Harga Buku Langka

Aris Kurniawan *
belagaresensi.blogspot.co.id

Melalui telepon, Andre Tanama (34), seorang bibliophile, sebutan untuk kolektor buku langka, menuturkan perihal buku langka. Menurutnya, buku langka tidak selalu buku kuno yang berumur ratusan tahun. Dosen seni rupa Institut Seni Indonesia, Yogyakarta ini, mengategorikan buku langka berdasarkan sekurangnya empat hal, yaitu tampilan fisik seperti desain perwajahan, umur buku, isi, dan pengarang.

Andre mengajukan contoh sejumlah buku terbitan penerbit Yogakarta awal 1990-2000 an, seperti Bentang Budaya, Teplok Press, Mata Bangsa, Pohon Sukma, Pustaka Promethea, Jendela, Yayasan Aksara Indonesia sebagai buku-buku langka yang kini banyak diburu peminat karena desainnya menarik secara artistik dan diterbitkan dalam jumlah terbatas.

Andre punya pengalaman, buku koleksinya terbitan penerbit Bentang Intervisi Utama ditawar penerbit bersangkutan lantaran penerbitnya sendiri bahkan tak memiliki arsip buku tersebut. Menurut Andre, buku-buku lawas yang hingga sekarang dicari banyak orang adalah buku-buku yang isinya sangat bagus, penting, dan tentu saja bernilai sejarah, atau ketokohan pengarangnya. Sebutlah buku “Di Bawah Bendera Revolusi” karangan Soekarno yang berangka tahun 1959. Saat ini menjadi buku yang sangat banyak peminatnya karena memiliki hampir semua kategori buku langka.

Aku menyimak penuturan Andre yang terdengar begitu bersemangat, pada Sabtu pertengahan Agustus lalu. Aku mendapatkan nomornya dari kawan pemilik toko buku bekas online. Tampaknya Andre pengamat buku bekas yang telah ‘kaffah’. Penuturannya sangat seru dan mengasyikkan. Buku-buku yang dianggap tua, antik, dan langka seringkali tidak mudah untuk mendapatkannya. Banyak kolektor rela menempuh jalan yang berliku serta merogoh kocek cukup dalam untuk memperoleh buku langka yang diminatinya. Perburuan kolektor atas sebuah buku langka tertentu, secara otomatis akan melambungkan harga buku tersebut dengan cara yang kadang begitu fantastis, “Saya dulu mendapatkan buku ‘Di Bawah Bendera Revolusi’ dari sebuah toko buku langka on line, Tsarin Buku Langka, seharga 500 ribu, tahun 2012 kalau gak salah,” cerita lelaki bernama lengkap Albertus Charles Andre Tanama.

Buku karangan presiden pertama Republik Indonesia ini jika ‘dilempar’ dengan harga Rp7 juta melalui online tidak butuh waktu lama untuk segera ‘ditangkap’ peminat. Namun Andre tidak melakukannya. Bagi Andre, membaui aroma buku lama saja membuatnya merasa bergairah seperti anak kecil menemukan mainan yang pernah hilang dan diburunya sekian lama.

Dalam memperoleh buku langka incarannya selain dengan memburunya ke lapak-lapak buku langka dan toko buku online, kadang melalui cara barter dengan lukisan karyanya. Sampai saat ini jumlah koleksi bukunya mencapai 1.000 lebih. Beberapa di antaranya yang paling tua adalah buku berbahasa Belanda berjudul Indie karya JC Lamster terbitan 1928, buku beraksara Jawa berjudul “Junggring Salaka” karya Ki Ageng Suryomentaram, terbitan 1938, dan “Perboeatan Djahat” karya Tan Boen Kim terbitan 1920. Buku JC Lamster diperoleh Andre dari toko buku loak di Velodroom di Malang dengan harga Rp800 ribu.

