Maximus & Gladiator Papua, Freeport’s Untold Story

Rayyana Komunikasindo
rayyana.id 10 Apr 2017

Kisah hidup Maximus Tipagau ini unik, lucu, lugu, kadang gila, tapi dramatis dan sangat inspiratif. Kedramatisannya tampak dari perubahan nasibnya yang berbalik 180 derajat. Dari seorang anak yang nyaris tak punya masa depan, yatim piatu sejak usia tujuh tahun, diabaikan lingkungannya, tak tamat SD, buta huruf, hidup di daerah terpencil yang terisolir di Pegunungan Tengah Papua, namun berkat tekadnya yang kuat ia bisa mengubah hidupnya dengan caranya sendiri.

Siapa sangka dengan kemauan belajarnya yang tinggi ia bisa bekerja di PT Freeport Indonesia saat usianya masih 14 tahun. Dan siapa yang menduga pula, kini ia menjadi salah satu staf di Istana Presiden Joko Widodo dan sempat memimpin delegasi ekonomi Indonesia dalam suatu kunjungan ke Tiongkok untuk pengembangan ekonomi Papua. Ini pencapaian yang luar biasa bagi seorang anak Papua yang baru berusia menjelang pertengahan 30-an tahun.

Maximus lahir pada tahun 1983 di pegunungan tengah Papua dari suku Moni yang tinggal di wilayah yang terisolasi secara geografis. Keterpencilan itu membuat sarana pendidikan dan kesehatan sulit diperoleh. Meski begitu ibunya menyelipkan mimpi tentang pentingnya pendidikan meskipun tak begitu jelas apa target yang ingin dicapainya. Sementara ayahnya memimpikannya menjadi panglima perang bak gladiator seperti dirinya.

Tetapi mimpi itu berantakan ketika ayahnya meninggal setelah dikeroyok sekelompok orang yang menyabot tanahnya. Kematian terjadi setelah sang ayah mengalami sakit parah berbulan-bulan pasca-pengeroyokan tersebut tanpa ada perawatan medis. Sekitar setahun setelah kematian ayahnya, ibunya meninggal karena infeksi rahim juga tanpa perawatan medis.

Sepeninggal orangtuanya, hidup Maximus terkatung-katung. Adiknya dititipkan pada neneknya. Sementara Maximus hidup sendiri. Untuk menyambung hidup, ia menjadi kuli angkut barang yang bisa dilakukan oleh seorang anak usia delapan tahun di lapangan terbang Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua. Barang yang dibawanya semacam tas penumpang, khususnya orang asing untuk dibawa sejauh 4-7 km dengan berjalan kaki.

Tapi penerbangan ke Sugapa hanya seminggu sekali. Hari-hari lain ia harus mencari pekerjaan seperti mengangkut kayu di proyek eksplorasi pertambangan, memikul sayuran untuk para pekerja, dan pekerjaan lainnya agar bisa mendapat upah makan dan uang beberapa ribu rupiah untuk membeli celana agar bisa melepas koteka. Karena banyak pekerjaan yang dilakukannya untuk menyambung hidup, sekolahnya pun hanya sampai kelas empat SD.

Satu kelebihannya adalah sikapnya yang santun, mau bekerja keras, berani, dan memegang prinsip yang ditanamkan ibunya yaitu “bekerja dulu baru makan”. Ibunya mengajarkan, tak pernah ada makan sebelum ia membantu orangtuanya. Karena prinsip ini Maximus yakin, jika ia tak bekerja keras ia tak akan pernah bisa makan selama hidupnya.

Sikap ini membawanya sampai ke Tembagapura. Tetapi masuk ke kota itu tak bisa sembarang orang bisa melakukannya. Kompleks itu dijaga ketat sekuriti PT Freeport Indonesia ditambah dikelilingi pagar kawat berduri tinggi. Untuk bisa masuk Kota Tembagapura Ia harus menyamar menjadi anak seorang jemaat yang akan beribadah di hari Minggu di dalam kompleks perumahan para pejabat Freeport. Sekali masuk ia langsung mencari pekerjaan sebagai tukang kebun. Seorang ibu jemaat merasa iba. Meski ia tahu anak usia delapan tahun tak banyak yang bisa diharapkan dari pekerjaan menata kebun, ibu itu mau mempekerjakannya karena melihat semangat besar si anak. Guna melengkapi cerita, dalam buku ini juga dilakukan wawancara dengan Ibu Titus, nama Ibu yang pernah menjadi ibu angkat Maximus. Ibu Titus kini telah pensiun dari Freeport dan tinggal di Yogyakarta.

Rupanya Maximus mau memanfaatkan pekerjaan itu sebaik-baiknya. Ia sebenarnya tak tahu bagaimana menata kebun di halaman rumah sehingga menjadi taman yang indah. Ia belajar menata kebun secara diam-diam dari tukang kebun di sekitarnya. Maximus kecil benar-benar bekerja dengan tekun. Bahkan ia mau mengerjakan hal lain jika urusan kebun sudah selesai. Seperti mencuci mobil, dan lain sebagainya. Alhasil, ia bekerja layaknya karyawan Freeport, masuk pagi pulang petang.

