Dilema Aktivisme Mahasiswa

Nabhan Aiqani *
harianhaluan.com

Mengiringi perjalanan kehidupan kampus membawa kita pada titik dimana semuanya serba hambar. Tentu pernyataan ini beralasan, tidak serta-merta muncul dan membumi, walaupun dalam alam pikir penulis saja. Tapi penulis yakin semuanya juga merasakan hal yang sama bila benar-benar menikmati kehambaran ini. Hambar dalam setiap aspek dan segi, tak terasa lagi militansinya. Katanya ada proses berde­mokrasi, sekali lagi demo­krasinya tak berasa, hambar dan basa. Tunggu dulu, seka­rang pun transformasi rasa juga tengah menyeruak dari hambar menuju pahit. Tohh, pahit kan juga bisa jadi ham­bar bukan.

Kembali kita pada soalan kehambaran tadi. Lingkungan kampus tidak semerbak se­per­ti dulu. Kampus hanya milik segelintir golongan. Dan ajibnya lagi, otoritas di kampus menyambut baik itu. Kawan pasti pernah men­dengar bila, sebelum era reformasi yang menguasai belantika pemerintahan ma­ha­siswa pasti dari HMI. Iden­titas HMI sebagai penguasa tunggal eksekutif kampus begitu melekat tak terperi. Meski di lain sisi, ada bebe­rapa organisasi mahasiswa yang cukup eksis dalam meng­galang konsolidasi, layaknya GMNI, PMKRI, IMM, PMII dsb. Tapi itu cerita dulu. Meskipun hidup dalam kung­kungan rezim totaliter orde baru, dialektika mereka ma­sih tetap berjalan meskipun itu hanya di segelintir kala­ngan. Militansinya ? jangan salah, pernah ingat peristiwa Malari tahun 1974, sosok hariman siregar, syahrir dkk. Bergerak bersama menge­pung sesudut kota. Bahkan preman-preman pun turun. Lihatlah, gerakan ini bukan hanya milik mahasiswa. Tentu terlalu naif, bila mahasiswa sekarang mengatakan dirinya agent of change, sebab fungsi mahasiswa yang terutama sekarang ini yaitu solidarity maker. Mahasiswa mesti mam­pu berpenenetrasi hing­ga ke massa. Untuk bersama-sama membentuk kesadaran kolektif bersama-sama. Se­hing­ga, bila tiba waktunya revolusi pun berjalan alami sebagaimana yang diramal­kan Marx dan Tan Malaka.

Bunuh Diri Kelas

Tapi sekarang apa? Cita-cita reformasi yang menjadi tujuan akhir dari perjuangan mahasiswa saat itu, meng­hapus tirani orde baru dari muka bumi, menelanjangi demokrasi berjubah totaliter (pseudo-demokrasi) untuk ditampilkan ke muka umum. Bunuh diri kelas, artikel yang ditulis Muhammad al-Fay­yadl menjadi jawaban atas itu. Sebuah ulasan artikel yang sangat menampar muka mere­ka yang menyebut diri aktivis mahasiswa. Setidaknya ada 3 hal yang menjemukan aktivis­me gerakan mahasiswa, faktor budaya, moralitas, dan belum move on dari romantisme gerakan mahasiswa dahulu. Dengan sangat baik ia mengu­las dalam bahasa yang cende­rung ilmiah dan kekiri-kirian. Pertama, budaya. Culture men­jadi bagian integral dari entitas manusia yang tak bisa terpisahkan. Dalam alam ini ada dua bentuk wujud, nature (alami) dan culture (buatan manusia). Dalam kata lain, culture merupakan hasil dari proses berpikir manusia. Bu­kan suatu hal yang given atau taking for granted. Budaya pop yang telah menjamur pada awalnya berupa doxa (kebe­naran) yang kemudian dilaku­kan secara terus-menerus dalam kehidupan sehari-hari (habitus). Pada akhirnya, alam bawah sadar (uncon­scious­ness) menkonfirmasi itu menjadi sebuah kebenaran yang mesti diterima dan de­ngan rasa sadar manusia akhir­­nya melakukan itu. Ke­bu­dayaan seperti apa yang penulis maksud? Jamak terli­hat bila mahasiswa sekarang, lebih mementingkan fashion dan lifestyle meskipun tidak bisa digeneralisir. Tapi bila dibawa ke survey penelitian tingkat membaca orang Indo­nesia berdasarkan survey UNDP hanya 1:1000 . Dalam konteks Universitas Andalas sendiri, dengan merujuk sur­vey ini, artinya dari 25000 mahasiswa hanya 25 orang yang benar-benar konsen un­tuk membaca dan berdia­lek­tika pemikiran. Tentu angka yang tidak mengagetkan lagi, sebab faktor budaya pop yang begitu massif kemudian men­jel­ma menjadi kebudayaan kapitalis telah meringsek masuk di segala lini kehidu­pan mahasiswa. Dahulu siapa peduli dengan setelan apa yang dipakai sukarno, dimana tempat kongkow Hatta, dsb. Tapi, sekarang lain cerita sosialita telah menjamur di segenap komunitas intelek­tual universitas, militansi hal yang mahal, dialektika hanya bahasan mereka-mereka yang kusam dan kumal. Jangankan meruntuhkan rezim men­jalankan revolusi, kena panas matahari saja paniknya sudah minta ampun.

