Indra Tranggono *
Kompas, 13 Mei 2017
Celoteh atau ocehan kini mendapat istilah baru, yaitu cuitan atau kicauan (versi Twitter) dan status (versi Facebook). Celoteh atau ocehan merupakan istilah khas yang muncul dari praktik berbahasa dalam komunikasi konvensional alias tatap muka. Dalam dunia digital, komunikasi tatap muka sering disebut komunikasi luring, luar jaringan. Yakni, komunikasi langsung, nyata (lawan dari maya), dan autentik (lawan dari semu, palsu). Di sana pihak-pihak yang berkomunikasi hadir secara manusiawi, menyosok secara multidimensional, memiliki gagasan, berperasaan, berekspresi, dan beridentitas (bukan anonim).
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat mengartikan celoteh atau ocehan dengan obrolan atau percakapan tak keruan atau dalam istilah bahasa Jawa ceblang-clebung. Namun, celoteh atau ocehan bukan berati tanpa makna. Adapun makna yang dikandung dalam celoteh atau ocehan adalah makna yang tidak penting, baik secara etika, logika, maupun estetika. Ocehan atau celoteh kadang-kadang justru menyimpang dari norma (secara etis); tidak punya penalaran, tak berstruktur, kacau (logika); dan tidak mengandung nilai keindahan (secara estetik). Ocehan atau celoteh sering dihukum dengan istilah ”bahasa sampah” dan ”ngawur”.
Akan tetapi, di dunia digital, banyak orang mengumbar celoteh atau ocehan melalui media sosial atau media arus bawah (istilah pakar komunikasi Ashadi Siregar). Melalui Facebook, Twitter mereka membagi (mengumumkan) status dan kicauan perihal dirinya, orang/pihak lain, dan isu-isu aktual. Munculnya status dan kicauan didorong oleh ”apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan”. Pikiran dan perasaan yang dimaksud bisa apa saja: pendapat ”kritis”, makian, olok-olok, hinaan, sindiran, kebencian, pujian; atau rasa kecewa, marah, sedih, senang, takut, cemas, dan bahagia. Semuanya diekspresikan secara bebas, tanpa beban, dan tanpa mempertimbangkan perasaan orang atau pihak lain yang jadi sasaran komunikasi. Seolah-olah di sini berlaku prinsip, ”yang penting bukan kebenaran, tapi ketenaran”, ”eksistensi lebih penting dari esensi”, ”komentar dulu, ralat kemudian”, atau bagi pengidap penyakit jiwa kebencian: ”pukul dulu, urusan belakangan”.
Motivasi orang pun bisa bermacam-macam, dari keinginan untuk mengumbar narsisisme (memuji diri sendiri), pamer, mengkritik keadaan, mengomunikasikan gagasan, menawarkan sesuatu, mengumbar kebencian/permusuhan/sentimen etnis, sosial, agama, ekspresi politik partisan (layaknya yang dilakukan buzzer), sampai melakukan pembunuhan karakter. Orang-orang pun mengalami katarsis personal atau kolektif.
Dampaknya? Kekacauan komunikasi yang berpotensi memicu disintegrasi sosial bahkan bangsa. Tidak main-main. Namun, orang sering mengalami sesat pikir dengan menyebut budaya celoteh di media sosial sebagai bagian dari dinamika demokrasi.
Demokrasi memang dekat dengan kecerewetan, tapi bukan cerewet asal-asalan, melainkan keriuhan ide dan opini yang berargumentasi dan terukur (etik, logis, dan estetis). Demokrasi tidak bisa dibangun dengan celoteh, ocehan, atau kicauan yang bertaburan, tumpang tindih, silang sengkarut, dan tanpa makna.
Semoga status dan kicauan yang marak dalam media sosial bisa berkembang menjadi tuturan bermakna yang menyehatkan demokrasi. Dibutuhkan kedewasaan, kematangan, dan kearifan beropini sehingga kelak yang muncul adalah celoteh bijak dan inspiratif. Revolusi makna celoteh atau kicauan sangat mungkin diwujudkan.
***
*) Cerpenis, Tinggal di Yogyakarta.
https://rubrikbahasa.wordpress.com/2017/05/13/celoteh/