Berthold Damshauser *
Majalah Tempo, 14 Jul 2014
Lapor! Sudah saatnya saya kembali melaporkan diskusi yang terjadi pada jam mata kuliah bahasa Indonesia di Universitas Bonn, Jerman.
“Pak,” tanya seorang mahasiswa, “kami sempat membaca tulisan Bapak di kolom Bahasa majalah Tempo edisi 24-30 Juni 2013, yang berjudul ‘Evolusi Bahasa dan Manusia Indonesia’. Lepas dari kenyataan bahwa tulisan sok filosofis itu tidak lebih dari sebuah laporan biasa, kami kurang memahaminya, dimulai dari judulnya.”
“Lho,” pikir saya, “bukannya bangga tulisan guru mereka dimuat di majalah terpandang, mahasiswa saya malah mengkritik.” Tapi, ya, tak apa, daripada kesal, lebih baik memasang wajah ilmiah dan bereaksi dengan sabar: “Barangkali konsep ‘manusia Indonesia’ yang kurang jelas. Mari saya terangkan.”
“Bukan itu, Pak,” jawab sebuah suara dari arah kanan, “semantika seluruh judul itu.”
“Jelas, kan?” saya menjadi sedikit tak sabar. “Evolusi bahasa dan manusia Indonesia. Titik.”
“Tak jelas, Pak. Apa maksud Bapak? Ada berbagai kemungkinan. Pertama, evolusi bahasa-Indonesia dan evolusi manusia-Indonesia; kedua, evolusi-bahasa dan manusia-Indonesia; ketiga, evolusi-bahasa dan evolusi manusia-Indonesia.”
“Jangan terlalu cepat,” kata saya meminta. “Tuliskan di papan, sehingga saya bisa merenungkannya secara ilmiah.”
Saya pun mulai merenung. Betul juga, kalimat itu memungkinkan berbagai tafsiran. Tapi, tentu, bagi saya sangat jelas. Yang saya bicarakan pada tulisan itu adalah evolusi bahasa sebagai fenomena umum, lalu saya kaitkan dengan konsep “manusia Indonesia”. Atau? Saya mulai bingung. Semestinya yang saya bicarakan adalah “evolusi bahasa Indonesia”, lalu saya kaitkan dengan “evolusi manusia Indonesia”. Atau….
“Kok, lama sekali Bapak renungkan,” terdengar suara menyindir. “Boleh saya bantu sedikit. Kami ingin tahu, apakah kata sifat ‘Indonesia’ cuma berkaitan dengan kata benda ‘manusia’ atau juga dengan kata benda ‘bahasa’. Lalu apakah kata benda ‘evolusi’ cuma beratribut bahasa atau juga beratribut kata majemuk ‘manusia Indonesia’. Pendek kata, kalau Bapak menerjemahkannya ke bahasa Inggris, Bapak akan memilih yang mana: ‘Evolution of Indonesian Language and (Indonesian) Man’ atau ‘Language Evolution and Indonesian Man’?”
“Saya tahu maksud Anda,” jawab saya dengan kesal. “Tak perlu menggurui saya. Saya cuma butuh waktu untuk secara ilmiah memaparkan maksud saya.”
Untungnya, ada yang membantu:
“Bapak mengalami kesulitan yang disebabkan oleh ketaksaan yang memang menjadi ciri khas dan inheren pada bahasa Indonesia. Ini karena bahasa Indonesia tidak mengenal fleksi, sehingga hubungan sintaktis-semantis di antara kata-kata kurang jelas. Kita patut memahami kesulitan Bapak kita,” ujar seorang mahasiswi dengan suara yang penuh rasa iba.
Sementara itu, saya belum juga menemukan jawaban, juga mulai berkeringat. Apalagi kedengaran suara mahasiswa yang terkenal sebagai provokator dan siniswan.
“Pak, karena Anda tidak bisa menjawab, saya terpaksa menyimpulkan bahwa Bapak, saat menulis kolom itu, tidak secukupnya merenungkan makna judul yang Bapak pilih sendiri, berarti tak merasa perlu mengetahui apa yang persis hendak Bapak bicarakan. Itu namanya ilmiah?”
Kata-kata itu menusuk telinga saya, sementara saya masih menatap papan bertulisan judul terkutuk itu, mencari maknanya, khususnya maksud saya sendiri saat menyusunnya. Kok, bisa lupa! Bagaimanapun, saya harus segera mengambil sikap; kalau tidak, keilmiahan saya akan diragukan. Akhirnya, saya menemukan solusi: kalau tak sanggup menjawab sesuatu, siasat terbaik adalah bertanya balik.
“Apa arti atau makna nama ‘Partai Demokrasi Indonesia’? Tugas Anda untuk minggu depan adalah menjawab pertanyaan itu. Khususnya: apakah itu sebuah partai yang berlandasan konsep demokrasi (khas) Indonesia atau sebuah partai Indonesia berlandasan prinsip demokrasi. Lalu bandingkan nama partai itu dengan nama partai yang belum dan yang sudah didirikan: ‘Partai Demokratis Indonesia’ dan ‘Partai Demokrat’.”
“Terima kasih, Pak,” komentar mahasiswa yang sering saya puji. “Sebaiknya kita memang mengambil manfaat dari diskusi ini. Bertolak dari kebingungan terpahami dosen kita yang sebenarnya cukup ilmiah-dan kata sifat ‘ilmiah’ dalam kalimat saya berkaitan baik dengan kata benda ‘kebingungan’ maupun ‘dosen kita’-mari dengan senang hati kita mengurus PR itu, demi penambahan wawasan dalam kuliah berikutnya. Saya cuma meminta supaya tugas kita ditambahi satu kata, yakni ‘perjuangan’. Lebih menantang mengurus rangkaian kata ‘partai + demokrasi + indonesia + perjuangan’. Lebih menantang!”
Apakah mahasiswa saya yang terpuji itu mulai berironi juga? Entah. Bermuka kosong, saya meninggalkan kelas. Lonceng belum berbunyi.
*) Kepala Program Studi Bahasa Indonesia Universitas Bonn, Pemimpin Redaksi Orientierungen, redaktur Jurnal Sajak
https://rubrikbahasa.wordpress.com/2014/07/14/merenungkan-makna-pdip/