Pekerja Seks Komersial

Seno Gumira Ajidarma *
Majalah Tempo, 20 Jan 2014

Ketika membaca judul cerpen Putu Wijaya yang berbunyi “Pelacur” (1980), saya sudah siap mengikuti kisah tentang perempuan yang menyewakan tubuhnya. Kesiapan itu berhubungan dengan pemahaman berdasarkan dua momentum.

Pertama, sewaktu saya masih duduk di bangku SMA Santo Thomas, Yogyakarta, pada 1976, guru bahasa Indonesia di kelas agak gelisah karena saya tanyakan asal kata “pelacur”.

“Oh, itu mungkin dari ‘apa lacur’, sudah telanjur, jadi ‘perempuan lacur’ itu maksudnya perempuan yang sudah tidak bisa diperbaiki, jadilah ‘pelacur’,” jawab Pak Guru tanpa membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, tempat “lacur” adalah “buruk laku”.

Kedua, masih tahun 1970-an, saya terkesan oleh lagu “Hitam Kelam” yang dibawakan Trio Bimbo & Iin Parlina, terutama pada bait berikut ini.

di lembah bukit terhina,
ia hidup ditelan masa
hitam kelam, dunia semakin kelam
pernahkah pelacur itu melabuhkan cinta

Pada akhir lirik lengkap yang ditulis One Dee (tentu dari Wandi) itu, tertulis “sungguh sesal masa yang telah silam”, yang kiranya mengesahkan pemahaman bahwa perempuan melacur itu artinya melakukan perbuatan tidak baik, begitu buruknya sehingga seolah-olah tidak bisa ditebus. Bukankah “apa lacur” dan “sesal” menegaskan itu?

Anehnya, jika saya lakukan penalaran tentang melacur sebagai perbuatan tidak baik, saya lakukan penalaran juga bahwa (1) pelakunya pasti perempuan, yang pada masa kini diartikan “buta gender”; dan (2) yang dilakukan pasti hubungan seksual mungkin inilah sumber kegelisahan Pak Guru atas pertanyaan murid SMA.

Akibatnya, dalam kuasa wacana seperti itu, saya mendapatkan kejutan ketika membaca cerpen “Pelacur” tersebut, karena yang dikisahkan ternyata adalah penulis naskah pidato!

Ya, sementara perempuan lacur menyewakan tubuhnya demi uang, penulis naskah pidato (dalam cerpen itu) melacurkan intelektualitasnya demi kepentingan ideologi apa pun asalkan dibayar: jadi ia juga seorang pelacur.

Dengan begitu, wacana “pelacur” di kepala saya itu menyiratkan satu perkara: moral. Pelacur adalah manusia tidak bermoral, dalam bahasa One Dee: “di lembah bukit terhina”.

Sementara para sastrawan berasyik-masyuk dengan eksotisisme “pelacur”, para wartawan pernah menggunakan istilah “wanita tunasusila”, yang disingkat WTS. Istilah ini meneguhkan beban makna dalam moralitasnya, tapi masih “buta gender”, karena seolah-olah hanya perempuanlah yang melakukan perbuatan tunasusila dalam hubungan seksual tersebut. Dalam berita media massa tentang razia rumah-rumah bordil, misalnya, para penyewa tubuh WTS ini lebih sering disebut “laki-laki hidung belang” dan tak pernah “pria tunasusila”, yang tentu lebih “berkeadilan gender”. Istilah “belang”, dalam pengertian “kadang bermoral kadang tidak”, lebih ringan bebannya daripada “tunasusila”, yang “tidak bermoral selamanya”.

Cacat lain dari istilah ini jika diterapkan pada masa kini, mereka yang menyediakan jasa seksual tidak terbatas pada perempuan, tapi juga laki-laki dan perempuan yang sebelumnya laki-laki (waria = wanita pria), dengan variabel yang lebih rumit: perempuan yang menjual jasa seksual kepada laki-laki maupun perempuan, laki-laki yang menjual jasa seksual kepada perempuan maupun laki-laki, dan waria yang menjual jasa seksual kepada laki-laki.

Nah, kegagalan istilah WTS untuk “mencerminkan kenyataan” tampaknya lantas teratasi dengan istilah “generik”, yakni “pekerja seks komersial”, yang disingkat PSK.

Pengertian “menyewakan tubuh” dan “menjual jasa seksual” memang tercakup dalam istilah ini, sekaligus mengatasi masalah kerumitan kelamin di pasar seks. Ya, lebih adil, sekaligus mangkus dan sangkil.

Masalahnya, dalam istilah “pekerja seks komersial” ini tidak terdapat suatu beban makna yang menunjukkan moralitasnya.

Sementara “pelacur” terasalkan dari “perempuan lacur”, dan “wanita tunasusila” jelas eksplisit moralitasnya, dari sudut linguistik istilah “pekerja seks komersial” setara belaka dengan “pekerja seni”, “pekerja sosial”, dan “pekerja bangunan”. Seolah-olah merupakan bidang pekerjaan yang sah, bahwa seks itu memang, telah, bisa diperjualbelikan. Tidak ada beban makna yang merendahkan di situ, tidak ada kutukan, tidak ada yang “terhina”. Dalam perbincangan filsafat sih moralitas seseorang memang tidak bisa dihakimi.

Bahasa menunjukkan (situasi) bangsa? Hmmm. Penamaan manusiawi yang telah diberikan para ahli bahasa, betapapun belum mengubah maknanya, karena masih banyak warung remang-remang yang dibakar (“bersusila”?) dan para PSK ini “digaruk”.
***


*) SENO GUMIRA AJIDARMA lahir di Boston, 19 Juni 1958. Ia adalah seorang sastrawan, fotografer dan kritikus film Indonesia. Cerita pendeknya Pelajaran Mengarang terpilih sebagai Cerita Pendek Terbaik Kompas 1993. Buku kumpulan cerita pendeknya antara lain: Manusia Kamar (1988), Penembak Misterius (1993), Saksi Mata (l994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996), Iblis Tidak Pernah Mati (1999), juga beberapa novel seperti Matinya Seorang Penari Telanjang (2000). Pada tahun 1987, ia mendapat Sea Write Award. Berkat cerita pendeknya Saksi Mata, ia memperoleh Dinny O’Hearn Prize for Literary, 1997. Pada 2005, ia mendapatkan Khatulistiwa Literary Award 2005. Kini ia tinggal di Jakarta dan mengajar matakuliah Kajian Media di FFTV-IKJ dan Kajian Sinema di Program Pascasarjana FIB UI.
https://rubrikbahasa.wordpress.com/2014/01/20/pekerja-seks-komersial/

Leave a Reply

Bahasa »