Hera Khaerani
mediaindonesia.com
KABAR gembira itu tersebar, tidak terlalu mengejutkan, tapi lebih seperti sesuatu yang nyaris sudah diantisipasi, Eka Kurniawan meraih The World Readers Award 2016. Pengumuman yang berlangsung pada 22 Maret 2016 di Hong Kong itu menambah kebanggaan bagi Indonesia. Jelaslah, kesusastraan Indonesia kini kembali masuk ke radar penikmat dan kritikus sastra tingkat internasional.
Novelnya, Cantik itu Luka, yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan oleh Annie Tucker menjadi Beauty is a Wound, menang di ajang yang diselenggarakan para relawan dari Asosiasi Penulis dan Penerjemah Asia Pasifik (Asia Pacific Writers and Translators Association).
Sesuai namanya, yakni The World Readers Award, hati pembacalah yang dapat dimenangi Eka. Ajang penghargaan yang diinisasi pada 2012 tersebut mulanya didorong ketidakpuasan terhadap ajang-ajang penghargaan buku yang panelisnya kerap didominasi spesialis yang hanya akan memilih buku-buku yang memang ‘lazim’ dibaca para spesialis buku.
Bagi asosiasi ini, pembaca umum pun layaknya punya suara untuk menentukan buku pilihan mereka. Untuk itulah, The World Readers Award diadakan. Namun, unggul di kalangan pembaca, penulis, dan penerjemah Asia Pasifik, tidak lantas membuat karya Eka Kurniawan dijauhi pakar yang menjadi panel di penghargaan buku bergengsi. Terbukti sebelumnya (10/3), daftar panjang The Man Booker International Prize 2016 memasukkan namanya.
Buku Lelaki Harimau yang diterjemahkan Labodalih Sembiring menjadi Man Tiger dan diterbitkan Verso Books, bersanding dengan 12 penulis internasional lain, termasuk Orhan Pamuk dari Turki dan Kenzaburo Oe dari Jepang. Dari daftar panjang 13 buku itu nantinya akan dipilih daftar pendek berisi enam buku saja pada 14 April. Puncaknya, pemenang The Man Booker International Prize akan diumumkan pada 16 Mei 2016.
Pengakuan terhadap karya-karya Eka Kurniawan, memang makin santer terdengar beberapa tahun belakangan. Publishers Weekly menilai Eka Kurniawan telah berhasil membuat dunia Barat memperhatikannya. Benedict Anderson dari The New Left Review menyebutnya sebagai penerus Pramoedya Ananta Toer, sementara Deborah Smith dari The Guardian menyebut karya Eka Kurniawan menunjukkan kualitas karya sastrawan besar dunia.
Lantas bagaimana ayah dari satu orang putri ini menyikapi segala pujian yang disematkan kepadanya itu? Reporter Media Indonesia Hera Khaerani secara khusus mewawancarai Eka Kurniawan di kantor Penerbit Gramedia di Jakarta Barat, Kamis (17/3) untuk mendapatkan jawabannya. Dengan santai dia tersenyum dan berkata dengan bersahaja, “Menurut saya, semua penulis Indonesia yang baru-baru ya semua penerus Pramoedya Ananta Toer.”
Dalam balutan kaus biru gelap bergambar tumpukan beberapa ekor kucing di atas contong es krim yang dia kenakan siang itu, lelaki kelahiran Tasikmalaya tersebut tampil dengan gaya khasnya yang sederhana. Tidak tampak sedikit pun kesan meninggikan diri karena namanya melambung di dunia. Bahkan, untuk penulis sekaliber dirinya, dia enggan menggunakan jasa manajer.
“Aku bukan penulis terkenal,” ujar Editor Gramedia Pustaka Utama, Mirna Yulistianti, mengulangi penjelasan Eka kepadanya soal keengganan menggunakan jasa manajer. Baginya, kebanggaan sebagai penulis cukup didapat ketika bisa berkarya dan tulisannya dibaca. Ya, pada akhirnya memang karya yang bicara. (M-1)
Biodata:
Nama: Eka Kurniawan
Tempat tanggal lahir: Tasikmalaya, 28 November 1975
Istri: Ratih Kumala
Anak: Kidung Kinanti (lahir 3 Januari 2011)
Pendidikan terakhir: Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (lulus 1999).
Bibliografi:
– Corat-Coret di Toilet (2000)
– Gelak Sedih (2005)
– Cinta tak Ada Mati (2005)
– Cantik itu Luka (2002), telah diterjemahkan ke 25 bahasa
– Lelaki Harimau (2004), telah diterjemahkan ke 5 bahasa
– Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014)
– O (2016), resmi diluncurkan 13 Maret 2016 dan sudah mulai dilirik penerbit asing untuk diterjemahkan.
Penghargaan:
1. World Readers Award 2016 (Diumumkan pada 22 Maret 2016)
2. The Man Booker International Prize 2016 Longlist. Lelaki Harimau menjadi buku Indonesia pertama yang dinominasikan di ajang penghargaan sastra bergengsi dunia tersebut.
3. Salah satu dari 100 pemikir paling berpengaruh di dunia menurut Jurnal Foreign Policy (2015) karena berhasil menegaskan posisi Indonesia di peta kesastraan dunia.
http://mediaindonesia.com/news/read/36145/membawa-sastra-indonesia-kembali-ke-radar-dunia/2016-03-24