Frans Ekodhanto
koran-jakarta.com
Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia yang Paling Berpengaruh menuai kontroversi. Selain kriterianya dipertanyakan, munculnya nama seorang konsultan politik dalam buku ini juga dipertanyakan.
Tidak lama setelah kabar tindak asusila yang dilakukan oleh pelaku sastra berinisial “S”, kali ini, jagat sastra Indonesia kembali digegerkan dengan munculnya buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Buku setebal 734 halaman tersebut disusun oleh Tim 8 yang terdiri dari para sastrawan, yakni Jamal D Rahman (ketua tim), Agus R Sarjono, Ahmad Gaus, Acep Zam-zam Noor, Joni Ariadinata, Maman S Mahayana, Berthold Damshauser, dan Nenden Lilis Aisyah. Buku yang diluncurkan pada 3 Januari 2014 di Pusat Dukumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Jakarta Pusat, itu lantas mengundang pro dan kontra. Mereka umumnya mempertanyakan kriteria pemilihan para tokoh sastra tersebut. Apalagi, dari ke-33 nama tersebut, terselip nama Denny JA yang selama ini lebih dikenal sebagai pengelola sebuah lembaga survei politik, sedangkan nama-nama lainnya memang merupakan sastrawan terkenal seperti Kwee Tek Hoay, Marah Rusli, Muhammad Yamin, Hamka, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, Achdiat Kartamihardja, Amir Hamzah, Trisno Sumardjo, HB Jassin, Idrus, Mochtar Lubis, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, dan Iwan Simatupang.
Menurut Damhuri Muhammad, terminologi buku paling berpengaruh tidak jelas ukurannya. Menurut dia, seorang sastrawan bisa saja dulu berpengaruh, tapi belum tentu sekarang. Dalam artian, pengaruhnya harus jelas, apakah untuk umum atau untuk penulisnya. “Kalau begini kan membuat nama 33 itu menjadi heroik. Kalau tidak menggunakan terminologi paling berpengaruh maka buku itu sah. Misalkan, 33 tokoh sastra yang produktif. Dengan demikian, tidak ada makna yang superlatif,” jelas cerpenis tersebut.
Damhuri juga menambahkan bahwa tim penyusun seharusnya punya metodologi dalam menentukan angka 33, apa dasarnya. Apakah mau menunjukkan kepahlawanan atau menunjukkan orang-orang yang berjasa di bidang sastra. “Menurutku, yang paling bermasalah ketika ada nama Denny JA. Dia memang pernah menerbitkan buku puisi esai, beberapa tahun lalu, akan tetapi puisi esai itu masih dalam perdebatan. Sesuatu yang masih dalam perdebatan, belum dikaji oleh peneliti, belum patut masuk dalam daftar itu,” tegasnya.
Kecaman juga datang dari Zen Hae. Menurut penulis buku Paus Merah dan Rumah Kawin tersebut, tim 8 telah melakukan semacam upaya kanonisasi sastra sebagai panduan menuju sastra Indonesia modern. Akan tetapi, dia tidak paham bagaimana mekanismenya, apakah dilakukan semacam survei kepada khalayak umum, seperti pelaku dan pengamat sastra, pembaca, pelajar, mahasiswa, dan lain-lain. “Artinya, komposisi/keterwakilan harus diperhatikan, demikian juga dengan idiologi, gender, dan aspek-aspek lainnya. Jadi membuat kanon itu harus banyak yang dipertimbangkan,” ujarnya.
Berdasarkan catatan pengantar Tim 8 yang termaktub dalam buku 33 tokoh tersebut dikatakan kemunculan nama-nama itu didasarkan atas beberapa pertimbangan, Pertama, karya dan/atau pemikiran sang tokoh. Yang dimaksud di sini adalah karya sastra (puisi, cerpen, novel, dan drama) dan pemikiran sang tokoh, baik pemikiran itu dikemukakan dalam karya sastra atau esai dan sejenisnya. Kedua, kiprah dan kegiatan sang tokoh. Ketiga, muara dari dua pertimbangan tersebut—yang dapat diperinci melalui sejumlah pertanyaan—adalah sejauh mana pengaruh sang tokoh khususnya bagi kehidupan sastra, dan umumnya bagi kehidupan sosial, budaya, dan politik di Tanah Air. (hlm xii-xxxiii)
Siapa Memilih Siapa
Ketika dikonfirmasi soal ini, salah satu tim penyusun buku tersebut, Maman S Mahayana, menjelaskan kronologi terbentuknya tim dan kronologi pembuatan buku. Dosen sastra Universitas Indonesia itu menjelaskan bahwa pada bulan Februari 2013, dirinya dihubungi Jamal D Rahman (juga Agus R Sarjono). Jamal menyampaikan bahwa PDS HB Jassin memintanya untuk menulis buku tentang sastrawan Indonesia (yang fenomenal atau tokoh sastra yang berpengaruh pada kehidupan bangsa). Tentu saja Maman menyambut baik ajakan itu.
Di sini, ada tiga hal yang tak dapat ditolaknya: (1) buku tentang tokoh sastra, (2) sahabat Jamal D Rahman, (3) PDS HB Jassin, lembaga yang sangat dihormatinya, seperti dirinya menghormati gurunya, Pak Jassin. Kemudian mereka bertiga berkumpul membincangkan hal umum tentang pentingnya buku itu. “Saya diminta membuat draf dasar pemikiran, kriteria, dan senarai 40-50 nama sastrawan penting untuk didiskusikan. Sebagai proyek PDS HB Jassin, saya berpikir segalanya akan lebih mudah karena bahan-bahan sudah tersedia,” tutur Maman.
