Alunk Estohank *
riaupos.co
Apa yang dikhawatirkan A.S Dharta dalam pidatonya pada simposium Fakultas Sastra, Jakarta, Januari 1956 tentang krisis yang melanda bangsa ini memang benar-benar terjadi pada saat ini. A.S Dharta mengatakan bahwa bangsa ini tengah mengalami krisis, baik itu krisis kepeminpinan, krisis ekonomi, krisis kemanusiaan, krisis ini, itu dan sebagainya. Bahkan juga tentang kesusastraan ada yang mengatakan tengah mengalami krisis.
Memang krisis dalam dunia sastra dewasa ini seringkali kita dengar, baik itu krisis penulis, krisis kritikus dan krisis kualitas. Semua itu tidak dapat kita pungkiri, krisis kesusastraan yang tengah melanda negeri ini memang tak lepas dari pengaruh perkembangan sastra itu sendiri. Di mana karya sastra berkembang dengan begitu pesatnya, sehingga karya sastra bukan lagi sabagai karya yang fenomental namun lebih kepada pasar, uang dan popularitas belaka. Apabila membincangkan popularitas maka yang terbentang adalah hamparan orientsi keuntungan dan indikasi kepentingan.
Perbincangan krisis ini biasanya berbarengan dengan apa yang kita kenal sebagai “kesadaran sejarah”. Di mana sejarah kesusastraan kita memang mempunyai sejarah yang bagus, dulu kita mengenal Pramoedya Ananta Toer yang fenomenal dengan tetraloginya, ada HB Jassin yang merelakan seluruh hidupnya hanya untuk sastra. Sekarang apa yang mesti kita kenang dari sastra Indonesia selain sebagai “krisis”.
Baiklah kita tinggalkan sejenak tentang “krisis” kesusastraan bangsa ini, marilah kita beranjak pada apa itu ‘kesadaran sejarah’. kesadaran sejarah dalam hal ini adalah bagaimana kita mengingat dan mempertautkan dengan masa sekarang, bahwa sebenarnya kita mempunyai sejarah yang bagus di ranah kesusastraan. Namun kemudian saya teringat perkataan Nirwan Dewanto: masih perlukah sejarah sastra? Pernyataan yang begitu ngeri menghantam ingatan saya. Sastra memang memiliki sejarah yang baik, sejarah nasionalisme, sejarah perjuangan, sejarah menemukan jatidiri dan sejarah-sejarah lainnya, baik semenjak balai pustaka atau sebelumnya hingga lahirlah angkatan demi angkatan, bukankah itu sejarah baik dari kesusastraan Indonesia?
Iya, itu sejarah baik. Dan sejarah itu pada pentas mutakhir ini sudah mulai mengkhawatirkan. Kekhwatiran-kekhawatiran itu muncul dari sikap tersendiri sastrawan mutakhir menyikapi kesusastraan itu sendiri. Sepertinya para sastrawan kita sudah mulai mengalihkan jalur murni sastra ke jalur diam-diam bisnis. Jembatan sastra ke jalur bisnis sudah mulai nampak saat percepatan akses dan teknolgi berkembang massif dan tak terkontrol. Kemajuan di bidang inilah kemudian oleh pihak tertentu di manfaatkan sebagai kecelakaan bertindak.
Tak jarang kita saksikan setiap tahunnya berapa buku yang terbit, berapa puisi yang terantologi, berapa karya sastra yang dibaca, tapi adakah yang berkesan untuk kita kenang? Kalau Nirwan Dewanto mengatakan: saya mengenang buku sastra yang terbit karena menghargai tanah kelahiran saya. Sebenarnya secara tidak langsung Nirwan ingin mengatakan tak ada yang patut dikenang untuk terbitan buku kesusastraan mutakhir kita.
Kesusastraan mutakhir saya kira memiliki orientasi aktual, tentunya orientasi orang-orang bermodal. Yaitu sistem kapitalisme dalam kesusastraan yang kini bukan omong belaka dan tulisan esai di media, tapi sudah benar nyata. Sekarang boleh kita simak realitasnya, penerbit buku sudah ada di mana-mana dan berlomba-lomba menerbitkan buku meskipun tidak bermutu.
Kemudian kenapa ada pernyataan “Negeri ini krisis kritikus sastra”. Alasannya saya kira cukup sederhana, karena tak ada karya sastra yang pantas kita baca dan dibicarakan. Karya sastra sekarang begitu mentah, tak ada dorongan magic atau setimulasi untuk menggelisahkan pembaca.
Lain perkara lagi jika kita sanding bandingkan karya sastra sekarang dengan zaman dulu: zaman Chairil Anwar, Rendra, Wiji Thukul yang memiliki suntikan besar terhadap perkembangan dan semangat bangsa.
Maka tak pelak lagi kalau sastra modern menjadi biang keladi atas segala “krisis” dalam dunia kesusastraan. Sastra modern didaulat telah mencemarkan nama baik kesusastraan dan mengubah paham yang ada dalam dunia sastra yang awalnya mempunyai spirit kebangsaan dan kemanusiaan menjadi hiburan tanpa isi. Hal ini menjadi racun paling ganas dalam dunia kesusastraan, di mana anak-anak muda saat ini hanya memiliki paham kalau sastra hanya berkisar pada persoalan cinta dan tetek bengik hiburan saja.
Di sinilah kita menemukan titik terang tentang apa yang kita sebut sebagai “krisis”. Oleh karena itu mari kita renungkan kembali meski sejenak: untuk apa karya sastra jika tidak memiliki pengaruh terhadap masyarakat luas? Setidaknya ada alasan yang lebih rasional selain melulu popularitas. Dititik ini, membaca teks sastra tidak hanya sebatas menikmati, tapi juga menyingkap makna tersembunyi hingga dapat dimengerti, dihayati, diinterpretasi sebagaimana juga ungkap Damhuri Muhammad.
Maka sebagai pembaca karya sastra saya tetap menempatkan diri sebagai penikmat, bukan kritikus dan bukan pula sastrawan. Barangkali saya salah dan mungkin juga benar berharap banyak tentang kesusastraan negeri ini, tidak sekedar mengejar uang dan popularisasi saja. Setidaknya harapan itu adalah keseriusan pihak tertentu dalam melihat perkembangan kesusastraan saat ini yang tengah mengalami “krisis”.
***
*) Alunk Estohank, esais tinggal di Yogyakarta.