (harusnya hijriah) (Abidah El Khalieqy, Kisah Tuhu dari Tanah Melayu), pakam (Hamsad Rangkuti, Arjunawijaya), dan beberapa lainnya lagi.
Selain itu, juga tertemukan pemenggalan kata di tengah-tengah larik, bukan untuk ganti baris, yang tak semestinya seperti ku-minta, menyilau-kan, de-ngan, le-mah (Yanusa Nugroho, Lubdaka yang Berkelebat), perlahan-la-han atau penulisan kan layaknya ”bahasa gaul” menjadi khan (Imam Budi Utomo, Janji yang Teringkari). Jarak spasi antarkata, bahkan antaraksara, yang terkadang sangat rapat sehingga sukar dibaca atau malah sangat renggang—bahkan ada suku kata yang terpental jauh—menjadikan tampilan visual pagina buku tampak kotor.
Kesalahan penulisan bisa dimusababkan kemalasan penulisnya membaca ulang, bisa pula lantaran penyuntingnya memilih tak rajin agar terhindar dari pusing, dapat juga dikarenakan korektor yang teledor; atau paling mudah menimpakan kesalahan pada pihak percetakan yang mencetak berkas atau kintal (file) lain yang sama sekali belum disentuh penyunting dan pengoreksi. Jika benar demikian, penerbitan prestisius 10 novel ini jadi benar-benar menguarkan peradaban yang tak tertata dan terkelola secara baik dan benar. Terjemahannya: ada ketidakberesan koordinasi dan semacamnya dalam tubuh lembaga di bawah Departemen Pendidikan Nasional itu.
Tentu, penerbitan 10 novel berdasar legenda lama tak diniatkan untuk menunjukkan kekarut-marutan penulisan, penyuntingan, dan penataletakan berbahasa belaka. Mungkin, ada sebuah nilai kebangsaan atau peradaban yang termaktub dalam naskah lama yang hendak ditawarkan atau dihangatkan kembali ke masa sekarang. Dalam bahasa sok puitik, bisalah dirumuskan bahwa penerbitan 10 novel adaptasi, adopsi, modifikasi (atau apa pun istilahnya—yang pasti bukan plagiasi) itu dimaksudkan untuk merajut kearifan masa silam dalam menghadapi zaman mendatang. Untuk maksud tersebut, yang mungkin saja sangat mulia, tentunya sangat terbuka untuk didiskusikan dan didebatkan, mengingat rata-rata cerita lama itu cenderung dimaksudkan sebagai legitimasi kekuasaan semasa. Adakah para pembaca kiwari masa kini itu juga diharapkan agar juga melegitimasi hal yang sama? Itu soal yang berbeda.
Karena masih ingin fokus pada perbahasaan, niat Pusat Bahasa sebagai pemangku proyek bisa berbeda dengan niat saya saat membaca: saya ingin menemukan kata, istilah, ungkapan, atau apa pun yang berkaitan dengan bahasa khas yang merujuk pada benda, kegiatan, peradaban, dan semacamnya yang berkaitan dengan masa ceritera lama tersebut ditulis—dan itu tak sebatas pada kata alkisah, sebermula kata, hatta, duli tuanku, ampun beribu ampun, dan seterusnya. Saya, memang, menemukannya, antara lain: wanciran, miana, sulasih, rambang, kelurak, waribang, yang rata-rata merupakan nama pohon atau tumbuhan; selain lingir (tepi), bungah (gembira), dan beberapa lagi lainnya yang tak ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (terbitan Balai Pustaka, Jakarta) dan Tesaurus Bahasa Indonesia (Eko Endarmoko, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006).
Bukan saya hendak menyatakan bahwa kata ”lama” identik dengan bahasa khas susastra—sebagaimana dikesankan lirik-lirik lagu pop Indonesia yang sok puitik—namun, saya hendak mengetes atau menguji sejauh mana bahasa atau kata ”lokal” pun bisa sama netralnya dengan bahasa asing untuk menyebut sesuatu yang selama ini dianggap jorok atau tabu atau tidak santun jika disebut secara apa adanya. Dalam Kisah Tuhu, Abidah El Khalieqy mencoba membuktikan itu saat menggunakan kata zakar—tanpa harus mengganti menjadi penis atau kemaluan.
Kalau ada yang mendadak jengah pada yang ditulis Abidah, dalam kata pengantar buku-buku tersebut memang dinyatakan bahwa 10 novel itu ditujukan untuk anak-anak. Jalan keluarnya: ya, teks pengantarnya saja yang disempurnakan.
*) Veven Sp. Wardhana, penghayat budaya massa.