Lawas dan Langka

Iwan Gunadi, seorang pedagang buku langka online di jaringan tokopedia.com membedakan buku lawas atau tua dengan buku langka. Buku langka jumlahnya pasti sangat terbatas, semisal buku otobiografi Pangeran Diponegoro yang tulis tangan. Buku otobiografi ini hanya satu dan tidak ada yang menjualnya. Contoh buku langka lainnya adalah adalah Serat Centhini. Hanya ada tiga eksemplar di dunia. Ada seseorang yang memiliki satu esksemplar pada tahun 2011 menawarkannya dalam pameran buku IKAPI Book Fair 2011 di Jakarta senilai Rp5 miliar.

Sedangkan buku lama adalah buku yang telah berumur puluhan bahkan ratusan tahun. Biasanya diburu para kolektor karena nilai sejarah dan kenangan. Contohnya buku-buku komik, semisal “Anak Rimba Indonesia” karya Kwik Ing Hoo dan Liem Boen Djien, “Si Buta dari Gua Hantu” karya Ganes TH, “Panji Tengkorak” karya Hans Jaladara, hingga “Jaka Sembung” karya Djair. Harga buku lama jelas berbeda dibanding buku langka. Buku lawas cenderung tidak semahal buku langka. Harga buku lawas maupun buku langka ditentukan oleh hukum pasar seperti yang seperti yang kita kenal (supply and demand), kebutuhan dan pasokan buku pada waktu tertentu.

“Lebih penting dari itu adalah seberapa penting buku tersebut dalam khazanah kebudayaan, ketokohan atau ketidaktokohan penulisnya, seberapa sedikit buku itu diterbitkan dulu dan perkiraan ketersediaannya sekarang, cetakan pertama atau bukan, dan sebagainya. Tetapi, khusus buku langka, sejatinya, harganya cenderung tak turun, tapi malah terus naik,” papar Iwan, ditemui di tokonya di Tangerang, suatu hari.

M Kelik Nugroho, seorang kolektor buku langka lainnya, berpendapat agak berbeda. Menurut mantan editor opini Koran Tempo ini, naik dan turunnya harga buku langka ditentukan oleh motif penjual. Ia menceritakan dirinya pernah menawarkan buku langka miliknya dengan harga tinggi semata dengan motif meninggikan harga jual buku langka miliknya. Baik Kelik maupun Andre menjadi seorang kolektor buku tidak dengan motif investasi sekalipun keduanya percaya bahwa buku lawas dan terutama buku langka bisa menjadi benda bernilai investasi secara ekonomi.

Yang menarik, buku-buku yang masuk kategori langka yang memiliki nilai ekonomi tinggi banyak di antaranya buku-buku yang berbau kiri. Mumu Aloha, seorang pengamat pasar buku langka, menyebutkan, buku-buku terjemahan karya Karl Marx menjadi buku langka yang punya nilai jual yang tinggi. Buku-buku sejarah terjemahan Pustaka Jaya era 80-an dengan sampul hardcover berdesain minimalis seperti “Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang” karya Harry J Benda atau “Abangan Santri dan Priyayi” karya Clifford Geetz kini juga telah menjadi karya klasik yang langka, mahal dan diburu kolektor. Juga buku karya Sartono Kartodirdjo “Pemberontakan Petani Banten 1888”. Karya-karya Kuntowijoyo, “Radikalisasi Petani dan Madura: Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris 1850-1940” juga masuk dalam kategori ini.

Masih banyak buku-buku langka yang sekarang diburu para kolektor dan berharga tinggi, dua di antaranya yang menjadi primadona adalah: “Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946” karya Benedict Anderson dan “The Indonesian Killings: Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966” karya Robert Cribb (Mata Bangsa, 2003).

*) Aris Kurniawan, adalah pecinta pohon, penganjur penggunaan kondom, antitembakau, pembenci kopi, penggemar matahari pagi.
http://belagaresensi.blogspot.co.id/2016/10/harga-buku-langka_49.html

Leave a Reply

Bahasa »