Fazabinal Alim *
basabasi.co
Pada 11 Juni 2017, Dea Anugrah menulis tentang terjemahan puisi-puisi Nizar Qabbani yang meragukan di www.tirto.id. Ia membandingkan tiga buku terjemahan puisi Nizar Qabbani yang berjudul Puisi Arab Modern, Surat dari Bawah Air, dan Yerusalem, Setiap Aku Menciummu.
Bagi Dea, dari segi kualitas maupun kuantitas, penerbitan terjemahan puisi-puisi Nizar Qabbani di Indonesia masih jauh dari cukup. Dalam hal ini, saya sepakat dengan Dea. Namun, dari hasil perbandingan tiga buku ini, Dea yang lebih cenderung memuji buku terjemahan Usman Arrumy, Surat Dari Bawah Air, hanya karena diambil dari teks Arab, bagi saya menyimpan kemuskilan yang perlu dijernihkan. Dan di sini saya akan fokus pada kemuskilan-kemuskilan yang saya temukan dalam terjemahan Usman Arrumy yang dipuji habis oleh Dea.
Nizar Qabbani adalah penyair yang sangat produktif. Sejumlah besar puisinya terhimpun dalam Al-A’mal al-Kamilah (kumpulan karya lengkap). Usman Arrumy memilih secara acak puisi-puisi Nizar Qabbani dari total tiga jilid Al-A’mal al-Kamilah yang kemudian ia terjemah menjadi Surat dari Bawah Air.
Tentu saja, alih bahasa puisi-puisi Nizar Qabbani merupakan kabar baik bagi pembaca Indonesia. Tapi kabar baik itu akan berkurang nilainya ketika puisi yang begitu estetik ini diterjemahkan dengan tidak estetik (dan nyaris asal-asalan) oleh seorang penerjemah yang dianggap baik oleh Dea.
Dalam amatan saya, Usman Arrumy melakukan berbagai kesalahan terjemah. Tidak semua, tapi nyaris pada larik demi larik, puisi demi puisi, terdapat kesalahan terjemah yang fatal, baik secara struktural maupun leksikal. Karena tak mungkin menyebutkan satu per satu dalam esai ini, saya ambil tiga puisi saja, yang saya kira paling mewakili.
Pertama, puisi berjudul “Saaqulu laki Uhibbuki” [Aku akan mengatakan kepadamu bahwa “aku mencintaimu”] (hlm. 1-6). Pada larik ketiga, bait pertama (hlm. 1), Usman Arrumy menerjemahkan terbalik kata la yabqa, yang dalam arti leksikalnya, “tidak tetap/tidak lagi/tidak bersisa” menjadi “ada yang tetap”. Selanjutnya pada kata ‘Indaizin satabda’u muhimmati//fi taghyiri hijarat hadza al-‘alam (ketika itu perhatianku akan mulai//mengubah batu-batu dunia), di mana seharusnya kata muhimmati (perhatian) adalah subjek dari kata tabda’u, diterjemahkan menjadi “ketika kau mulai menjadi perhatianku//dalam rangka mengubah batu”.
Pada bait kedua, larik ketiga, kata wa yushbihu al-hawa’ allazi tatanaffasinahu yamurru biriatayya ana, yang dalam terjemahan leksikalnya, seharusnya, “ketika napas yang kau (perempuan) embuskan itu melewati paru-paruku”, diterjemahkan menjadi “demi menjadikan udara menafasimu melintasi kebebasanku”.
Pada bait ketiga, larik kesembilan, Usman Arrumy menerjemahkan kata innani la u’ani min ‘uqdat al-mutsaqqifin menjadi “aku tak bisa bebas menyimpulkan intelektualitas”. Seharusnya terjemahan leksikalnya “karena aku tak ingin menderita dari belenggu para intelektual” dan pada larik ketigabelas kata “fa al-mar’atu qashidatun amutu ‘indama aktubuha” diterjemahkan menjadi “perempuan telah mati begitu aku menulis puisi”, padahal terjemahan leksikalnya adalah “perempuan adalah puisi yang membuatku mati ketika aku menuliskannya”.
Kedua, puisi berjudul “Rubbama” [Barangkali] (hlm. 38-49). Pada bait kedua, larik keduabelas, kata ghayra anna al-hubb ma ballala bi al-dam’ sariri, yang arti leksikalnya “hanya saja, dengan air mata, cinta tak dapat membasahi ranjangku” diterjemahkan menjadi “tapi aku suka air mata yang membasahi ranjangku”. Dan pada bait ketiga larik kedelapan, kata fusul yang artinya lebih dekat dengan kata “musim” menjadi “pasal”.
Ada beberapa bait yang sengaja dihapus dan tidak diterjemahkan oleh Usman Arrumy. Pada bait kelima, ada dua larik setelah larik ketiga, dan satu larik setelah larik ketujuh (hlm. 40-41) yang dihapus dan tidak diterjemahkan. Kemudian ada sembilan larik di bagian pertama bait keenam yang juga dihapus dan tidak diterjemahkan. Selanjutnya pada bait ketujuh, ada kesalahan tulis, ma arwa’a menjadi ma arwaha yang tentunya telah mengalami pergeseran makna. Dan lagi-lagi pada bait kedelapan, Usman Arrumy menghapus separuh larik pertama, kedua, dan ketiga. Dan satu larik pada bait kesembilan.
Ketiga, puisi berjudul “Hubb Bila Hudud” [Cinta tanpa batas] (hlm. 66-79). Pada bait kedua, larik keempat ya anharan min nahawand yang jelas tertulis dalam teks Arabnya, tidak diterjemahkan oleh Usman Arrumy. Dan pada larik ketujuh, kata kasarab al-hamam yang artinya “kawanan merpati” dibaca al-hammam, sehingga diterjemahkan menjadi “bak mandi”.