Sementara itu, sekilas tentang moralitas, menurut gramsci, Negara telah mena­namkan semacam ide-ide dan pandangan moral untuk me­ne­kan agar masyarakat diba­wah tidak melancarkan perla­wanan dalam bentuk hege­moni. Dibentuklah semacam kesadaran palsu, melalui appa­­ra­tus ideology Negara seperti, pendidikan, agama, sosial, dan budaya. Begitupun dengan kampus, mahasiswa dibentuk untuk tetap bung­kam dan penurut, tidak diper­ke­nankan untuk berkrea­tivitas dan berinovasi, keluar­nya hanya untuk memenuhi pangsa pasar dan kerja. Bagai­mana mungkin dari sistem seperti ini muncul mahasiswa yang benar militan dan inte­lek­tual, agen perubahan, kritis dan guardian of value.

Disisi lain, Romantisme gerakan mahasiswa 1928, 1966, 1974, dan 1998 menja­di belenggu bak hantu yang bergentayangan. Selalu ada ketakutan di aktivis sekarang ini, mengapa kita tidak bisa melakukan yang sama dengan apa yang dulu pernah dilaku­kan, bahkan bisa melebihi itu. Mestinya ada alternatife dan school untuk menjawab kega­mangan gerakan mahasiswa saat ini.

Mahasiswa dan Diskursus

Sehingga pada akhirnya, agar tidak semakin jauh terje­ram­bab dalam perputaran ra­sa yang hambar, idealnya ma­hasiswa mesti tetap berdis­kur­sus (wacana), melan­jutkan di­alektika, dan memenuhi ruang publik dengan aktivitas ke­mahasiswaan yang sarat nuan­sa intelektual. Tidak te­belenggu dalam satu pan­da­ngan ideologis, bahkan cen­de­rung fanatis dan taklid buta. Ma­hasiswa mesti bersi­kap uni­versal dan holistic, karena bi­la sebagai maha­siswa sudah ga­mang dengan pandangan lain, bahkan ter­ke­san men­jas­tifi­kasi mending hapus saja ka­ta “maha” dari mahasiswa.

Sebab, ruang publik ter­utama kampus tak lain meru­pakan kawah candradimuka dalam memberikan sum­bang­sih perubahan. Dan para aktivis mahasiswa mesti me­man­faatkan kesempatan itu dengan tetap berjalan diatas idealisme serta sedapat mung­kin menghindarkan diri dari politik praktis.

Untuk menciptakan itu ten­tu kampus sebagai ruang pu­blik mesti diisi oleh kegia­tan mahasiswa yang ber­orien­ta­si intelektual. Diskusi-dis­ku­­si komunitas dalam ling­kup kecil mesti digalakkan kem­bali. Agar hiruk-pikuk ke­hidupan kampus tidak me­lu­lu soal fashion dan lifestyle. Dan lebih dari itu, rasa empati so­sial dapat terasah apabila se­ring berdiskursus serta akan le­bih baik lagi bila itu dipa­du­kan dengan aksi nyata tu­run langsung ke masyarakat ba­wah. Sehingga dengan sen­di­rinya, budaya konsu­meris­me dapat dikikis dari kehidu­pan mahasiswa, karena semua te­ngah sibuk dengan pemi­ki­ran, dialektika dan gagasan. ***

*) Nabhan Aiqani, Ketua UKM Pengenalan Hukum dan Politik Universitas Andalas, Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional.
http://harianhaluan.com/news/detail/47941/dilema-aktivisme-mahasiswa

Leave a Reply

Bahasa »