Fatmawati Adnan *
riaupos.co
SETIAP tanggal 23 Juli dirayakan sebagai Hari Anak Nasional. “Hari raya” anak-anak ini dirayakan dengan berbagai cara. Selain perayaan, Hari Anak Nasional biasanya juga diwarnai dengan berbagai pembicaraan yang membahas anak-anak dari berbagai sudut pandang.
Permasalahan yang berkait kelindan dengan anak-anak sangat majemuk dan kompleks. Mulai dari masalah kasih sayang orang tua sampai pada tindak kekerasan oleh para predator anak. Tak terlupakan juga masalah pendidikan, makanan, lingkungan, tontonan, dan berbagai hal lain dalam dunia anak.
Bagaimana dengan dunia sastra anak? Apakah sastra anak cukup eksis? Apakah sastra anak “berfungsi” dalam kehidupan anak-anak?
Amerika Serikat, Inggris, Australia, Jepang, dan Kanada menempatkan sastra anak sebagai disiplin ilmu yang cukup besar dan bergengsi. Para pakar dan profesor mengkaji sastra anak secara intensif. Buku dan jurnal khusus sastra anak (yang mencakup ilmu sastra anak, kajian dan kritik sastra anak, dan karya sastra anak) berkembang dengan pesat. Perpustakaan sastra anak memiliki rak-rak yang sama panjang dan kayanya dengan rak disiplin ilmu yang lain. Jurusan sastra anak di perguruan tinggi dipilih oleh mahasiswa dengan tujuan dan filosofi yang jelas (Purbani, tt).
Di Indonesia, sastra anak belum dianggap sebagai karya sastra karena dinilai memiliki nilai susastra yang rendah. Akan tetapi, bukan berarti sastra anak tidak mendapat perhatian. Beberapa tahun terakhir, sejumlah akademisi dan pemerhati sastra mulai menggeliat dan menggerakkan sastra anak dengan karya-karya mereka.
Murti Bunanta menulis Problematika Penulisan Cerita Rakyat untuk Anak di Indonesia (1998), Riris T. Sarumpaet menulis Bacaan Anak (1979), dan Burhan Nurgiyantoro menulis Sastra Anak, Pengantar Pemahaman Dunia Anak (2005). Mereka merupakan ilmuwan sastra yang tertarik pada sastra anak (Wiyatmi, 2005).
Norton (1993) mendefinisikan sastra anak sebagai sastra yang mencerminkan perasaan dan pengalaman anak-anak melalui pandangan anak-anak. Huck (1987) tidak mempermasalahan siapa penulis sastra anak (orang dewasa atau anak-anak), yang penting penggambarannya ditekankan pada kehidupan anak yang memiliki nilai kebermaknaan bagi mereka.
Sastra anak diyakini memiliki kontribusi yang besar bagi perkembangan kepribadian anak dalam proses menuju kedewasaan. Sastra dianggap mampu digunakan sebagai salah satu sarana untuk menanam, memupuk, mengembangkan, dan bahkan melestarikan nilai-nilai pendidikan yang baik dan sangat berharga oleh keluarga, masyarakat, dan bangsa (Sarumpaet, 1976).
Ketika dongeng mulai menepi dari gebyar kehidupan anak-anak sekarang, ada anggapan sastra anak mulai kritis menuju kematiannya. Sebenarnya sastra anak tidak hanya dongeng, meskipun kita terlanjur beranggapan demikian. Menurut Nurgiantoro (2010), cakupan sastra anak membentang luas sekali, bahkan melebihi cakupan sastra dewasa. Sastra anak dapat bersifat lisan, tertulis, bahkan juga aktivitas. Wiyatmi (2005) membedakan jenis sastra anak dalam beberapa kategori, yaitu realisme, fiksi formula, fantasi, sastra tradisional (mitos, legenda, cerita binatang, dongeng, cerita wayang, dan nyanyian rakyat), puisi, nonfiksi, dan komik.
