Berthold Damshauser *
Majalah Tempo, 23 Jun 2013
Seseorang mengirim surat elektronik yang mengatakan kolom Bahasa saya dirindukan. Tentu saya gembira membacanya, meski heran juga, mengapa laporan saya tentang diskusi mata kuliah bahasa Indonesia di Universitas Bonn diminati, bahkan dirindukan.
Bukankah dalam kolom itu saya selalu melaporkan argumentasi mahasiswa yang aneh-aneh dan membingungkan? Tak mungkin itu yang diminati. Akhirnya saya yakin bahwa laporan saya diminati dan dianggap berguna semata-mata karena luasnya wawasan sang dosen yang bisa menjadi tauladan bagi dosen-dosen di Indonesia. Bersenjatakan ilmu dan kesabaran, sang dosen rupanya sanggup membimbing muridnya ke arah kebenaran, seperti terbukti lagi beberapa minggu yang lalu.
“Pak, boleh saya bertanya? Apakah manusia Indonesia, andai ada fenomena yang dinamakan ‘Manusia Indonesia’, telah mengalami perkembangan atau evolusi?” seorang mahasiswi membuka diskusi.
Begitu pertanyaan tiba, keilmiahan secara otomatis sudah terpasang di wajah saya. Secara ilmiah pula saya menjawab, “Pertama: Manusia Indonesia sangat ada! Jumlahnya hampir 250 juta orang. Itu fakta. Kedua: Evolusi selalu dan di mana pun terjadi dan bisa disaksikan, khususnya di Indonesia. Contohnya: 100 tahun yang lalu, saat manusia Indonesia belum mengenal konsep ‘Manusia Indonesia’, mereka hidup sebagai petani dalam sistem feodal. Kini mereka manusia modern, ber-iPhone, bersepeda motor, dan dengan leluasa meluncur-lintasi kota-kota berpencakar langit.”
“Maaf, Pak,” terdengar sebuah suara dari kanan, “kiranya rekan saya lebih memikirkan evolusi batin, bukan perubahan materialistis-lahiriah.”
“Evolusi batin atau intelektual,” jawab saya dengan santai, “lebih kentara lagi. Yang fenomenal adalah evolusi manusia Indonesia menjadi manusia demokratis. Mereka bahkan mengevolusikan demokrasi, dengan menjadikan demokrasi biasa menjadi demokrasi Pancasila. Selain itu¦.”
“Iya, Pak,” terdengar suara si kritis yang tak saya sukai itu, “kami sudah tahu Bapak menjunjung Pancasila dan hal-hal muluk yang lain. Lebih baik kita bertolak dari diskusi yang Bapak laporkan di majalah Tempo edisi tanggal 21 April. Saat itu kita berkesimpulan bahwa yang paling Indonesia adalah bahasa Indonesia, bahwa bahasa Indonesia adalah jati diri atau identitas sang manusia Indonesia….”
“Bukan saya yang menyimpulkan!” saya menegur, masih trauma dengan diskusi yang menyudutkan saya, sehingga saya tergopoh meninggalkan kelas demi membela kebenaran dan keilmiahan.
“… dan karena itu,” si provokator tidak menggubris interupsi saya, “perihal evolusi manusia Indonesia mesti dikaitkan dengan evolusi bahasa Indonesia. Karena identitas adalah sebuah proses, saya yakin bahwa evolusi manusia Indonesia pun tecermin pada evolusi bahasa Indonesia, pada perubahan yang terjadi di tubuh bahasa itu. Mohon komentar Bapak sebagai ahli bahasa Indonesia!”
“Bahasa adalah alat komunikasi,” jawab saya dengan tegas. “Itu fakta. Sebagai manusia evolusioner, manusia Indonesia pasti juga mengevolusikan bahasanya. Cuma, apa tandanya, ya?”
“Pak,” terdengar suara lembut, “mungkin saya bisa membantu. Kalau kita bandingkan bahasa Melayu 150 tahun yang lalu dengan bahasa Indonesia sekarang, ada berbagai perbedaan yang menonjol. Tipe kalimat seperti ‘diambilnya buku ini’ semakin jarang terdengar. Kini orang cenderung mengatakan: ‘ia mengambil buku’.
Dulu perbuatan yang difokuskan, kini individulah yang ditonjolkan dan dijadikan fokus kalimat, tak lagi cuma menjadi imbuhan.
Ini menandakan individualisasi.”
“Selain itu,” terdengar suara lain menambahkan, “kata ganti orang seperti ‘hamba’ tak lagi dipakai. Manusia Indonesia kini tak rela lagi diperhamba. Mereka semakin tampil sebagai ‘aku’ yang mandiri dan percaya diri.”
“Jangan gegabah menyimpulkan!” saya berkomentar. “Ini mesti diteliti dulu.”
“Tapi, ini menarik, Pak,” kata seorang mahasiswi berwajah menarik, “apalagi kalau ditambah dengan kenyataan bahwa kalimat-kalimat pada teks Melayu cenderung pendek dan jarang dikaitkan melalui konektor logis.
Kalimat-kalimat sekarang semakin majemuk dan kompleks.
Bahwa hal ini pernah dianggap sesuatu yang baru dan menjauh dari kemelayuan dibuktikan oleh reaksi masyarakat atas novel Belenggu karya Armijn Pane. Gaya tulis modern sastrawan itu dulu dianggap kebelanda-belandaan.”
“Bahkan,” suara lain menambahkan,
“sekarang ada kecenderungan untuk mengurangi ketaksaan yang memang mewarnai bahasa Indonesia.”
“Misalnya, semakin banyak penulis berupaya menggunakan artikel atau kata sandang pasti dan tak pasti, seperti ‘sang’ dan ‘sebuah’. Kalimat seperti ‘kala cuma ilusi’ sekarang cenderung berbunyi ‘sang kala cuma sebuah ilusi. Bagaimana komentar Bapak?”
Belenggu? Armijn Pane? Apa itu? Saya kira sudah saatnya saya ambil kendali, tentu dengan membiarkan fakta berbicara: “Bahasa adalah alat komunikasi. Hal-hal lain masih perlu diteliti.”
“Ya, dan sebaiknya dalam tempo sesingkat-singkatnya!” si mahasiswa provokator menyindir. Tentu tak saya gubris.
“Jadi Bapak tak setuju jika kami simpulkan bahwa dalam evolusinya bahasa Indonesia semakin mengabaikan implisitas untuk semakin menuju ke eksplisitas, dari yang tersirat mengarah ke yang tersurat? Dan Bapak akan menganggap berlebihan jika kenyataan seperti itu dikaitkan dengan perihal evolusi manusia Indonesia?”
“Sebagai ilmuwan, saya berpegang pada fakta ilmiah yang telah dibuktikan. Penelitian ilmiah tentang itu belum ada.”
“Itulah masalahnya, Pak. Apa hal semacam ini tak terpikir oleh mereka yang dinamakan ahli bahasa Indonesia?”
Lagi-lagi si provokator yang menyerang. Tapi, sebagai ahli bahasa Indonesia, saya tentu tak tersinggung, menatap tenang, penuh wibawa, mantap tak tergoyahkan. Bagaimana tidak, lonceng toh sudah berbunyi! Dengan santai kutinggalkan ruangan.
*) Kepala Program Studi Bahasa Indonesia Universitas Bonn, Pemimpin Redaksi Orientierungen, dan redaktur Jurnal Sajak.
https://rubrikbahasa.wordpress.com/2013/06/23/evolusi-bahasa-dan-manusia-indonesia/