Menabur Benih Sastra Hijau di Riau
Bambang Kariyawan YS *
riaupos.co
Bermula dari Jalan Jauhari …
Tulisan ini muncul ketika diskusi-diskusi kecil para penulis Forum Lingkar Pena (FLP) Riau di rumah inspirasi Jalan Jauhari Pekanbaru. Berkumpul membicarakan konstribusi yang tepat sebagai penulis atas derita yang dialami bersama karena bencana kabut asap. Sebagai anak negeri bertuah, beragam cara telah diekspresikan untuk mengungkapkan derita atas bencana tahunan ini. Bayangkan 18 tahun berulang-ulang menghirup asap seperti agenda tahunan rutin. Ada yang dengan demonstrasi, menulis surat, teaterikal, gerakan damai, karikatur, kreativitas di jejaring sosial, membagi masker, membagi susu kaleng dan beragam cara yang disesuaikan dengan latar belakang dan kesukaan penggagas.
Sebagai penulis pun ingin merebut momen itu dengan caranya tersendiri. Dari diskusi itu, munculnya beragam saran, genre apa yang akan diusung sebagai karya tulis. Ada yang memilih puisi dengan pertimbangan lebih mampu mengungkapkan segala endapan emosi dan bahkan memiliki nilai panggung bila suatu saat diadakan aksi peduli bersama. Namun ada pula yang mengusulkan cerpen dengan pertimbangan bisa lebih leluasa mengisahkan secara utuh melalui sebuah kisah. Ada pula yang terbiasa menulis non fiksi mengusulkan esai tentang asap. Diskusi kecil pun terjadi dan tercapai kesepakatan mengingat citra FLP sebagai organisasi yang berkarya dengan kecenderungan berwarna sastra, maka dipilihlah puisi dan cerpen.
Untuk menjaga momen yang sedang berlangsung (momen asap), maka dengan waktu cepat pergerakan kecilpun terjadi untuk menyelesaikan karya. Ada yang langsung mengirimkan karya yang telah ada disimpan di folder dalam laptopnya. Ada yang memodifikasi karya yang telah jadi atau hampir jadi. Ada pula yang harus berjibaku mengejar target untuk menghasilkan karya baru. Dengan beragam cara dan semangat menulis yang telah terpupuk maka menulis bukanlah hal yang sulit. Apalagi ditambah semangat ingin merebut momen dan pencitraan terhadap organisasi penulis yang peduli pada masalah sosial dan lingkungan. Dengan beragam semangat tersebut akhirnya terkumpullah 63 puisi dan 14 cerpen.
Beragam warna ditampilkan dari puisi-puisi dalam Riwayat Asap. Tersebutlah penyair-penyair besar dari bumi bertuah ini, Fakhrunnas MA Jabbar, H. Dheni Kurnia, A. Aris Abeba, dan Husnu Abadi. Dengan gaya personifikasinya Fakhrunnas MA Jabbar menuliskan puisinya “Asap Pun Tak Takut Presiden.”
ternyata asap pun tak takut presiden
asap hanya takur pada cuaca
cuaca takut pada hujan
hujan takut pada awan
…
hujan takut pada asap
tapi asap pun tak takut presiden.
Secara melankolik penyair Dheni Kurnia menuangkan kegelisahannya dalam puisi “Pada Awalnya Adalah Asap”. Beliau juga menuturkan kesedihan akan korban dalam “Cahaya Asap Menusuk Rahim Hanum”. Belum lagi A. Aris Abeba dalam puisi “Ratap” ditulis sebagai ekspresi kemarahan. Serta penyair-penyair FLP Riau dengan beragam gaya penuturannya termasuk ragam berbisik yang menggugah nurani dan bermuara pada renungan dan berkaca diri.
Gaya personifikasi juga turut hadir dalam cerpen “Putih” karya Nafiah al Marab. Setting kearifan masyarakat dalam memelihara alam hadir dalam cerpen “Tarian Malam” oleh Ilham Fauzi. Serta cerpen “Manusia Salai”, cerpen yang diangkat dari tulisan berita yang terbit di harian Riau Pos Cerpen yang ditulis kombinasi antara ketersesakan penulis dan kreativitas mengolah cerita yang berisikan prediksi manusia-manusia Riau bila kondisi asap tak kunjung pergi. Berikut cuplikannya:
Menyusut … daging yang membalut tubuh ini. Urat-urat mengecil dan menonjol disetiap sisa daging. Menghitam. Aku tak mengerti apakah teori evolusi Darwin memang telah menimpa aku dan orang-orang disekelilingku. Asap yang selalu pekat menjadi asupan setiap hari dan membuat tubuh ini harus bertahan hidup dengan mengalami adaptasi serta penyesuaian. Tak penting bagiku mengapa ini bisa terjadi, yang terpenting adalah bertahan hidup dengan situasi ini.