Karena sikapnya yang baik, banyak yang mempercayakan pengurusan kebun pada dirinya. Karena itu di usia belasan tahun ia sudah mengurus beberapa kebun di rumah-rumah milik para pejabat penting Freeport baik yang orang Indonesia maupun ekspatriat. Dari sanalah ia mulai belajar berbahasa Inggris.

Setelah menjadi tukang kebun beberapa tahun, ia berkeinginan bekerja di tambang Freeport. Sayangnya usianya terlalu muda dan pendidikannya tak mencukupi. Meski begitu ia tetap memohon pada pejabat Freeport yang kebunnya ia garap untuk bisa dipekerjakan di Freeport. Akhirnya ia mengikuti tes dan lulus menjadi tukang parkir sebagai karyawan outsourcing Freeport. Status ini menjadi batu loncatannya. Apalagi ia mendapat penginapan di barak. Lalu setahap demi setahap ia membangun mimpinya.

Awalnya ia harus mengatasi pendidikannya yang kurang. Ia minta teman-temannya yang sarjana mengajarinya di barak pada malam hari. Ia menyisihkan gajinya untuk memberi honor sekadarnya pada para temannya. Kemudian ia mencoba mengejar karier di Freeport yang hampir mustahil didapatnya. Ternyata dengan tekad yang kuat, mau belajar, dan beruntungnya ada sejumlah program pendidikan yang diberikan Freeport, mau bekerja keras, semangat yang tinggi, hal yang mustahil itu bisa ia capai.

Pertama, setelah menjadi tukang parkir yang dijalaninya pada tahun 1998 ia menemukan peluang menjadi operator truk besar yang akan dioperasikan di Area Pertambangan Grasberg. Setelah mengikuti pendidikan khusus operator, ternyata ia lulus dengan nilai yang baik. Maka jadilah ia operator truk besar di area pertambangan Freeport. Keterampilannya mengoperasikan truk besar ini terus meningkat hingga ia bisa mengoperasikan truk raksasa jenis Cat 777 yang tingginya lima meter, lebar enam meter, dan panjang 10 meter. Ini bukan truk terbesar yang bisa dikuasainya. Ia juga mampu mengoperasikan truk Cat 797 yang tingginya 7 meter, lebar 9,5 meter, dan panjang 15 meter. Setelah menguasai truk-truk besar itu ia menjadi instruktur. Uniknya, murid-muridnya adalah para sarjana. Memang unik, orang yang tak memiliki pendidikan formal tinggi mampu menjadi pengajar yang muridnya para sarjana.

Setelah 14 tahun bekerja di Freeport Maximus memutuskan mencari penghidupan baru sebagai pengusaha di bidang pariwisata. Ia merasa profesi inilah yang akan memberinya banyak kesempatan untuk membantu orang-orang Papua. Ia juga mengembangkan jiwa sosial di bidang lain. Mengingat dulu ayah-ibunya meninggal karena tidak mendapat pelayanan medis, ia kemudian mendirikan klinik di tanah kelahirannya yang terpencil di tengah tebing yang curam. Ia juga mendirikan sekolah. Meski SD yang dibangunnya dengan biaya sendiri ia namakan SD Inpres. Sayangnya karena tak adanya guru dan tenaga medis yang mau bekerja di daerah terpencil, dua sarana itu terbengkalai. Menurutnya, itulah pentingnya pendidikan bagi warga pedalaman yang terpencil. Jika mereka yang jadi guru atau perawat, mereka tak akan kabur karena tempat tinggalnya di sana.

Karena itu keinginannya memajukan warga kampung halamanannya di bidang pendidikan dan ekonomi terus ia dorong. Kini posisinya strategis. Sebagai orang Papua yang bekerja di Istana Presiden ia punya peran untuk ikut memajukan Papua dengan cara berbeda. Itulah Maximus Tipagau, tipe pemuda Papua yang unik dan inspiratif, bahkan contoh pemuda Indonesia dan dunia yang jarang ditemukan. “Mungkin saya diwarisi mental gladiator seperti ayah dan kakek saya,” katanya.

Judul : Maximus & Gladiator Papua, Freeport’s Untold Story
Penulis : Maximus Tipagau
Editor : Den Setiawan & Salim Shahab
Halaman : XXIII + 419
Ukuran : 14 x 21 cm
Cetakan 1: September 2016
ISBN : 978-602-70792-7-4
Penerbit : Rayyana Komunikasindo
Harga : Rp. 105.000
http://rayyana.id/2017/04/10/maximus-gladiator-papua-freeports-untold-story/

Leave a Reply

Bahasa »