Veven Sp. Wardhana
Majalah Tempo, 27 Feb 2012
Buah apel, dalam bahasa Latin, disebut malus. Tak berbeda, “apel Malang” dan “apel Washington” pun tetap saja malus. Apel adalah buah dalam makna denotatif. Yang membedakan, masing-masing dibudidayakan di perkebunan di (kabupaten) Malang, Jawa Timur, dan Negara Bagian Washington, Amerika Serikat. Itu untuk bahasa petani dan ilmu botani. Namun, dalam bahasa para politikus yang tersangkut skandal pembangunan Wisma Atlet SEA Games, kosakata Latin tersebut tak berlaku bagi dua ragam apel itu. Bahkan sama sekali tak ada kaitannya dengan buah. “Apel Malang” merupakan kata ganti untuk uang rupiah, sementara “apel Washington” identik dengan alat tukar uang dolar Amerika.
Dalam sebuah persidangan skandal tersebut terjelaskan, penggantian kata apel untuk uang dimaksudkan agar tak terkesan vulgar. Maksudnya, perlu ada penghalusan atau pelembutan, yang dalam linguistik disebut eufemisme. Eufemisme atau penghalusan dalam berkalam dan berkalimat dilakukan dengan cara mencari kata lain, yang sekalipun berbeda makna, memiliki kemungkinan fungsi yang sama.
Kata “ditahan” dan/atau “ditangkap” diperhalus menjadi “diamankan” mengingat pihak yang menahan dan/atau menangkap adalah lembaga yang memiliki fungsi pengamanan. Akan halnya kalimat “Polisi akan mengamankan situasi…”, maka kata aman di sini dicoba dikembalikan pada makna awal, yakni terlindungi dari kemungkinan bentrokan atau tindak kekerasan. Toh, media cetak dan televisi tetap saja menggunakan kalam pelembut itu saat mewartakan: “Seorang provokator diamankan….”
Pertanyaannya kini: pola kesejajaran fungsi macam apa sehingga kata “apel Malang” dan “apel Washington” dianggap sebagai penghalusan atas “rupiah” dan “dolar AS”? Jika merujuk pada kata lain dalam kasus yang sama, yakni “pelumas” sebagai kata ganti uang, bisalah itu disejajarkan dengan eufemisme lain yang kadung klise. Misalnya pelicin dan uang semir, dengan jabaran bahwa tiap kata itu mempunyai fungsi untuk memperlancar sebuah proses tawar-menawar agar cepat tercapai kesepakatan, negosiasi yang mungkin tersendat, lamban, dan seterusnya.
Jika bukan eufemisme, yang terjadi adalah penyamaran. Dengan membandingkan sosok-sosok superhero dalam fiksi, sosok asli bangsawan Alejandro Murrieta perlu menyamar menjadi Zorro untuk memperdaya sesama kalangan bangsawan. Atau pelukis Nemo perlu mengubah diri menjadi Gundala agar lebih leluasa dalam menumpas kejahatan. Jadi, penyamaran diniatkan untuk berahasia-rahasia dari kalangan umum agar yang berahasia dan berbahasa sandi itu leluasa bergerak dengan sesama yang memahami bahasa sandi itu kendati sedang berada di tengah masyarakat umum.
Karena itu, penghalusan atau pelembutan berbahasa berbeda dibandingkan dengan penyamaran berbahasa, berkalimat, berkalam, atau berkata-kata.
Sebelum menyimpulkan ber-apel Malang, ber-apel Washington, ber-semangka, dan semacamnya itu berlembut kata ataukah bersandi kalam, ada baiknya kita menyelusup ke beberapa komunitas yang memang terbiasa menggunakan—bahkan mengeksplorasi—bahasa sandi itu. Bahasa gaul yang antara lain pernah dibukukan aktris Debby Sahertian dalam Kamus Bahasa Gaul (cetakan ke-13, 2002) terhitung sebagai bahasa rahasia. Kamus dibahasakan menjadi “kamasutra”, saya atau aku di-”gaul”-kan menjadi “akika”, kawin disamarkan menjadi “kawilarang”, teman atau kawan menjadi “kawanua”, dan batuk dipermak menjadi “batuta”, “batara”, atau “batako”.
Pada 1970-an, di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, dikenal komunitas Ali Topan, nama sosok remaja buah imajinasi penulis novel Teguh Esha. Sebagaimana komunitas “akika daniel kawanua” tadi—yakni sosok-sosok yang berkecimpung dan bersentuhan dengan dunia model, fashion, dan salon kecantikan—Ali Topan dan kameradnya juga memiliki bahasa khas, bahasa sandi, atau bahasa “milik mereka sendiri”, yakni dengan menerakan infiks atau penyisipan morfem “ok” di tengah kata, sementara kata bentukan baru itu hanya dua suku kata belaka yang diujarkan. Bapak alias ayah menjadi “bokap”, dengan perincian: b-ok-ap(ak), atau rumah menjadi “rokum” (r-ok-um[ah]). Kata preman sendiri menjadi “prokem”.
Di komunitas tertentu di Malioboro, Yogyakarta, terutama kalangan gali atau gabungan anak liar, alias para prokem, juga ada bahasa khusus dan khas antarmereka, yakni dengan pola tertentu yang merujuk pada alfabetikal Jawa, ha-na-ca-ra-ka da-ta-sa-wa-la, dan seterusnya itu. Kata “makan” dan “minum”, yang dijawakan menjadi “mangan” dan “ngombé”, disandikan menjadi “daladh” dan “lodsé”. Tentu tak sesederhana itu. Jika kata “makan” dilafalkan dalam bahasa Mandarin, yakni “ciak” menjadi “jipany”, maknanya ternyata bukan makan, melainkan berhubungan intim.
Bahasa dan kalam sandi, rahasia, dan samar bisa jadi biasa didapatkan dalam komunitas yang dekat dengan dunia “kelam”—prokem, gali, anak jalanan, dan lain-lain. Namun peribaratan dua dunia superhero tadi justru untuk melawan jagat kelam. Ketika (Romo) Sindhunata menulis bahasa ala Malioboro, “silul”, untuk arti resmi bingung dalam syair lagu yang dilantunkan dalam hip-hop van Jogja atau sastrawan Seno Gumira Ajidarma menyamarkan Kota Dili menjadi “Kota Ningi” (buku kumpulan cerpen Saksi Mata, 1994), Timika menjadi “Gidinya”, polres untuk “hongyeb”, kapolres menjadi “nyahongyeb”, polisi memimikri “hongibi”, dan “sagangrod” dari batalion (cerpen Mayat yang Mengambang di Danau, Kompas, 8 Januari 2012, pagina 20), saya tak yakin mereka sedang berbincang di antara sesama penghuni jagat kelam.
Saya tak hendak menyimpul-nyimpulkan bahwa para pengguna kata “apel” dan “semangka” tadi adalah para penyangga dunia kelam yang mereka bangun sendiri;
apalagi Anas Urbaningrum, nama yang juga disebut-sebut dalam kasus Wisma Atlet, saat ditanya wartawan kemudian berujar: dia tak pernah meminta dan menerima “apel Malang” ataupun “apel Washington”, yang ada cuma “daun jambu”. Nah, pelembutan apalagi ini: daun bukanlah buah, jambu sepertinya bukan sekadar bukan-apel….
*) Veven Sp. Wardhana, Penghayat budaya massa.