Pada larik kelima, bait keempat hatta ashbaha malak al-syi’r, di mana subjek dalam larik ini adalah “aku” yang seharusnya diterjemah “hingga aku bisa menjadi raja puisi” dibalik menjadi “agar aku bisa menjadikan kau ratu puisi”. Pada larik ketujuh, yakfi an ta’syiquni imraatun mitsluki seharusnya “cukup bagiku ada seorang perempuan sepertimu mencintaiku” menjadi “cukuplah bagiku merindukan perempuan sepertimu”. Dan pada larik kesembilan, wa turfa’u min ajli al-rayat diterjemahkan “dan mengibarkan bendera kebangsaan” seharusnya “bendera-bendera dikibarkan demi diriku”.
Pada bait kelima, kata lan yataghayyaru syai’un minni, diterjemahkan “tak ada yang bisa mengubahku”, seharusnya “tak akan pernah ada yang berubah sedikit pun dariku”. Kata lan yatawaqqaf nahr al-hubb an al-jaryan diterjemah menjadi “sungai cinta akan mengalir jauh”, seharusnya “sungai cinta tak akan pernah berhenti mengalir”. Kata lan yatawaqqaf hajal al-syi’r an al-thairan diterjemah menjadi “tarian puisi tak akan berhenti terbang”.
Usman Arrumy menerjemah hajal yang arti leksikalnya adalah burung gunung (bahasa Inggris: partridge) semacam “burung puyuh” menjadi “tarian”.
Hina yakunu al-hubb kabiran//wa al-mahbub qamaran diterjemah menjadi “ketika cinta yang akbar itu//telah menjadi kekasihnya rembulan”. Seharusnya, “ketika cinta telah beranjak dewasa//dan yang dicintai menjadi rembulan”.
Pada bait keenam, kata la ya’ni li al-syari’ sya’an seharusnya “jalan tak berarti apa-apa bagiku” diterjemah menjadi “aku tak punya arti apa pun bagi jalan”; dan kata la ta’ni li al-hanat syai’an, seharusnya “biar tak berarti apa-apa bagiku” diterjemahkan “tak punya arti apa-apa bagi kerinduan”
Kata ma as’adani fi manfaya “betapa bahagianya diriku dalam pengasingan” yang bentuknya tafdil/superlatif diterjemahkan menjadi bentuk pertanyaan, “Apa yang bisa membahagiakanku di perasingan?”. Uqattir ma’a al-syi’r “kuteteskan air puisi” di mana subjeknya adalah aku, diterjemahkan menjadi “air puisi menetes”. Ma aqwani//hina akunu sadiqan//li al-hurriyah wa al-insan diterjemah menjadi “apa yang bisa mendatangkan kemalanganku//ketika aku berdiri di posisi yang benar//pada kebebasan dan kemanusiaan”, seharusnya “betapa kuatnya diriku ketika aku menjadi teman//bagi kebebasan dan kemanusiaan”. La tansyaghili bi al-mustaqbal, ya sayyidati yang seharusnya “tak usah terlalu sibuk memikirkan masa depan” diterjemah “kelak, tak usah kau bersedih”. Kata wa fi dzakirah zinbaq wa al-raihan tidak diterjemah. Seharusnya “dan dalam memoar bunga lili dan semerbak wanginya”.
Itulah (di antara) kekeliruan-kekeliruan mendasar dalam terjemahan Usman Arrumy yang tak terjangkau oleh Dea, sehingga Dea cepat memberi kesimpulan bahwa hasil terjemah Usman Arrumy layak diapresiasi tinggi semata karena ia menerjemahkannya dari bahasa asal Nizar Qabbani.
Terjemah yang baik, menurut saya, tetap harus dipijakkan pada makna yang tersampaikan setelah teks itu dialihbahasakan. Usman Arrumy niscaya sadar akan hal itu. Buktinya, ia mengutip Sapardi Djoko Damono bahwa terjemahan telah menjadi karya yang mengalami proses alih wahana, yang menjadikannya benda budaya yang baru.
Namun, alih-alih menjadikan karya terjemahan sebagai budaya yang baru, Usman Arrumy justru menerjemahkan puisi Nizar Qabbani yang bahasanya sangat sederhana dan liris menjadi tidak lagi sederhana dan bahkan sedikit membingungkan. Menerjemah itu seyogianya memudahkan pemahaman, bukan membagi kebingungan.
Memang ini teks sastra, yang mungkin akan tetap bisa dinikmati oleh pembacanya walau sebagai sesuatu yang lain. Tapi bagaimana seandainya yang diterjemah adalah teks-teks keagamaan atau rumus-rumus penting fisika dan resep-resep kedokteran?
Apa yang terjadi pada kasus terjemahan Nizar Qabbani oleh Usman Arrumy mematahkan tesis Dea bahwa menerjemah dari bahasa pertama (asal) menggaransi kualitasnya menjadi lebih baik. Poinnya jelas bukan semata terletak pada bahasa pertama, tapi pada orang yang mengalihkan bahasa.
Saya teringat celoteh Al-Fatih Mirghani di sebuah acara televisi: “Saya tidak yakin ada seorang pemuda di dunia ini, baik seorang terpelajar maupun penyuka puisi, yang bisa memasuki kebun Nizar Qabbani.”
*) Fazabinal Alim, Penerjemah dan Kritikus Sastra Arab
http://basabasi.co/ketika-usman-arrumy-salah-memasuki-kebun-nizar-qabbani/
https://tirto.id/puisi-puisi-nizar-qabbani-dan-terjemahannya-yang-meragukan-cqkZ