Dalam buku Riwayat Asap ini hadir pula cerpen lain dan puisi-puisi hijau yang ditulis dengan sepenuh hati menyuarakan tentang kegelisahan, kegeraman, dan kegamangan tentang asap ini.
Sastra, Mengobati Luka
Menurut pakar psikologi sosial, David McClelland, dengan bantuan beberapa ahli yang netral, menemukan puisi, drama, pidato penguburan, kisah epik di Inggris ternyata menunjukkan optimisme yang tinggi, keberanian untuk mengubah nasib, dan sikap tidak cepat menyerah. Cerita-cerita seperti ini dianggap memiliki nilai n-Ach tinggi, virus yang menyebabkan pembaca atau pendengar terjangkit penyakit the Need for Achievement (Kebutuhan Berprestasi).
Kondisi bangsa kita yang suram, penuh luka-luka, harus segera diobati. Salah satunya adalah dengan menanamkan motivasi berprestasi (menaikkan n-Ach) setinggi mungkin. Bukankah Jepang, yang sekarang menjadi negara maju pun, pernah mengalami luka yang sangat parah tahun 1945? Dan, salah satu cara yang bisa diterapkan, adalah dengan bersastra. Sastra sebagai bagian dari gerakan budaya diharapkan mampu memberikan penyadaran. Namun tentunya sastra yang dimaksud adalah sastra yang memotivasi untuk berprestasi. Sastra yang menjunjung optimisme tinggi, menceritakan keberanian mengubah nasib. Bukan sekadar sastra-sastra negatif yang justru membuat orang bersikap pesimis dan kehilangan harapan.
Dalam dunia modern sekarang ini kemungkinan terjadi penderitaan itu lebih besar. Hal ini telah dibuktikan oleh kemajuan teknologi dan sebagainya. Penderitaan yang terjadi di seluruh dunia merupakan salah s atu obyek sasaran media massa untuk membuat berita, kemudian akan sampai ke seluruh penjuru masyarakat termasuk para seniman yang kemudian akan mengapresiasikan rasa simpatinya melalui karya seni.
Ahli lain pernah mengungkapkan bahwa menulis pengalaman pahit yang dialami sehari-hari dapat meredakan tekanan yang dialami. Dalam kasus asap di Riau yang memakan waktu relatif lama tentunya menelan beragam penderitaan masyarakatnya. Masalah kesehatan, pendidikan, produksi industri, dan aspek kehidupan lain menyita pemikiran. Endapannya akan berkumpul dan memacu munculnya stress yang makin meninggi. Upaya mengeliminir kemelut ragam masalah dapat dilakukan dengan menuangkannya dalam sastra. Sejalan dengan fungsi sastra yang begitu humanis yakni ketika sastra menjadi ruang utuh mengekspresikan keterdesakan kondisi hati, jiwa dan perasaan manusia. Dengan karya sastra kita akan berbagi pengalaman dan mendapat umpan balik dari pembaca. Berbagi disinilah yang menyebabkan kadar stress kita akan berkurang.
Dari Asap Menyemai Hijau
Masalah lingkungan cukup sering diperbincangkan. Lapisan ozon kini semakin menipis. Berbagai simposium, seminar, dan pertemuan diselenggarakan untuk mengatasi masalah ini. Kesadaran mengenai pentingnya menjaga lingkungan terus dikampanyekan. Memang banyak cara yang harus dipilih untuk mengatasi masalah ini. Para sastrawan pun ternyata tak ketinggalan untuk berperan serta dalam menanggulangi masalah ini.
Para sastrawan dari berbagai penjuru dunia pun sejak dahulu telah ikut serta mengampanyekan persaudaraan terhadap lingkungan ini melalui karya-karyanya, seperti puisi-puisi Manyoshu yang memperlakukan alam sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Jepang. Atau karya-karya dari khazanah kesusastraan Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia yang sarat akan napas kerinduan pada alam. Tema alam dan lingkungan merupakan suatu imajinasi yang telah banyak diproduksi oleh para penulis dan penyair.
