Matroni Muserang *
JP Radar Madura, 27 Agu 2017
MAJELIS Sastra Asia Tenggara (Mastera) pada 7–13 Agustus 2017 di Puncak, Bogor, yang kebetulan saya menjadi salah satu pesertanya. Saya benar-benar menyadari, untuk menjadi penyair tidak mudah. Penyair bukanlah ia yang sudah menerbitkan buku puisi dan dimuat di media berkali-kali.
Penyair itu adalah takdir, kata Acep Zamzam Noor. Sebab kalau penyair sebuah tujuan, maka seseorang akan konslet (gila) bila tidak jadi penyair. Maka dari itu, menjadi penyair, kata Acep Zamzam Noor, sama seperti membuat batu akik ketika menulis puisi.
Seseorang harus memotong batu sesuai ukuran, dihaluskan, sampai batu akik tersebut terlihat cahayanya. Penyair seperti kiai. Seorang kiai, status kiai tidak dicita-citakan. Akan tetapi, orang yang menjadikan seseorang kiai.
Penyair pun demikian. Kita tidak perlu untuk menyebut diri kita penyair. Biarkan publik menyebut penyair. Sebab kalau kita ditakdirkan menjadi penyair, kepenyairan itu akan kita dapatkan.
Selama 7 hari ada kelas-kelas gabungan dari Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Pembimbingnya pun bergantian. Awal saya masuk kelas Joko Pinurbo dan mendiskusikan puisi, saya baru menyadari bahwa apa yang tulis selama 10 tahun itu baru draf puisi. Sebab, penyair bertugas mencari puisi yang mendekati kesempurnaan.
Artinya kalau kita menulis puisi kemudian selesai, tanpa mempertimbangkan bunyi atau rima, maka kita nyaris ”gagal” menulis puisi dengan baik. Sebab, puisi pada dasarnya adalah bunyi.
Penting kemudian kita mengetahui kiat-kiat menulis puisi yang buruk, kata Agus R. Sarjono. Pertama, tulislah dari bahasa yang umum. Kedua, generalisasi. Ketiga, propaganda. Keempat, gunakan kata-kata yang sudah janda berkali-kali (kata Suminto A. Suyuti yang dikutip Agus R. Sarjono). Kelima, gunakanlah puisi-puisi nasihat.
Lebih baik menulis puisi-puisi pendosa daripada menulis puisi yang seolah-olah suci. Muncul kemudian idiom; penyair tertawa, pembaca menangis.
Untuk menjadi penyair tentu harus mencintai puisi. Puisi itu ada di hati. Bagi seorang seniman dan penyair, teknik itu tidak penting. Sebab, dengan menjadi seniman dan penyair otomatis teknik ada di dalamnya. Tidak ada kata yang puitis, yang ada hidup yang puitis. Hidup tidak ada hubungannya dengan puisi. Ekonomi pun tidak ada hubungannya dengan profesi.
Hidup yang puitis adalah hidup yang selalu mensyukuri dan gelisah terhadap apa yang terjadi di luar. Jadi, benar apa yang dikatakan Jokpin bahwa seorang penyair harus lahir kembali. Menjadi penyair lagi, kata Acep Zamzam Noor.
Untuk itulah di dalam Mastera, penyair yang dipilih akan diuji keimanannya. Iman seorang penyair harus diuji dengan bentuk, rima, struktur, dan kesabarannya mengolah puisi.
Mastera, bagi saya, merupakan program yang mengajarkan menjadi penyair kembali. Di Mastera kami diajari menjadi penyair yang santun. Menghormati penyair tua. Belajar bersabar menulis puisi. Itulah yang Joko Pinurbo ajarkan kepada saya.
Bahkan beliau mengatakan di sela-sela penutupan, karena puisi-puisi peserta Mastera akan diterbitkan menjadi buku bersama pembimbing itu pertanda, secara kualitas puisi pembimbing sama dengan peserta Mastera. Tapi kita menyadari bahwa Jokpin, Acep Zamzam Noor, Cecep Samsul Hari, Agus R. Sarjono, Ganjar Hiwa, dan pembimbing dari Malaysia Syamsuddin Ostman, Singapura Chairul Fahmy Hussein, dan Brunei Dr. Hj Mohd Ali) tidak bisa disamakan dengan puisi-puisi peserta Mastera. Di samping proses menjadi penyair lebih lama beliau, beliau sudah lama melanglang buana kepenyairan dan iman kepenyairannya pun sudah teruji.
Itulah Mastera di mata saya.
Bogor, Cisarua, 16 Agustus 2017
https://www.jawapos.com/radarmadura/read/2017/08/27/10031/belajar-dari-penyair-mastera-puisi