Pada pertengahan Februari, Maman kembali ke Seoul, Korea. Diskusi dilakukan lewat e-mail. Jamal dan Agus juga mengirimkan senarai nama sastrawan menurut pilihannya. Pada 26 Februari, Jamal mengirim e-mail dan meminta dirinya berkumpul di Cisarua. Disebutkan dalam e-mail, “Kegiatan ini secara formal dilaksanakan oleh PDS HB Jassin. PDS HB Jassin telah memberikan mandat kepada Jamal D. Rahman untuk mengoordinasi kegiatan dimaksud.” Dikatakan pula, tiket Seoul-Jakarta-Seoul, akan diganti Panitia. “Wow keren, PDS HB Jassin bikin kejutan!” ungkap Maman dalam hati. Pada 1 Maret, dirinya dijemput Jamal di Bogor. Jamal bersama Ahmad Gaus. Menurut pengakuan Maman, itulah awal dirinya mengenal Gaus. Di Cisarua, sudah ada Berthold Damshäuser dan Agus R Sarjono, tetapi dirinya tak jumpa teman-teman dari PDS HB Jassin. Malamnya, penulis lain datang. Lengkaplah delapan orang. Diskusi dimulai dengan pembahasan dasar pemikiran dan kriteria. Segalanya berjalan lancar. “Kemudian memasuki pemilihan nama-nama, dari rencananya 25 nama, membengkak lagi jadi 30, lalu ada lagi tambahan hingga sampailah ke angka 33,” kata kritikus sastra Indonesia itu.
Mengenai alasan mengapa 33 tokoh dan latar belakangnya, Maman menyampaikan bahwa memilih sastrawan-sastrawan penting dalam rentang waktu yang panjang memang sangat sulit. Dari rencana awal 25 membengkak 30 sampai 33 menunjukkan proses yang tak mudah. Setiap nama yang dimunculkan diikuti argumen dan berbagai hal sesuai dengan kriteria yang sudah ditentukan. Nama-nama seperti Yamin, Alisjahbana, Chairil Anwar, Iwan Simatupang, Jassin, Pramoedya, Sutardji, dan beberapa nama lain, seketika mendapat aklamasi. Ada juga nama yang disepakati melalui proses perdebatan seperti Trisno Sumardjo, Idrus, Arief Budiman, Emha, dan beberapa nama lain. Tetapi ada dua nama disepakati melalui prinsip mayoritas. Kedua nama itu, Wowok Hesti Prabowo dan Denny JA.
Menurut Maman, dia satu-satunya yang menolak nama Denny JA. “Meski saya menolak konsep estetik yang ditawarkannya seperti yang pernah saya tulis di di salah satu media massa nasional, penolakan saya pada nama Denny JA bukan pada konsep estetik, melainkan pada pengaruhnya yang belum menunjukkan sesuatu yang signifikan bagi perkembangan sastra Indonesia serta kiprah dan kontribusinya yang masih harus kita lihat dalam tahun-tahun ke depan dan kepantasannya jika dibandingkan sastrawan lain,” ungkapnya.
Ketika ditanya kenapa tidak keluar saja dari tim buku tersebut? Maman berkilah, “Tentu langkah itu akan mencederai persahabatan, toh saya sudah terbiasa berbeda pandangan dengan teman, sahabat, bahkan dengan guru saya sendiri. Adapun angka 33 pada dasarnya pilihan,” ujarnya.
Maman menjelaskan berapa pun selalu akan ada pertanyaan yang sama. Misal, memilih 30 nama, mengapa 30 dan tidak 40 atau 50? Meski begitu, idealnya 10, tetapi jelas akan sangat sulit karena diperlukan data kualitatif-kuantitatif. Memilih 33 nama itu pun sebenarnya perlu data kuantitatif yang bisa dilakukan melalui pendekatan resepsi atau frekuensi kemunculan nama itu dalam sejumlah majalah atau surat kabar, atau bahkan juga bisa melalui angket. “Memilih 100 nama dengan data kualitatif sebenarnya lebih aman, tetapi akan menjadi buku yang sangat tebal dan perlu tambahan penulis lain,” ujarnya.
Yang menarik, ternyata penerbitan buku ini bukan gagasan dari Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Ariany Isnamurti, Kepala Pelaksana Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, secara tegas menyampaikan bahwa dirinya ataupun H.B Jassin tidak pernah memberikan penghargaan sedemikian besar kepada ke-33 orang tersebut. “Kegiatan ini sama seperti kegiatan peluncuran buku pada umumnya. Kami hanya fasilitator tempat kegiatan dan buku-buku yang dibutuhkan oleh tim 8 sebagai bahan riset/penelitian,” tuturnya.
Perempuan yang akrab disapa Bu Rini itu menjelaskan bahwa awal tahun 2013 dirinya dan ketua tim 8, Jamal D Rahman, memang sempat berbincang mengenai hal ini. “Kalau tidak salah pada bulan Maret 2013. Setelah perbincangan itu, saya dan Jamal tidak pernah lagi berbicara soal penerbitan buku itu. Lalu, pada November 2013, saya diminta untuk memberikan sambutan tertulis. Hanya itu, tidak lebih,” ungkapnya.
Terkait pelaksanaan acara dan pembicara, Ibu Rini mengaku dirinya diberikan dana oleh Jamal D Rahman, yaitu dana untuk mengurus konsumsi peluncuran, dana untuk honor pemateri, dan honorarium bagi dirinya sebagai penyelenggara serta para pekerja/pegawai HB Jassin.
dijumput dari https://www.facebook.com/notes/saut-situmorang/sastra-yang-mengundang-polemik/10152837435048815
Sumber: http://koran-jakarta.com/?3118-sastra-yang-mengundang-polemik