Joss Wibisono *
Majalah Tempo, 28 Des 2015
Pada obituari Benedict Anderson, yang wafat di Indonesia, Tempo menyinggung berulang kali bahwa, dalam menulis, Indonesianis terkemuka ini selalu menggunakan Edjaan Suwandi (1947-1972). Oleh majalah ini, ejaan yang digunakan Ben Anderson tersebut dianggap ciri khas Ben, dan sayang tidak dikupas lebih jauh. Sesungguhnya Tempo edisi akhir tahun 2001 (halaman 82-83) telah memuat kolomnya yang ditulis dalam ejaan pra-Orba, berjudul “Beberapa Usul demi Pembebasan Bahasa Indonesia”. Bahkan bisa dikatakan, bagi Ben, EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) itu tidak ada, sampai saat-saat terakhir ia tetap menggunakan Edjaan Suwandi.
Apakah dengan begitu Ben tidak pernah menggunakan EYD? Apakah dari awal dia sudah berpendapat bahwa EYD cuma akal bulus Orde Baru dalam rangka membutakan orang Indonesia, terutama generasi muda, dari sejarah mereka sendiri? Pertanyaan-pertanyaan ini layak diajukan karena dalam mencari jawabannya akan terlihat beberapa perubahan pada pemikiran Ben, juga dalam masalah bahasa dan ejaan.
Jawaban yang hendak saya ajukan adalah bahwa sikap Ben Anderson terhadap ejaan sebanding dengan jaraknya pada Indonesia. Ketika ia terpaksa menjauh secara geografis dari negeri yang dicintainya, sikapnya terhadap ejaan bahasa Indonesia melunak. Tapi, tatkala dekat atau berada di Indonesia, sikapnya mengeras karena melihat sendiri dampak perubahan ejaan bagi masyarakat, terutama generasi muda. Begini uraiannya.
Dalam buku Language and Power (1990) tertera bahwa Ben Anderson pertama kali tiba di Jakarta pada Desember 1961 untuk melakukan penelitian jenjang S-3. Lantaran inflasi yang melangit, ia bisa tinggal di Indonesia sampai April 1964. Ini artinya Ben belajar bahasa Indonesia yang saat itu tengah berlaku, yakni Edjaan Suwandi. Ia masih menulis “tjukup” (bukan “tjoekoep” karena itu Edjaan Van Ophuijsen pada zaman kolonial, tapi juga bukan “cukup” yang EYD) dan “radjin” (bukan rajin).
Apakah Ben berpegang teguh pada Edjaan Suwandi ini? Benarkah dia menolak perubahan ejaan?
Kalau Language and Power kita buka-buka lebih lanjut, akan terbaca bahwa Ben Anderson pernah menggunakan EYD.
Di halaman 139 tertera “rakyat”; halaman 140 “perjuangan”; “jatuh ke kasur” bisa ditemui di halaman 144; serta “rakyat itu bodoh” tertulis di halaman 145. Lebih dari itu, dan ini mungkin yang rada gawat, Ben Anderson mengaku telah mengubah ejaan pidato Presiden Sukarno. Pada catatan kaki halaman 83, dia berterus terang bahwa perubahan ejaan dilakukannya untuk “conform to current official usage”, artinya “menyesuaikan dengan ejaan resmi sekarang”. Ini aneh. Bagaimana mungkin Ben berani mengubah ejaan pidato Presiden Sukarno, yang selama hidupnya tidak mengenal EYD? Melihat keteguhan Ben dalam menggunakan Edjaan Suwandi, langkahnya ini seperti sebuah inkonsistensi dan tidak lebih dari mendurhakai pendirian sendiri.
Tapi, sebelum sejauh itu, dari beberapa contoh tadi kita bisa menyimpulkan bahwa Ben Anderson sebenarnya pernah menggunakan EYD. Itu terjadi pada 1980-an dan 1990-an, pada saat rezim Orde Baru mencekal Ben Anderson sehingga ia tak bisa masuk ke Indonesia untuk waktu yang lama. Agak berpisah dari Indonesia, tampaknya Ben menganggap perubahan ejaan sebagai sesuatu yang normal. Bukankah ini juga terjadi pada bahasa-bahasa lain?
Pendirian ini kembali berubah ketika Orde Baru tersingkir dan Ben Anderson bisa berkunjung ke Indonesia.
Itu terjadi pada 4 Maret 1999, ketika Ben hadir pada ulang tahun Tempo yang ke-28 untuk berpidato tentang nasionalisme, beberapa bulan setelah Tempo kembali terbit akibat pembredelan Orde Baru. Maka Ben Anderson kembali berhubungan erat dengan Indonesia. Ia berada lagi di negeri yang dicintainya.
Di sinilah ia menemukan dampak buruk EYD; betapa efektif perubahan ejaan itu bagi ingatan publik dan kreativitas generasi muda. Baginya, peralihan Edjaan Suwandi ke EYD telah merupakan batas tegas antara apa yang ditulis pada zaman Orde Baru dan zaman sebelumnya. Tidak ada kelanjutan antara zaman sebelum EYD dan zaman EYD. Generasi muda yang tidak kreatif dan hanya mengulang-ulang bahasa Orde Baru itu disebutnya telah kena penghapusan sejarah.
Pada titik itu, Ben meninggalkan EYD dan kembali menulis dalam Edjaan Suwandi. Sebagai orang yang belajar bahasa Indonesia dalam ejaan itu, langkah ini jelas perkara gampang, seperti balik asal. Tapi, dengan menghidupkan apa yang dicibirkan oleh Orde Baru sebagai ejaan lama itu, Ben Anderson ingin kembali ke zaman ketika orang Indonesia lebih mandiri dan kreatif dalam berbahasa. Bahasa Indonesia saat itu juga lebih beragam, tidak seragam seperti bahasa Orde Baru.
Sampai di mana upaya Ben Anderson akan berhasil tidak lagi bergantung padanya, tapi sepenuhnya pada diri kita sendiri, orang Indonesia, sebagai pemilik bahasa. Akankah kita lanjutkan gagasannya dengan terus membebaskan bahasa kita dari kekakuan dan kemunafikan Orde Baru atau justru bahasa Indonesia kita telantarkan saja?
_______________
*) Peneliti dan pemerhati bahasa.
https://rubrikbahasa.wordpress.com/2015/12/28/ben-anderson-dan-perkara-ejaan/