Di tanah air sastrawati Indonesia, Naning Pranoto bersama Perhutani dengan gigihnya memulai gerakan Sastra Hijau (Green Literature). Buku yang menjadi pedoman para penggerak sastra hijau pun dihasilkan dengan judul “Seni Menulis Sastra Hijau bersama Perhutani”. Lewat beragam lomba menulis cerpen dan puisi hijau yang digesanya menjadi identitas baru dalam khasanah sastra di Indonesia. Organisasi penggerak nyata membumikan sastra hijau pun dibangunnya berupa Gubug Hijau Raya Kultura dan Laskar Pena Hijau.
Riau memiliki beragam cara merawat alam, seperti tradisi menumbai sialang, memelihara hutan larangan, dan cara-cara tradisional dalam memelihara keseimbangan alam. Tradisi menjaga alam itu menjadi ide-ide kreatif bagi penulis untuk menuangannya ke dalam media sastra hijau. Sastrawan Riau pun tak kalah kreatifnya secara tidak sadar mengusung karyanya dengan tema besar sastra hijau. Sebut saja Fakhrunnas M.A Jabar dengan kumpulan cerpen “Ongkak”, Musa Ismail dengan novel “Tangisan Batang Pudu”, dan penulis sendiri pernah menulis cerpen berjudul “Malam Kai …” yang pernah dimuat di harian Riau Pos, Rindu Menggalo dalam kumpulan cerpen Dua Warna FLP Riau dan masih banyak lagi sastrawan-sastrawan Riau yang secara tidak sadar menuangkan karyanya dengan dibalut keprihatinan akan alam Riau.
Bagaimana sastra hijau menyusup ke FLP? Bermula ketika sebuah tema “Sastra, Lingkungan, dan Kearifan Lokal”, diusung pada Silaturrahmi Nasional Forum Lingkar Pena (Silnas FLP), 11-13 Juli 2008 lalu di Aula PPPPTK Bahasa, Jakarta. Sebagai sebuah organisasi kepenulisan besar di Indonesia, FLP terus menitikberatkan pada peningkatan kualitas menulis anggotanya. Maka anggotanya bahkan setiap manusia yang hidup di muka bumi ini pun dituntut untuk peka terhadap sesuatu yang ada di alam semesta ini. Untuk mengatasi masalah lingkungan di atas, yang diperlukan adalah mencoba bergerak melalui kesadaran transenden yang sama sekali muncul bukan karena sikap sporadis semata. Melainkan benar-benar cerminan dari identitas religius seseorang. Dengan demikian, akan muncul gerakan-gerakan yang kemudian bermuara pada karya-karya yang benar-benar menyuarakan kejernihan dan optimisme dalam menghadapi hidup.
FLP Riau sebagai salah satu komunitas penulis di bumi Melayu ini, mencoba mengambil peran “kecil” atas berbagai perubahan yang terjadi. Perubahan lingkungan berupa asap yang telah mencapai pada titik bosan untuk disikapi, tetap perlu diperhatikan pada berbagai sisi peran. FLP Riau menggesa kepedulian itu dengan membentuk divisi Sastra Hijau. Momen yang tepat tatkala permasalahan lingkungan dengan adanya asap serta maraknya program pemerintah berupa Adiwiyata di sekolah, Green Campus di Perguruan Tinggi, serta Green City di wilayah perkotaan. Divisi Sastra Hijau dapat berkontribusi lebih dengan menjadi energi perubahan kecil melalui beragam program tersebut.
Dengan semangat kembali menghijaukan bumi, mari bersama berkarya untuk meletakkan marwah bumi pada tempat yang selayaknya. Salam Sastra Hijau!
***
*) Bambang Kariyawan Ys, guru Sosiologi SMA Cendana Pekanbaru. Aktif bergabung di Forum Lingkar Pena Riau. Telah menerbitkan buku kumpulan cerpen “Numbai” dan beberapa buku kumpulan puisi, novel, dan pendidikan. Peserta undangan MMAS (Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra) Kemdiknas, Penerima Anugerah Sagang, dan Peserta Ubud Writers and Readers Festival.
http://riaupos.co/2742-spesial-riwayat-asap-obat-luka-kepedihan-dan-kreativitas-penulis-menabur-benih-sastra-hijau-di-riau.html