Sejauh ini sastra anak di Indonesia dinilai memosisikan anak-anak sebagai pembaca inferior. Anak-anak disuguhi dan digurui dengan sedikit peluang untuk mengembangkan imajinasi dan inteligensi mereka. Pada umumnya sastra anak Indonesia bercerita tentang tokoh-tokoh ideal yang merupakan “impian” kaum dewasa. Cerita tersebut dilengkapi dengan “keharusan-keharusan” sesuai keinginan kaum dewasa yang mesti dipetik dari cerita tersebut.
Bandingkan dengan sastra anak yang berkembang di luar negeri. Cerita yang disajikan melibatkan anak secara emosional dan kognitif seiring dengan pertumbuhan jiwa mereka. Petualangan Lima Sekawan dan Pasukan Mau Tahu karya Enyd Blyton dan kisah Harry Potter yang diramu oleh JK Rowling mewakili sastra anak yang bercerita tentang anak-anak dan problematik kehidupan yang mereka alami. Karya ini juga menantang imajinasi dan inteligensi yang liar dan mengasyikan.
Mungkin, penyebab anak-anak dipandang sebagai pembaca inferior dalam sastra anak di Indonesia karena sastra sudah terlanjur dimaknai sebagai pembentuk moral atau karakter. Tidak salah dengan pemaknaan didaktis tersebut, hanya saja perlu diingat bahwa anak-anak memiliki kecerdasan dan kearifan sendiri.
Sastra memiliki banyak manfaat melalui unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terkandung di dalamnya. Huck (1987) mengemukakan manfaat yang dapat dinikmati anak-anak melalui sastra bagi perkembangan mereka terutama dalam hal perkembangan bahasa, perkembangan kognitif, perkembangan kepribadian, dan perkembangan sosial.
Berbicara mengenai sastra tentu saja tidak terlepas dari bahasa. Bahasa yang efektif dan imajinatif membantu anak untuk mengembangkan inteligensi dan imajinasi.
Menurut Huck (1987), sebuah karya dengan penggunaan bahasa yang efektif akan membuahkan pengalaman estetik bagi anak. Di sisi lain, penggunaan bahasa yang imajinatif dapat menghasilkan respons-respons intelektual dan emosional.
Melalui sastra, anak akan merasakan dan menghayati peran tokoh dan konflik yang ada. Mereka juga terpanggil untuk menghayati keindahan, keajaiban, kelucuan, kesedihan, dan ketidakadilan. Anak-anak akan merasakan bagaimana memikul penderitaan dan mengambil risiko, juga akan ditantang untuk memimpikan berbagai harapan. Mereka juga diajak untuk merenungkan dan mengemukakan berbagai masalah mengenai dirinya sendiri, orang lain, dan dunia sekitarnya.
Resmini (tt) mengemukakan teknik penuturan sastra anak hendaknya mempertimbangkan pemilihan kata dan gaya bahasa yang sesuai dengan perkembangan kognitif anak dan mengacu pada pengertian yang tersurat. Teknik penuturan latar dan tokoh sebaiknya lebih banyak menggunakan teknik adegan dilengkapi dengan dialog.
Lebih lanjut, Resmini menyarankan sebaiknya menggunakan teknik penyajian naratif yang didukung oleh deskripsi dan ilustrasi. Pemilihan teknik penuturan biasanya disesuaikan dengan tingkat kesiapan dan kematangan anak.
Perlu diingat bahwa anak-anak adalah pembaca awal yang sedang berproses meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Sebaiknya, bahasa dan teknik penuturan yang digunakan bersifat sederhana sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
Semoga sastra anak mampu menjadi penguat karakter dan kecerdasan anak. Semoga anak-anak bersuka cita menikmati masa kanak-kanak mereka dengan karya sastra yang berkualitas. Semoga anak-anak memeroleh masa depan yang gemilang, meskipun jutaan tantangan menghadang. Anak-anak Indonesia, selamat Hari Anak Nasional!***
*) Fatmawati Adnan adalah peneliti pada Balai Bahasa Riau.
http://www.riaupos.co/3322-spesial-anak-dan-sastra.html