Binatang yang Memperkaya Bahasa

Samsudin Adlawi *
Majalah Tempo, 16 Des 2012

Binatang punya sumbangsih besar terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Selain serapan dari bahasa asing dan daerah, banyak kosakata untuk istilah dan ungkapan dalam bahasa Indonesia berasal dari binatang. Istilah atau ungkapan yang menggunakan nama binatang itu kebanyakan dipakai untuk mewakili ekspresi, baik negatif maupun positif.

Ketika Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan, akhir Oktober lalu, menyatakan ada anggota Dewan Perwakilan Rakyat suka meminta upeti kepada perusahaan negara, muncul istilah sapi perah. Pengamat mengatakan BUMN selama ini menjadi sapi perah para politikus. Bahkan Dialog Petang Metro TV menampilkan visualisasi BUMN “Sapi Perah” DPR dalam bentuk ilustrasi sapi bertulisan BUMN sedang diperah susunya oleh anggota DPR. Andai kawanan sapi perah bisa ngomong, pasti mereka akan ramai-ramai berdemo, memprotes penyelewengan makna itu. ’’Susu kami menyehatkan, kenapa kami disamakan dengan anggota DPR pemeras? Kami tidak terima!’’ kira-kira begitu pekik mulut sapi perah.

Binatang lain yang menjadi ’’korban’’ kesewenang-wenangan manusia adalah cicak dan buaya. Seperti diketahui, istilah ’’cicak versus buaya’’ muncul ketika terjadi perseteruan hebat antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan kepolisian. Personifikasi itu diciptakan oleh Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji. ’’Cicak kok mau melawan buaya,’’ kata Susno dikutip majalah Tempo edisi 6 Juli 2009. Cicak adalah personifikasi KPK, sedangkan buaya merupakan personifikasi kepolisian. Sebenarnya ada banyak benda yang tepat untuk ilustrasi perbandingan antara yang kuat dan yang lemah. Misalnya kapal laut melawan perahu atau bus melawan sepeda motor. Tapi, nyatanya, Susno memilih cicak dan buaya.

Istilah ’’buaya’’ yang dipopulerkan Susno unik dan menyimpang, setidaknya ketika kita telusuri istilah yang menggunakan ’’buaya’’. Ada istilah buaya darat dan roti buaya, yang lebih dulu populer daripada cicak versus buaya. Meski sama-sama menggunakan’’buaya’’, dua istilah itu memiliki makna yang kontras. Masyarakat Betawi tidak asing dengan roti buaya. Sebab, dalam acara perkawinan Betawi, seorang mempelai pria diwajibkan menyediakan roti buaya. Selain sebagai simbolisasi kesetiaan mempelai pria terhadap mempelai wanita, roti buaya merupakan simbolisasi janji sehidup-semati. Ini sesuai dengan sifat buaya jantan, yang memang dikenal setia kepada pasangan seumur hidupnya.

Berbeda dengan buaya dalam roti buaya, buaya dalam buaya darat bermakna negatif. Istilah buaya darat dipakai untuk menggambarkan lelaki yang menduakan, menigakan, bahkan mengempatkan pasangannya. Ini sangat kontras dengan kenyataan dalam dunia perbuayaan. Buaya jantan dikenal paling setia kepada pasangannya. Seekor buaya jantan hanya memiliki satu pasangan. Sepanjang hidup, ia hanya kawin dengan satu betina. Bahkan, konon, jika betinanya mati, buaya jantan tetap akan menjaga janji kesetiaannya. Ia tidak akan mengawini betina lain hingga ajal menjemput.

Istilah buaya darat muncul sejak 1971. Sejarahnya berawal dari Soronganyit di sekitar Jember, Jawa Timur. Singkat kisah, di Soronganyit terdapat sebuah tambak buaya. Jadwal aktivitas kawanan buaya di situ sangat ketat: kapan harus di darat dan kapan harus berada di air. Suatu hari, seekor buaya jantan menghilang. Warga pun gempar. Mereka takut dimangsa buaya yang kabur itu. Tiga bulan berlalu, buaya tadi ditemukan bersama buaya betina. Tentu saja betina itu bukan pasangan sahnya. Sang betina baru seumur anaknya sendiri. Warga pun serempak mengumpat, ’’Dasar buaya!’’ Sejak saat itu, ketika ada lelaki punya hubungan gelap dengan perempuan yang bukan pasangan sahnya, ia spontan dikatai ’’lelaki buaya darat’’.

Istilah yang menggunakan nama binatang juga merambah dunia perpolitikan Indonesia. Kepada para politikus atau kader partai yang (gemar) menyeberang ke partai lain langsung dicap sebagai kutu loncat. Namun istilah ini tampaknya hanya cocok untuk dunia politik, yang penuh intrik busuk seperti kutu. Buktinya, banyak orang suka pindah tempat kerja dan banyak pemain sepak bola suka berganti-ganti klub, tapi mereka jarang sekali disebut kutu loncat. Meski sama-sama kutunya, kutu loncat berbeda dengan kutu buku. Istilah kutu buku bermakna positif karena disematkan kepada orang yang gila membaca.

Masih banyak nama binatang yang meramaikan perbendaharaan istilah atau ungkapan dalam bahasa Indonesia. Seperti padat merayap untuk menggambarkan kondisi jalan raya yang disesaki kendaraan sehingga berjalan sangat pelan, menyemut (menjelaskan kumpulan orang yang memenuhi suatu tempat), bajing loncat (penjahat spesialis penguras isi truk, saat beraksi ia melompat ke dalam bak truk yang sedang berjalan), dan raja singa (nama penyakit kelamin pria). Lalu orang yang mengamuk dan ngawur disebut membabi-buta. Orang yang setia luar biasa menjaga/mengawal majikannya dijuluki herder (jenis anjing). Sedangkan mereka yang tidak punya keberanian atau loyo dikatai macan ompong.
Ternyata binatang telah memperkaya bahasa Indonesia bukanlah kabar burung, melainkan nyata adanya.

*) Samsudin Adlawi, Wartawan Jawa Pos dan Penyair.
https://rubrikbahasa.wordpress.com/2012/12/17/binatang-yang-memperkaya-bahasa/

Leave a Reply

Bahasa »